Kesah Yang Resah


Dahsyatnya ombang-ambing ini

Meluluh lantakkan hayat

Gemuruh gejolak jiwakah?

Coba tanyakan musababnya

Pasti jawabnya bukan selain cinta

Namun haruskah selalu begini?

Jika iya, tentu cinta itu di atas biasa

Namun di dunia ini apa yang takkan usai

Biarlah ia mengalir saja

Nanti juga akan temu titiknya

Alirkan saja air dari matamu, itu maklum

Hey… hidup bukan untuk itu saja

Itu harus selalu diingat bukan Cuma tahu

Agar engkau tidak dilamun beban

Sepedih-pedihnya… Senyum pasti ada

Dan sesuka citanya… Tangis tetap sedia

Mungkin kadang wajah harus tengadah

Agar terlihat… Bahwa langit masih sama

Maha luasnya, juga awan kabutnya

Adakah keluh kesah di sana?

Jika tidak, maka beribaratlah!

Hidup ini terlalu disayang

Jika hanya untuk lelap dalam pekat

Dengan ibarat akan tersaksikan

Bahwa hidup bukan Cuma bermain

Jika ayat sulit dipaham

Maka lagi-lagi… Bermainlah dengan ibarat!

Hitam memanglah bagianya

Tanpanya tak ada awan putih itu

Tak disangsi semua itu bergulir

Tentu saja menuju titik akhir

Nafas itu terlalu disayang

Jika hanya kau cetak dalam isak

Maka hembuskanlah dari Hadi’ah

Yang terpakai indah sajalah!

Inginkah riwayatmu dianggap alpa?

Tentu jawabnya tidak

Sebenarnya semua itu benar

Gejolak hati juga benar

Apalagi air mata…. tak perlu ditanya

Keseringan memang membiasakan

Ah…, begitu mudah sudah

Kebiasaan memudahkanya

Sehingga pedih dan tangis juga biasa

Jadi Beribaratlah…!

Berjalanlah…!


Galleri Cerpen(ku)

Elegi Kehilangan


Masa telah larut dalam peluk cumbu malam. Tak banyak bunyi-bunyian. Semua sunyi kecuali satu dua binatang malam yang masih setia berkidung riuh. Seriuh hatiku yang tak pernah mau diam atau berhenti untuk tidak memikirkan sosok yang hilang tinggal bayangan. Mata ini berat dikuasainya, lidah ini kelu melantun namanya, hati ini beku oleh dinginya kenyataan yang kurang ramah. Setelah begadang malam begitu panjang dengan bayangan perempuanku akhirnya aku terlelap juga dalam nina bobo jangkrik-jangkrik malam yang diselimuti buaian dingin nafas angin yang menebarkan bau kantuk. Lelap hanya menguasaiku sekejap saja, kembali aku terjaga. Betapa tidak, dingin angin yang semula melenakanku kini menjadi-jadi menghujam setiap pori-poriku sehingga aku terjaga dalam gigil. Kalau sudah begitu takkan mampu lagi aku memejamkan mata walau sekuat tenaga kupaksa-paksa. Karena setiap mataku terbuka sosok perempuan itu kembali datang berlari-lari di benakku. Ah, perempuanku. Betapa aku tersiksa oleh kerinduan yang membiaskan asa-asa kososng ini. Oh, perempuanku dimanakah kau kini. Berabad-abad tak kutemui engkau, entah dimana engkau pergi meningalkanku aku tak tahu. Kapan kau hilang aku juga sudah lupa. Ciri-cirimu pun tak terdeteksi oleh sinyal memoriku, bahkan siapa namamu aku sudah tak ingat lagi. Namun engkau selalu ada disini, didalam hati. Meski aku tak melihatmu di alam nyata ini. Ketiadaanmu tak mengalahkan keyakinanku bahwa engkau kini ada. Entah dimana mungkin di sebrang dunia. Adakalanya aku ingin mengumumkan pada dunia, bahwa aku telah kehilangan seorang perempuanku, namun bagaimana mungkin aku bisa mengumumkanya sedanhkan sosok perempuanku itu tak pernah terlukiskan meski ia selalu terpatri dalam hati. Aku bukan berhayal aku hanya kehilangan. Menyakitkan. Semenjak perempuanku hilang aku menjadi enggan untuk melantunkan kidung-kidung cinta namun tak bisa ku ingkari bahwa yang menyala-nyala di hatiku ini memang cinta. Menyala-nyala saja tak kenal dinding ruang dan perjalanan waktu. Yang membuat badanku kurus habis ini apalagi kalau bukan cinta, bahkan yang membuatku menjadi rendah ini juga cinta. Menyakitkan.

***

Selalu saja kutanya-tanya pada sisa-sisa bayangmu. Masihkah terhitung episode pencarianku ini wahai perempuanku? Betapa aku lelah. Syaraf-syarafku melemah kalah. Air mataku memang takkan habis tertumpah mungkin hampir. ِKau juga tahu zaman lalu aku mencarimu. Aku mendengar suaramu mendayu merdu dalam tidak sadarku kau berkata " Aku menunggumu di tepian pantai, kau sangat dekat dengan pantai itu. Jemputlah aku. Aku menunggumu. "

Entah pantai yang mana?. Bukankah beribu pantai tersebar di seantero dunia. Namun demi kamu, perempuanku. Aku akan mampu melakukan apapun. Jangankan pantai , lautpun kan kuarungi, gunungpun akan kudaki, lembahpun kan kuturuni. Karena keyakinanku mengatakan bahwa kau ada untuk menungguku. Dan pantai demi pantai telah ku lalui. Setiap yang bernyawa akan kutanya " Apakah kau tahu dimana perempuanku? " dan mereka akan selalu kembali bertanya " Seperti apakah perempuanmu itu? " maka lagi-lagi aku takkan bisa menjawabnya. Aku hanya akan mengatakan dalam lirih kalau perempuanku seperti yang ada di hatiku. Tapi sayangnya mereka tak tahu dan takkan pernah tahu isi hatiku. Terus saja aku berlalu dari pantai ke pantai hingga aku termangu di tepian pantai hatiku, kupandang ombak yang bergemuruh, pasir-pasir yang tak berdaya terseret olehnya seperti aku. Namun di situ, di tepian pantai hatiku aku melihat sosok itu, aku menemukan sosok itu. Sosok perempuanku. Sungguh anggun perempuanku itu, ia bergaun biru, tapi ia menatapku sayu sambil melambai-lambaikan tangannya seolah berkata " Kemarilah…., tangkaplah aku….!" Hati siapa yang tidak bergetar. Ketika aku coba mendekat ia malah berlari ke tengah laut, semakin aku mendekat lagi ia semakin menjauh ke tengah laut, lepas menyatu dengan deburan ombak, berbaur dengan harum asinnya air laut. Aku masih mengejarnya dengan langkah berat terhimpit kuatnya arus ombak yang bengis. Sesekali parau suaraku memangil-manggil. Serak, garam cair laut meracuni tenggorokanku, membekukan kelenjar liurku hingga aku tak dapat lagi memanggilnya, memanggil perempuanku. Ia semakin jauh saja, semakin ke tengah menyatu dengan ombak bersatu dengan samudera, lalu hilang seperti di telan laut dan lazuardi di sana. Aku bersimpuh dalam gigil, aku terisak diantara berisik ombak. Tubuhku basah, mataku basah, hatiku juga basah. Dalam suara serak yang lirih di telan ombak aku masih berbisik " Oh…, perempuanku. Tunggulah aku. Bawalah aku dari sakit yang tak kunjung penawar ini, sertakanlah aku bersamamu. Aku lelakimu….! "

Perempuanku telah pergi dan hilang dari pantai hatiku. Lalu kemana lagi aku musti mencari. Haruskah aku menuruni lembah, mendaki gunung-gunung, mengacak-acak rimba? Tidak. Perempuanku adalah manusia dan rimba bukanlah tempat manusia. Ah, namun sekarang ini apa masih ada beda antara manusia dan makhluk yang tinggal di rimba sana?. Namun di belantara manakah perempuanku ada. Bukankah ini dunia yang penuh rimba raya dan manusia-manusia buas di dalamnya. Namun seluas-luasnya rimba belantara takkan lebih luas dari derita-deritaku yang tertanam dan subur menyebar di seluruh jiwaku. Untuk itu aku butuh penawar, aku butuh prempuanku, penawarku. Kau akan kucari dan tetap kucari sampai apapun. Rimba demi rimba aku menitinya, tebing terjal aku mendakinya. Namun aku tak mendapatkan suatu apapun bahkan walau sekedar bau perempuanku. Hingga aku terpaku di belantara kering ini, belantara hatiku. Banyak sekali semak-semak dalam relungku untuk sembunyi. Namun disini kembali ku lihat sosok itu berkelebat. Sosok perempuanku. Ia berlari kecil dari balik pohon ke pohon lain, dari satu semak ke semak lain sehingga sulit sekali aku menyudutkan pandangan ke sosok itu. Namun di bawah pohon kokoh itu ia berhenti. Kali ini ia bergaun hijau daun, manis sekali. Ia memandangku dengan pandangan sama persis ketika di pantai itu, sayu. Namun ia seperti lebih lincah, ia menggerakkan jemarinya dan berbisik mesra " Mendekatlah padaku….! Dekaplah aku…." Hatiku bergetar. Namun ketika kuayunkan langkah menujunya seperti tupai ia meloncat ke tubuh pohon itu dengan lincahnya. Semakin aku melangkah mendekatinya semakin tinggi pula ia meloncat ke batang-batang lalu menapak di dahan-dahan. Tepat di kaki pohon itu kutengadahkan kepalaku ke atas, semakin tinggi saja perempuanku itu melejit ke langit. Mataku perih tertusuk silau matahari di atas sana yang menyeruak di sela ranting tak berdaun. Oh…, haruskah ku kejar dia. Tidak, aku tidak mungkin dapat memanjat pohon hatiku ini. Namun aku juga tak mau perempuanku pergi lagi. Aku harus mendekapnya kini, disini. Kembali kutengadahkan kepalaku menentang matahari melawan silau yang menikam retina. Aku akan mengejarnya. Seketika tanganku menyentuh kambium pohon itu seketika itu pula sosok itu melejit semakin tinggi , menapak di pucuk pohon lalu terbang dan menghilang. Bagai di telan matahari di atas sana. Kekhawatiranku selalu saja terkabul. Aku lelah sudah . lelah jiwa, lelah raga. Aku lelah mencurahkan segala pikiran ini selalu padanya. Kini kemana lagi aku musti mencarinya. Aku cari di kesunyian ia kembali hilang, di tepi pantai ia hilang, di belantara ia juga hilang. Baiklah, akan kucari sendiri perempuanku. Mungkin di keramaian kota, bukan di kesunyian pantai ataupun di kediaman pohon-pohon lagi. Aku harus mencarinya di dunia ramai, dunia modern, dunia hura cita. Aku akan mencari perempuanku. Aku akan menyusulmu di antara kebisingan hidup. Akan kujelajahi kita-kota kehidupan. Mungkin saja kau sudah merajut di sana.

Dalam hiruk pikuk keberisikan mesin-mesin pengandung kotoran, jiwa-jiwa yang penuh polusi aku terus mencari tak kenal mati, tak kena henti. Lagi-lagi pada setiap yang berbau nafas akan kutanya " Apakah kalian melihat perempuanku? ia anggun bergaun biru, atau kadang hijau daun. Dan satu lagi ia bermata sayu" dan setiap yang kutanya selalu dengan mantap mengabarkan aku " Di sana…..! " mereka menunjukan padaku para perempuan yang kelihatan, perempuan yang berbaju tapi telanjang. Perempuan-perempuan yang hanya membalut sepertiga tubuhnya dengan kain tipis saringan, sehingga mereka dapat membelalakan pandangan setiap lelaki padanya. Lekuk tubuhnya yang artistic dapat menggetarkan segala diri dari kebanyakan lelaki. Apalagi ditambah keringat yang membasahi leher-leher, pangkal dada, perut yang terbuka, juga paha-paha yang terdasar. Setiap lelaki dapat menikmati pemandangan itu dimanapun dan kapanpun. Murah dan praktis.

Silahkan saja para lelaki menikmati kegilaan itu, silahkan saja para lelaki berderak hatinya. Namun aku tidak, yang dapat mengguncangkan hatiku dan meluluh lantakan jiwaku hanya satu, perempuanku. Dan sama sekali mereka bukanlah perempuanku. Perempuanku tidak akan mau telanjang begitu. Perempuanku anggun bergaun biru atau hijau daun dan bermata sayu. Apakah aku takkan lagi menemukanmu, oh pujaanku, bidadariku, perempuanku. Kini aku lunglai di sudut-sudut hatiku. Begitu haru, begitu biru. Begitu diam, begitu sunyi. Sayup-sayup sebuah sajak terngiang di telingaku:

Cinta itu buta

Cinta itu dahaga

Cinta itu kembara

Kemana, Kekasih kau kupuja?


Lembah yang dalam, tak perlu kau turuni

Gunung yang menjulang, tak perlu kau daki

Laut yang membentang tk perlu kau arungi

Karena cinta tak pernah pergi

Disini. Di dalam hati


Mestikah cinta terus bersinar

Dalam kelam yang mulai pudar

Dalam jiwamu yang semakin bergetar

Dalam bola matamu yang kian berbinari


Lalu sepi kembali. Hatiku gerimis air mataku menitis jatuh meresap di tanah-tanah pekat kering. Mungkin benar perempuan itu tiada kemana ia hanya ada dalam hatiku. Namun aku tetap rindu. Apakah itu karena ia ada di dalam hati sehingga tak pernah mau pergi. Aku selalu saja sangsi pada kata-kata kenyataan. Namun kalau kenyataan sudah bicara apa lagi yang perlu dikatakan. Harapan pun juga ikut lebur. Dan kalau sudah begitu. Hatiku akan berkidung sendiri:

Aku tak percaya lagi

Dengan apa yang kau beri

Aku terdampar disini

Tersudut menunggu mati


Aku tak percaya lagi

Akan guna matahari

Yang dulu mampu terangi sudut gelap hati ini


Aku berhenti berharap

Dan menunggu datang gelap

Sampai nanti suatu saat

Tak ada Cinta ku dapatii


Dalam beban ini aku kacau balau. Biarlah ku ambil sebilah pisau. Biarkan pisau yang bicara. Kan ku robek-robek dadaku, kan kuhujam dan kubelah jantung hatiku.agar perempuanku datang padaku, menemuiku. Biar jasad yang sudah rapuh ini terkulai, jiwaku masih membara. Baiklah perempuanku. Aku akan mendobrak dimensi hatiku kan kujemput kau dari pantai-pantainya , kan kubawa kau dari semak-semaknya, tunggulah!. Ketika sebilah pisau terangkat. Kudeengar lagi sebuah lantunan dari jauh:

Merana memang merana

Bila putus cinta

Terluka memang terluka

Kalau gagal cita


Tetapi jangan sampai jadi putus asa

Dan juga jangan sampai jadi gelap mata

Merana boleh merana

Serananya saja


Berduka boleh berduka

Sedukanya sajaiii


Kulepaskan pisau dari genggaman, sehingga ia tergeletak kaku di lantai tanah. Nasehat dalam lagu itu memang yang seharusnya. Tapi seandainya lagu itu hidup dan paham bahwa keadanku tak sekedar itu. Kalau merana yang seperti itu kupastikan ku akan tetap mampu bertahan. Namun meranaku bukanlah sembarang merana. Jadi aku tak pernah putus asa ataupun gelap mata. Karena aku memang sudah tak memiliki asa, mataku juga sudah lama hitam membuta. Pikiranku bergolak, sosok itu muncul sekilas lalu pergi. Dan rasa sakit itu kambuh . Aku tak kuasa. Kembali aku melirik sebilah pisau yang mengkilat bergairah. Disana terpancar bahwa sakitku akan usai di ujung runcingya. Dadaku kan terbelah merah. Hatiku kan terbuka oleh tajamnya. Dan aku akan segera mengambil perempuanku dari sana dari hatiku. Dan tiba-tiba semua hitam.


Malang 19 April 2007


i. Dikutip dari puisi " Cinta" dalam kumpulan puisi SBY " Taman Kehidupan "

ii. Dikutip dari lagu" Berhenti berharap" SO7

iii.Dikutip dari lagu "Merana" Rhoma Irama

Duhai Hawa....

Duhai Hawa……

Kau cuma angin, namun membuatku ingin
Ku cegah cegah ku tetap kalah
Kalau sejatinya aku teramat benci
Walau demikian aku tak bisa tahan
Semakin aku menjauh semakin aku diburu
Semakin aku membenci semakin aku dikasih
Duhai Hawa…..
Tenanglah barang setenang
Kututup-tutup kau malah masuk menghidup
Kuselimut-selimut kau malah jenak memagut
Padahal kau bisa pulang walau selalu datang
Kau bisa menyingkir walau selalu mampir
Ini aku yang dungu atau kau yang terlalu menggebu
Hari ini kudiam-diam tapi tak tahan bungkam
Hari esok kucuek-cuek tapi tak kuat ledek
Hari lusa kupejam-pejam tapi tak mampu kelam
Ah, mati saja, tapi aku tak siap neraka
Hawa…. Kau bukan nyawa
Hawa…. Kau kelak takkan kubawa
Hawa… tanpamu aku masih bisa tertawa
Biar saja, tinggal saja
Jangan kenang saja
Hidup hawa!!! Mati hawa!!!


Joyo Grand 13 Mei 2007

Lomba Menulis Cerpen Girlie Zone 2009 Piala Menpora














Ketentuan Umum

1. Peserta tak terbatas, boleh warga Indonesia atawa luar negeri, yang jelas masih menjadi penduduk bumi.
2. Usia dan jenis kelamin bebas…
3. Tema tentang dunia remaja, lebih disukai yang mengandung nilai-nilai motivasi berprestasi, pencerahan atau nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan dan persaudaraan.

Ketentuan Khusus
1. Naskah diketik komputer (atau ditulis tangan dengan jelas; spasi 1,5; font 12; sepanjang 5-12 halaman kuarto.
2. Naskah dikirimkan rangkap 3.
3. Dilampiri dengan formulir pendaftaran lomba yang didapatkan di majalah Girliezone edisi 3 hingga 7 (nggak boleh foto kopi, harus asli).
4. Disertai kartu identitas yang masih berlaku.
5. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu cerpen, masing-masing cerpen 1 formulir
pendaftaran asli.
6. Naskah ditunggu selambat-lambatnya 12 September 2009 (cap pos)
7. Naskah dikirim ke redaksi Girlie Zone (Indiva Media Kreasi). Jl Apel II/No 30,
Jajar, Laweyan, Surakarta.
8. Pengumuman juara akan dimuat di majalah Girlien Zone edisi 9
9. Nama penulis tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen atau dilampirkan dalam
kertas tersendiri beserta biodata lengkap
10. Content/isi naskah tidak boleh mengandung unsur pornografi ataupun SARA

Hadiah
Juara 1 :
Rp 1.000.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Juara 2 :
Rp 750.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Juara 3 :
Rp 500.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Naskah yang tidak menjadi juara namun memenuhi kriteria akan dimuat di majalah Girliezone
dengan honor seperti biasa.

Sumber: http://khaledpunya.blogspot.com/2009/04/lowongan-editor-akuisisi-di-mizan.html

Tentang Sesuatu yang Sudah Berakhir

Berjalan.... sampai.... dan pulang

Dan sebuah kisah telah berakhir

Perlukah batu-batu tajam itu kubagikan?

Sepanjang jalan hingga kupulang

Banyak sekali peran yang kulakoni

Ingin kututup segala yang sudah-sudah

Biar ia membusuk dan kering dalam peti dadaku

Haruskah kuungkit bila kusakit

Takkan kukenang meski kutenang

Yang sudah terjadi sudah berlalu

Dan yang berlalu kini sudah berakhir

Memang tak semua kelam dan duka

Namun justru keindahan yang berlalu

Yang akan membuah sesak dan pilu

Ingin kuhapus semua yang pupus

Semua dan segala apa tanpa kecuali

Yang sudah terjadi sudah berlalu

Yang sudah berlalu kini sudah berakhir


Jujur, sebagai manusia akupun merasakan sesuatu yang lumrah yang biasa disebut cinta. Ya, aku pernah sinting gara-gara jatuh cinta. Bahkan sampai sekarang, kapanpun aku mau, aku bisa memejamkan mata dan merasakan hujaman-hujaman dari bekasnya yang masih belum benar-benar putih dari sini, dari dadaku. Hh…. Cinta, aku selalu kehabisan kata untuk mneyebutkan bahwa cinta itu memang aneh yang terkadang remeh, memang unik yang terkadang licik. Bahkan terkadang aku malu untuk mengatakan bahwa di dunia ini hal yang paling banyak membuatku menangis adalah cinta. Sungguh memalukan, dan tak seharusnya. Tapi manusia bisa apa kalau penyakit yang bernama cinta sudah bersinggasana di hatinya.

Tentang cinta, tak perlu lagi ada hal yang disembunyikan. Semuanya sama. Legitnya, asamnya, pahitnya, rasanya…..

Aku sendiri tak juga paham, mengapa cinta menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan terkadang cinta itu bisa lebih penting dari kehidupan itu sendiri, sehingga orang-orang yang tak punya benak akan mengakhiri kehidupan mereka bila cerita cinta mereka berakhir. Hh…. Lucu sekali.

Hei, aku tidak mentertawakan siapapun, aku hanya mentertawakan diriku sendiri yang pernah sinting gara-gara cinta. Memang…, cinta itu bisa dengan mudah membuat orang menjadi sinting.

Tentu kau pernah membaca novel, dan jujurlah dari sekian banyak novel yang kau baca, semuannya, tak satupun tidak, semuanya pasti mengusung teman ce-i-en-te-a CINTA, mulai dari dari novel dalam negeri sampai terjemahan, semua, paling banyak, mengutak-atik kisah cinta. Mulai dari novel best seller sampai bad seller, lagi-lagi menguingkan cinta. Tidak percaya? Sebutkan saja coba, novel yang tidak berpakaian tema cinta. Ada? Sudah kau temukan?

Sudahlah…. Tak perlu dibahas. Aku hanya ingin memuntahkan—entah kejengkelanku, entah kekagumanku—tentu saja tentang cinta.

Sedikit pengalamanku tentang cinta.

Sungguh, aku tak pernah mengira sebelumnya kalau aku—pernah—bisa merindukan seseorang melebihi rinduku pada ibuku. Dan hal itu ternyata sangat sulit bagiku. Memang kuakui, itu sungguh mengasyikan, tapi lama-lama aku menjadi lelah sendiri. Sudahlah.... aku kehabisan kata-kata........



Hamdan wa syukron Lillah...

Salam friend..... gimana kabarnya....

ku cuma mau berbnagi berita gembira, bukankah faamma bini'mati rabbika fahadits.....

Alhamdulillah cerpenku yang berjudul Parodi Katastrofa Minggu kemarin masuk satu besar dari sekitar 400 naskah cerpen lebih.... sejatim sih. Yah, itu bikin aku semakin semangat untuk nulis dan terus nulis.....

buat kawan-kawan yang mau baca cerpenya monggo..... berikut ini:


Parodi Katastrofa
(Bayi Yang Menitipkan Tangisnya Pada Hujan)

Kalau saja isteriku rajin mengikuti pengajian, barangkali malam ini suaminya tak perlu mengendap-endap, ketiban kutukan dari negeri malakut. Kalau saja isteriku menekuni kuliahnya di fakultas hukum, sudah barang tentu dia tidak akan mengumpankan suaminya untuk berseteru dengan hukum. Kalau saja isteriku mau berinisiatif sedikit dengan memberikan pilihan ketiga, tentunya malam ini aku tak usah memilih untuk jadi lelucon penghibur iblis. Dan kalau saja—akar dari semua ini—kami tak sembarangan menerima tawaran Amor untuk bermain-main dengan kenikmatan sesaat, pastinya katastrofa ini hanya akan menjadi cerita fiksi.
Siapa yang mengira, kalau ternyata resiko itu begitu cepat menuntut, ia tak pernah memberikan senggang waktu yang cukup untuk kami mempersiapkan diri menjadi seterunya. Dan buruknya lagi, isteriku tak pernah mau disengat lebah, meskipun habis kikis ia menjilat madunya. Isteriku tak pernah sudi dijamah getah, meski legitnya nangka belum hilang dari sendawanya. Akibatnya, bayi yang tak tahu apa-apa ini yang harus diapa-apakan. Isteriku memang sudah tak waras, hatinya teramat sempit sehingga logika-logika tak akan muat bersilaturrahim ke dalamnya, apalagi rasa welas asih.
Memang, ku akui, ini bukan salah isteriku semata. Ini salah kami berdua. Namun, dengan alasan apapun, rencana isteriku itu memang sudah kelewat laknat. Tapi, walau bagaimanapun dia itu tetap isteriku, tentu aku sangat menyayanginya, tapi anehnya, ia tak pernah mengizinkan aku menyayangi anaknya, anak kami. Kalau aku mulai berani-berani menyanggah keputusanya, dia akan mengeluarkan master piecenya, dia itu sangat pandai mengancam, dia sangat berbakat untuk menyakiti siapapun termasuk dirinya sendiri.
Petang tadi, ada lagi naga yang mampir ke tubuhnya. Ia memekik sampai percikan api menyembur dari mulutnya.
“Aku ndak mau tahu, pokoknya Kakang harus membawa bayi itu. Kakang sudah berjanji, Kakang tak boleh lupa sama janji Kakang sendiri. Kalau Kakang tak mau membawa bayi itu, aku sendiri yang akan membawanya. Tapi ingat...! jangan harap Kakang bisa melihatku lagi. Titik.” Begitu gertaknya.
Hh… entahlah, dia dapat refrensi dari mana, sehingga dia boleh berani seperti itu pada suaminya. Dia juga berani menghianati kodratnya sebagai ibu. Itulah yang membuatku menyebutnya sebagai perempuan tidak waras. Ironisnya dia seperti menghipnotisku jadi keledai, aku hanya menurut dan bungkam.
Maka setelah ia mengancam—mungkin mau minggat, atau kalau lebih buruk lagi bunuh diri—barulah aku beranjak membawa bayi merah ini menjauh dari ibunya yang psiko. Aku sengaja berangkat saat iqamah Maghrib naik petang tadi. Aku tak mau siapapun tahu tentang rencana lacut ini. Aku sengaja berangakat dengan berjalan kaki menuju perkampungan jauh, namun cukup aku kenal. Meski langkahku terus berayun, sejujurnya langkah itu gamang. Langkah itu bergerak hanya untuk mengelabuhi isteriku semata, tidak yang lain.
Pertengahan malam mulai mengambang. Kutatap bulan sabit di jantung langit yang masih setia menggelar dongeng untuk bumi yang hampir terpejam, ia tampak seperti seorang ibu yang rela menahan kantuk demi melelapkan anak-anaknya. Maka tak seorangpun bisa mencegah. Dingin malampun bersekongkol dengan gerimis demi harmoni kantuk yang kutuk. Tubuh-tubuh yang kelelahan dan mata-mata yang malas akan lebih mudah dihasut untuk melupakan alamnya dan singgah ke dunia dimana mimpi-mimpi menjelma menjadi bunga. Malam telah menjadi sempurna untuk disebut malam. Senyap dan gelap, saatnya para iblis menjajakan bakatnya: menghasut manusia untuk melakukan hal-hal syaithani yang tak pantas dilakukan di siang hari. Benar-benar sepi tiada cela. Aku masih terus mengayunkan telapak kakiku, menyusuri gang-gang sempit yang cukup aku kenal, melewati tanah-tanah kosong yang penuh belukar, kakiku yang tak beralas mencengkram kuat tanah-tanah becek, beberapa kali kuusapkan kakiku yang penuh lumpur ke gundukan rumput-rumput basah yang sesekali mengkilat oleh sengatan guntur. Aku celingukan ke kiri dan ke kanan, juga ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa tak seekor binatang malampun bernyali membututiku, apalagi manusia.
Sedikit demi sedikit, dengan sangat tertib, titik-titik gerimis telah berhasil membuat manik-manik lembut di rambutku yang berminyak. “Ah… Kenapa harus gerimis segala.” Gerutuku pada langit, kesal.
Aku tetap berjalan tenang, tak bergeming sama sekali pada rintik gerimis yang menghujam kulitku seperti jarum-jarum beku dari langit. Bagiku ini bukan masalah, tapi bagi makhluk kecil yang menggeliat ini? Aku semakin kesal saja pada isteriku yang bebal, aku juga semakin kesal pada diriku sendiri yang tak bisa berbuat banyak. Kilatan petir yang gagah berkali-kali memberiku peringatan supaya aku mengurungkan niatku, tepatnya niat isteriku. Setiap aku berpikir ulang dan meperlambat langkah, wajah naga isteriku kembali menyeringai seram. Kakiku berayun lagi. Rupanya kesempurnaan malam telah berhasil membuat bulu kudukku berdiri, sesekali gerahamku berpelukan, nyeri menahan gigil. Sungguh sebuah keajaiban, bayi mungil yang ada dalam gendonganku, sedikitpun tak berkutik. Kain batik tebal telah membungklus rapat tubuh kecilnya seperti kepompong, hanya pada bagian muka kain itu sedikit tersingkap. Saat titik air mengamuk dan menjadi tombak-tombak dingin tak kenal ampun, maka kuputuskan untuk mencari tempat berteduh dari kuyup. Aku khawatir kalau bayi yang ada dalam pelukanku ini merengek dan terbangun. Hujan menjadi-jadi, melodinya sangat kasar, seperti butiran paku yang menghujam jalan-jalan pekat dan sepi. Aku harus berteduh.
Berteduh?
Sungguh sial, demi apapun, sungguh sial. Aku baru tersadar, aku telah terperangkap di tengah-tengah perbatasan antara dua kampung, Katikan dan Kedungwaru. Dan di sini cuma ada dua macam atap, langit dan pepohonan. Yang ada di sini hanya ladang-ladang singkong dan kebun pisang yang luasnya berhektar-hektar, juga pohon-pohon pembatas jalan. Demi melindungi si bayi dari dingin dan kuyup aku menutup wajahnya dengan sebagian kain yang membungkus rapat tubuhnya lalu tergugu di kaki pohon Asam Jawa yang terjajar sepanjang tepian jalan.
“Sial...!” umpatku pada alam yang kurasa seperti mengejekku.
“Tenang le... bapak tak akan membiarkan kamu kedinginan.” Kubenamkan bayi itu lebih dalam ke dinding dadaku.
Aku berjingkat dari kaki pohon satu ke kaki pohon yang lain, mencari naungan yang lebih aman dari tirta murka. Aku paham sepenuhnya, air yang singgah di semak dedaunan yang kunanungi ini sudah pasti akan merembes ke ranting-ranting lalu mengalir lewat dahan-dahan dan meleleh membasahi apa-apa yang ada di bawahnya. Aku menjadi panik saat kusentuh kain yang membaluti bayiku mulai basah.
“Maafkan bapak le… kamu harus menanggung semua ini.” ucapku cemas, lalu kukecup kening bayi itu. Rasa damai bercampur resah perlahan menyiram palung dadaku.
Yang kutahu, di tengah mbulak yang luas ini, tak ada satupun gubug atau pos ronda sehingga siapapun kalau kehujanan di sini, ia akan memotong sembarangan daun-daun pisang ini untuk dijadikan payung yang sia-sia. Satu lagi yang kutahu, dan itu harapanku satu-satunya, di depan sana, sebelum memasuki perbatasan kampung Kedungwaru, ada sebuah rumah reot yang menyendiri. Konon, penghuninya ialah seorang dukun beranak yang tak beranak. Yang kudengar dari orang-orang, namanya Mak Darsi, perempuan tua itu tinggal seorang diri di sana. Ia hidup dari para korban lelaki. Setiap ujung kehamilan merupakan berkah bagi Mak Darsi. Warga lebih percaya pada jasa Mak Darsi dari pada Bu bidan. Seperti ada tuah yang menempel di tangan Mak Darsi setiap kali ia berurusan dengan rahim-rahim yang berdarah. Lewat tangan Mak Darsi, persalinan selalu lebih mudah dan lancar, dan yang paling disukai warga, Mak Darsi lebih mengutamakan pekerjaannya dari pada imbalan yang diterimanya, artinya warga yang tak perlu mencekik leher mereka dengan biaya persalinan yang menukik.
Mak Darsi, aku memang belum pernah menemuinya, melihat rupanya juga belum. Tapi kali ini aku harus bicara dengannya. Mak Darsi, ya, aku butuh jasanya yang lain. Mak Darsi, itulah tujuanaku membawa bayi ini.
***
Malam terasa sangat betah mengaum di puncaknya. Hujan mulai jinak. Aku dan bayi malang ini sudah basah kuyup. Beberapa kali kutatap wajah bayi itu yang mulai pucat, kedinginan. Anehnya ia hanya menggeliat, sama sekali tidak rewel. Beberapa kali aku harus mendekatkan wajahku pada wajah mungil itu, setelah nafas hangat menyentuh wajahku, barulah aku bisa bernafas lega.
Aku kembali mengayunkan langakah, menuju gubuk Mak Darsi yang sudah tidak jauh lagi. Setelah sampai di muka rumah Mak Darsi, tanganku yang kisut mengetuk daun pintu dari anyaman bambu itu tergesa-gesa.
“Iya, sebentar.” Kudengar suara serak yang mengantuk dari dalam. Lamban langkahnya membuatku gusar.
Setelah pintu terbuka, kulihat jelas wajah renta perempuan itu, kuperkirakan usianya delapan puluhan. Kerutan-kerutan lentur yang memanjang di dahinya melukiskan kepasrahan pada perlakuan nasib. Rambut putihnya yang sebagian tertutup kerudung terlihat lelah melawan kesepian yang selama ini mengucilkanya. Punggunya yang bungkuk dan ringkih tampak kuat menopang beton-beton kehidupan. Entahlah, begitu saja aku membaca wajah Mak Darsi.
“Isteri sanak mau melahirkan?” tanya Mak Darsi ingin tahu, ia tak sadar ada bayi dalam gendonganku.
“Bukan Mak.” Jawabku kecut.
Mak Darsi menatap balutan kain yang menempel di dinding dadaku. “Kau menggendong bayi?” selidiknya setelah ia yakin dengan yang dilihatnya.
Aku mengangguk lesu.
“Masuk-masuk....! Oalah... basah semua. Kasihan bayimu.” Buru-buru Mak Darsi meraih tanganku dan menyuruhku masuk. “Duduk dulu!” pintanya ramah. Ia masuk kamarnya sebentar dan kembali dengan jarit batik gelap yang masih terlipat rapi. Dengan cekatan Mak Darsi membuka lipatan kain basah yang membungkus bayiku. Tubuh kecil itu benar-benar merah pucat, seperti cindhil, aku tak sampai hati melihatnya. Mak Darsi segera membungkus bayiku dengan kain yang diambilnya.
“Oalah blahi.. bayi ini masih merah, ari-arinya saja belum kering betul.”
“Memang baru sepasaran Mak!” tukasku getir.
“Lalu kenapa kamu pertontonkan bayi merah ini pada malam-malam hujan begini. Tak ada yang mengingatkanmu? Angin malam tak bagus buat bayimu. Apalagi hujan angin begini. Kamu itu ngawur.”
Aku membisu beberapa saat.
“Aku tak tahu harus bagaimana, Mak. Aku mau minta tolong sama Mak.” Ucapku gamang. Aku mau terisak tapi tak jadi. Mak Darsi mengerutkan dahinya.
“Ini pasti ada apa-apa.” Tebaknya “Sanak cerita dulu sama Mak, sebenarnya ada apa? Apa pula yang bisa Mak lalukan buat sanak?” tutur Mak Darsi kemudian.
“Bayiku Mak... Bayiku.” Aku mulai terisak menahan sesak.
“Bayimu kenapa sanak? Kenapa?”
“Isteriku menyuruhku membuang bayi ini, Mak. Kalau tidak, ia mau minggat atau mungkin bunuh diri Mak!” jelasku. Mak Darsi menelan ludah mendengar penjelasanku. Mata tuanya terpejam, menghayati sesuatu.
“Kenapa isterimu sampai begitu? Masalahnya apa?” ujarnya kemudian.
Mulutku terkunci rapat. Aku tak perlu menceritakan semua. Aku yakin Mak Darsi sudah paham dengan gelagatku.
“Oalah sanak... semuanya sudah terjadi. Kalau kamu menyesal, kamu harus memelihara penyesalanmu itu. Apapun masalahnya, kalian harus tetap merawat orok itu. Kalau tidak kalian nanti akan menyesal tak ketemu jalan, terutama isterimu itu. Tentu kalian ndak mau menyesal seumur hidup seperti Mak ini.”
Aku tercenung memandangi wajah renta perempuan itu. Dalam benak aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan masa lalu Mak Darsi. Mataku menyipit menunggu kata-kata yang hendak ia lanjutkan.
“Anak itu berkah dari Gusti Allah.... kenapa berkah itu tidak diterima saja dengan senang hati. Anak itu titipan Gusti Allah. Nanti kalau kalian sudah tua seperti Mak ini baru kalian insyaf, apa maksud Gusti Allah memberi kalian anak. Baru kalian tahu bagaimana rasanya hidup tanpa buah hati. Tentu kau paham bagaimana nasib pohon yang tidak berbuah.”
Ganti aku yang tergelak mendengar penjelasan Mak Darsi. Namun, tak juga aku angkat suara. Mak Darsi masih ingin melanjutkan tamsilnya.
“Dulu sewaktu muda Mak ini perempuan rusak. Mak nggak tahu, laqob apa yang pantas disematkan pada wanita yang sampai hati membunuh anaknya sendiri.”
Aku tersentak tak percaya. “Haa? Maksud Mak?” selidikku.
“Dulu sebelum Mak menikah Mak sudah kecelakaan, hasilnya Mak Hamil. Untuk menutupi kebejatan Mak terpaksa Mak menggugurkan janin yang Mak Kandung. Dan taukah kau sanak.... apa yang terjadi sesudah itu?”
Aku tak menjawab. Mak Darsi terdiam sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit yang penuh benang laba-laba usang dan hitam oleh asap kayu kabar.
“Setelah Mak berhasil membuang aib Mak, Mak menikah. Dan inilah yang harus sanak kabarkan kepada isteri sanak: setelah menikah, berpuluh-puluh tahun berikutnya, Mak tidak bisa lagi punya anak, rahim Mak rusak. Penderitaan Mak tak tanggung-tanggung, suami Mak menceraikan Mak setelah ia capek menunggu keturunan dari Mak yang tak kunjung kandung. Mak pasrah… Mak menyebut semua itu sebagai keadilan Gusti Allah. Sekarang di usia Mak yang semakin renta ini, Mak ingin bisa berbuat banyak. Dari itulah Mak mengabdikan diri sepanjang kemampuan tua Mak sebagai dukun bayi. Dengan senang hati Mak membantu menjemput bayi-bayi itu dari dunia sempit dalam perut ibunya untuk menyaksikan luasnya dunia. Setidaknya itu menjadi kelegaan tersendiri bagi Mak. Pernah beberapa kali ada pasangan muda yang meminta bantuan Mak untuk menggugurkan janin mereka, tapi Mak langsung mendamprat mereka sebelum mereka selesai menjelaskan masalahnya. Sungguh, apapun masalahnya, apapun alasanya membunuh bayi tak berdosa itu bukan penyelesaian masalah yang baik. Sanak boleh pegang kata-kata Mak. Ini.” Tutur Mak Darsi panjang, ari tipis bening mengembang di pelupuk matanya yang cekung untuk kemudian disekanya dengan ujung kerudungnya yang kumal sebelum sempat menitis.
Tenggorokanku tercekat. Penjelasan Mak Darsi sungguh sebuah ironi bagiku. Aku teringat kejadian sekitar setengah tahun lalu. Saat bayi ini masih bersarang dirahim perempuan yang kini telah menjadi isteriku itu. Malam-malam buta, perempuan itu mengamuk.
“Ayo kang... kita ke dukun. Ayo...!” rengeknya berbau paksaan.
“Itu tak perlu, Sri.”
“Tak perlu bagaimana? Itu perlu sekali Kang. Aku nggak mau perutku sampai kelewat melendung. Pokoknya kita harus ke dukun, sekarang!” tandasnya tak terima, suaranya meninggi.
“Kau tak tak boleh menggugurkan janin itu Sri....” aku menyanggah.
“Lantas apa kata orang-orang kalau mereka tahu, aku melahirkan empat bulan setelah kita menikah. Mereka pasti akan menggunjingku.”
“Kita harus berani menanggung resikonya Sri...”
“Iya, kamu laki-laki, enak, dengan modal menekuk dengkul kamu bisa dapat semuanya, setelah itu kamu masih bisa berjingkrak-jingkarak pula. Nah, aku...!?”
“Bukan begitu Sri... kamu tidak percaya padaku? Kita akan menanggungnya sama-sama. Kalau kamu memang malu untuk mengakui kalau kamu memang kecelakaan, kamu kan bisa tinggal dengan orang tuaku di desa sana. Takkan ada orang tahu. Kalau tetangga-tetanggaku mulai ribut, aku bisa dengan mudah mengatakan pada mereka kalau kamu sudah lama jadi isteriku. Toh aku orang rantau, aku tak yakin mereka peduli atau sekedar ingin tahu bagaimana kehidupanku selama di rantau. Kalau lagi-lagi mereka mencibirku, pulang-pulang membawa perempuan, maka aku sudah sangat paham bagaimana cara tidak menggubris sesuatu yang tak penting, kau harus belajar itu dariku.”
“Mboh... terserah kamu mau ngoceh apa. Pokoknya aku tak mau bayi ini lahir.... aku tak mau. Aku masih belum siap punya anak. Tak bisa kubayangakan bagimana repotnya! Susahnya tak sebanding dengan enaknya. Sudah... pokoknya kita harus segera ke dukun Kang... tidak boleh tidak! Sekarang...!” pekik isteriku menjadi-jadi, kata ‘pokoknya’ menegaskan bahwa keputusanya tak bisa ditawar-tawar. Rupanya kata-kataku yang lembut barusan, sejenak hanya menyentuh jidadnya lalu memantul entah kemana.
“Di dunia ini tak ada satupun masalah yang tak bisa diselesaikan Sri..., dan aborsi, pembunuhan, tak pernah menjadi cara penyelesaian masalah yang bagus. Jadi tolong..! Saya tak mau kamu jadi pembunuh. Apapun akan saya lakukan buat kamu, tapi tolong, jangan bunuh bayi itu. Bayi itu tak punya dosa apa-apa. Bayi itu titipan Gusti Allah.” Rajukku, penuh harap.
“Hh... Gusti Allah!?”desis isteriku sinis.”Setelah apa yang kita lalukan, rupanya kamu masih ingat bagaimana cara menyebut nama Gusti Allah.” tandasnya.
Aku tak berkutik, skak math.
Namun perempuan batu di hadapanku mulai menunjukkan gelagat simpati. Kekentalan emosi di rautnya mulai mencair. Ia duduk sejenak di bibir dipan, matanya menerawang menyapu wajahku yang gusar. ia seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Hh....” perempua itu mendesah lagi. “Iya, baik, aku tidak akan menggugurkan bayi ini, aku akan membiarkannya sampai lahir, tapi aku minta kamu mau berjanji satu hal padaku.” Lanjutnya.
“Iya. Berjanji apa?” balasku lega.
“Setelah bayi itu lahir, kamu harus membawanya pergi, jauh-jauh dari aku.” Katanya mengalir tanpa beban. aku terperangah.
“Membuangnya?” pertanyaanku lebih seperti nada tak terima. Kelegaanku amblas. “Aku tak habis pikir Sri... bagaimana kamu tega mencampakkan anak kamu sendiri, darah daging kamu, anak kita. Kenapa kamu memberikan saya pilihan yang sulit begini?” Protesku.
“Ya terserah Kakang lah...! Mau aku menggugurkan kandungan ini atau membiarkan bayinya tetap hidup.” Tandasnya kesal sambil beringsut meninggalkanku, menyudahi pembicaraan yang terasa jauh ujungnya. Tinggalah aku tercenung seorang diri, dadaku kelewat sesak untuk mengejar perempuan miring itu.
“Sanak tak perlu melamun. Sekarang apa yang bisa Mak lalukan buat sanak?” suara serak Mak Darsi mengagetkanku. Aku tersadar dari pemainan pikiran.
“Semula aku hendak meminta Mak merawat bayi ini, tapi setelah mendengar penjelasan Mak pikiran saya berubah. Saya bertekad, saya akan mengurus dan membesarkan bayi ini, dengan tangan saya sendiri.”
“Lalu isterimu bagaimana?”
“Sekali lagi saya akan mengingatkan dia Mak. Kalau dia masih bersikeras dengan pendirianya, maka aku siap menantang ancamannya, apapun itu.” Ucapku yakin.
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” Mak Darsi memastikan.
Ada sesuatu yang berat yang menggumpal di dadaku, menyembul menjelma Merapi. “Aku yakin Mak.” Tegasku.
“Kau mengambil keputusan yang benar Nak. Sekarang cepat-cepatlah kau bawa kembali bayimu itu. Saya tahu betul, dia lapar dan kehausan, dia butuh air susu ibunya. Semoga isterimu tergerak hatinya untuk menuyusui bayi ini.”
“Mak?” ucapku pelan.
“Apa lagi Nak?”
“Saya ucapkan terima kasih banyak kepada Mak.”
“Sanak tak perlu berterima kasih. Mak tak melakukan apapun untuk sanak. Sudahlah yang penting kamu harus segera membawa bayi itu ke dada ibunya.” Kata Mak, kemudian wajahnya menerawang langit yang tembus dari bagian belakang gubuknya yang tak beratap. “Sepertinya langit hanya istirahat. Kau harus sampai rumah sebelum susulan hujan kedua.” Lanjut Mak Darsi.
Maka setelah mengucapkan salam dan mengecup tangan perempuan tua itu aku berlalu kembali menembus malam dan pulang. Aku kembali menilik bayi pucat dalam rangkulanku. Aku kembali menekuri wajah-wajah malam setelah diputus hujan. Malam telah memasuki sepertiga akhir.
Saat alunan tarhim menyilet telingaku, aku sudah berdiri di muka rumahku. Aku masih ragu dan takut untuk mengetuk pintu itu. Setelah kuteguhkan hati barulah ruas-ruas jariku terangkat mengetuk daun pintu rapuh rumah itu. Was-was mempermainkanku. Aku agak mengkerut, membayangkan bagaimana reaksi isteriku saat membuka pintu nanti. Tak lama, aku mendengar langkah tergesa isteriku dari dalam. Hatiku semakin was-was.
Kreett...
Pintu terbuka। Seorang perempuan dengan rambut acak-acakan dan daster kebesaran melotot menatapku. Tangannya yang ceking buru-buru menyeretku masuk........................



Maaf ya fren..... sebenarnya cerpen ini masih belum ending..... eh, kata sang juri yang paling menarik di cerpen ini justru endingnya loh..... (Baca aja proses penjurian di flprantingum.multiply.com)....

kabarnya sih.... cerpen ini bakal dimuat di majalah GIRLYZONE-nya Mbak Afifah Afra..... yah, kita tunggu aja yah..... silahkan menikmati rasa penasaranya (Kalo penasaran dengan endingnya), boleh kok, menebak-nebak endingnya kayak apa... tafadhol.....!

Kaef...... memang baru belajar.... mohon masukan kritik saranya ya.... thanks.....

Kepada Fahlia ( Seorang Kawan yang mungkin merindukan suara adzan di Negeri Seberang )

Dulu…. Dulu sekali di awal tahun sembilan puluhan kita bertemu. Betapa tak pernah terasa jikalau waktu itu begitu cepat berlalu. Kau masih ingat? Tentang seorang guru kita, namanya Pak Minto, beliaulah guru yang sampai sekarang mesih berbekas di relung-relung kehidupan yang melaju begitu cepat. Kau masih ingat saat pelajaran olahraga kita sekelas bermain-main di tepian sungai, berbaring-baring di pasir, atau main lempar batu, atau mencari ikan-ikan kecil. Ah, betapa waktu, betapa waktu, betapa waktu terkadang terasa sangat sadis, suka memanggal keindahan masa lalu.

Baiklah, aku akan menyebutkan nama teman-teman kita dulu…. Kau pasti mengira aku sudah lupa. Takkan, aku takkan pernah lupa. Bukankah masa kecil itu masa yang paling indah. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya.

Kau masih ingat dengan Indro Prastio yang sebangku denganku, kabarnya ia sekarang sudah berpetualang ke Kalimantan, entahlah. Juga Adip, Adip Bahtiar Rifa’i, belum lama ini aku bertemu dengannya, mungkin setengah tahun lalu, ia masih sama gemuknya. Oh ya, Dedi, siapa nama lengkapnya, Dedi Insanul Ashar? Entahlah, aku masih sering berpapasan dengannya beberapa bulan terakhir ini, namun kami tak pernah saling menyapa, mungkin wajah kami yang berubah dewasa telah membuatnya atau aku untuk berpikir ulang untuk menyapa, dia itu dulu ketua kelas, ia sering sekali berantem dengan Wati, Yunita Grahnawati, sepertinya waktu kecil mereka dikenalkan untuk saling bermusuhan, Katanya sekarang Dedi melamar jadi Polisi, tapi aku belum pernah melihatnya memakai seragam, bahkan aku masih sering melihatnya seperti layaknya pemuda biasa, gaul.

Kalau Khomsatun, sekarang dia sudah menikah dan sudah punya anak, itupun kudengar dari adikku. Teman kita satu lagi yang bernama Heti Kusuma, juga sudah nikah lho… kalau tidak salah beberapa bulan lalu, sebelumnya sih aku sempat ketemu, dan aku bilang kalau menikah undanganya jangan lupa, yah… mungkin ia terlalu sibuk, akupun juga jarang pulang ke madiun. Budi, aku benar-benar lupa siapa nama lengkapnya, aku bertemu dia saat dia menjadi wali murid adiknya yang sudah masuk MTs, dia adalah teman angkatan kita yang paling pertama menikah, benar kan? Kalau Rofik Heri Mustofa, anak kekar itu, sama sekali aku tak pernah mendengar berita tentangnya. Juga Yusi, Yusi Wahyu Tristanto, anak yang paling tampan di kelas kita dulu, dengar-dengar ia sekarang sudah sukses jadi angkatan. Sugeng Widodo, kau masih ingat juga kan? Dia masih di rumah, mungkin dia paling awet di rumah, dia sekarang bekerja seadannya, entahlah. Kalau itu, Dian Nita Afianti, anak yang suka minta aku gambarin Sailormoon, dia juga masih di rumah, katanya dia juga kuliah, entah kuliah di mana, tapi masih lingkup Madiun kok. Lebaran kemarin aku ketemu dia, dan kami hanya saling menyapa.

Oh ya, aku yakin sekali kau masih ingat sama cewek kocak yang namanya Erna, Ernawati, nggak nyangka dia sekarang sudah punya anak, katanya anaknya kembar pula, waktu dia nikah sebenarnya aku diundang, bahkan aku yang disuruh ngaji, tapi apa boleh buat, waktu itu aku lagi sibuk-sibuknya ngerjain skripsi, yah, aku hanya bisa Bantu doa yang tak putus-putus, aku masih ingat saat Erna menduduki kepala Indro yang terbaring di bangku. Aha, Yani, Nurul Khoiriyani, sungguh, dialah yang paling sedikit kudengar kabarnya diantara teman-teman kita yang lain.

Hh… siapa lagi yah? Seingatku sekelas kita dulu ada 14 orang atau 15 gitu…. Kalau 14, ya pas, tambah aku sama kamu.

Sudahlah…. Tiba-tiba aku bisa menangis kalau mengenang masa-masa kecil dulu…. Aku juga tak tahu mengapa begitu. Kau yang ada di negeri jauh tentunya lebih sering menangis…. Merindui kampung halaman.

Menurutmu bagimana?

Apa kau pernah membaca puisi tentang kenangan…..

Kau tak perlu membacanya, kalau kau membacanya pastilah kau akan menangis…

Tapi, sungguh…. Kau akui atau tidak, sesungguhnya tangis itu adalah sebuah nikmat Nikmat yang unik. Bahkan aku pernah menangis gara-gara aku tak bisa menangis. Kau percaya? Bukankan dengan menangis hati kita menjadi tidak sekeras batu-batu kali. Apalagi menangis dalam kesunyian di tengah malam, kau pernah merasakannya?

Sudahlah….. aku sendiri tak tahu, saat bait-bait kata ini tertuang lalu mengalir melalui tuts-tuts computer, hatiku terasa agak sesak, sesak keinginan-keinginan yang buntu, yang sama sekali tak bis aterwujud. Ha… ha… bagaimana mungkin Tuhan mengabulkan jika aku meminta waktu diundur sekitar 17 tahun lalu. Hh… aku memang aneh. Entahlah…. Ini sesal atau kekecewaan…. Yang jelas aku telah menuang sungai di sudut mataku. Baiklah…. Aku tak ingin larut, dan kemudian kalut. Baiklah….., ini ada sebuah puisi, untukmu… untuk Alm. Pak Minto, untuk teman-teman kita di masa lalu….


Kepada Guru dan Kawan Masa Lalu

Ruang itu di sudut

Di bawah rimbun jati dan trembesi

Kita berlari mengejar debu-debu

Kadang berkecipak di kubangan-kubangan becek

Atau melipat kertas lusuh menjadi kodok

Setiap pagi sepeda tua itu selalu bersandar

Di dinding rapuh yang luntur catnya

Ia berjalan dengan seember air jernih

Air yang direbus langit dengan ilmu-ilmu di kepalanya

Maka kita berhamburan, berlari menyambutnya

Melepaskan dahaga kita

Ia mengajarkan kita tentang bagaimana menakhlukan sang waktu

Ia juga mengajarkan kita bernyanyi tentang anak babi

Ia juga mengajarkan kita bermain kata

Kau ingat kata-kata ini:

Kolo kulo kelas kalih kelen kali kilen kulo

Kalung kulo kolang kaling

Keli menyang kali kulon

Hh……

( Itulah kalimat aneh yang dalam, yang paling sering mengiang-ngiang di kepalaku untuk menghiburku dengan kenangan-kenangan masa lalu )

Ya Rabb….

Apa kau peduli pada perjalanan masa

Tolong…. Aku titip pada-Mu agar Kau jaga dia

Dia yang tak kuat menahan rindu padaMu dan mengejarMu

Allahumaghfirlahu warhamhu……

Malang 31 Maret 2009




Karya Mas Emka Lahir dari Dunia Gemerlap

Kemarin Minggu (28/03) Mas Moammar Emka (penulis buku Jakarta Underconer Series) bersilaturrahim ke gedung widyaloka UB, dalam rangka ulang tahun LPM Techno (Pertanian) di UB. Eh, Nggak nyangka loh, ternyata Mas Emka tuh… seorang santri, dari tulisan-tulisanya saya kira mas MK tuh, orang Jakarta abis….. siapa yang nyangka kalau pria berambut gondrong itu orang asli Tuban Jawa timur, siapa yang nyangka pula kalau orang kaya mas MK rupanya pernah nongkrong di bangku kuliah jurusan sastra arab, sastra arab men…..

Mas MK ngaku, awalnya dia sama sekali nggak nyangka kalau ia diterjunin untuk neliti dunia malam, “Awalnya sih gue canggung, gue kan lugu….” Begitu ungkapnya. Betapa, ternyata pengalaman mas MK di dunia malem tuh sudah bertahun-tahun. Bisa dibilang dia tuh sudah masternya. Adalah sebuah realita, bahwa ruapanya di negara kita ini ada lho… komunitas malam yang mewajibvnya anggotanya untuk (Maaf) bugil setiap memasuki kawasan tersebut (Nah, loh nggak nyangka kan!). mas MK ngaku untuk meneliti hal-hal semacam itu dia harus terjun langsung (barangkali dia harus ikutan bugil kalu mau meneliti orang-orang bugil…. He…he….)

Kemarin sih sempat ada yang nanya begini “Mas… kalau semacam itu, berarti kita serba sulit juga, ini hubunganya dengan dosa ya, terus bagaimana mas MK bisa ‘menetralisirkan, perasaan semacam itu?” dengan agak gimana gitu mas MK menjawab, yang apa boleh buat, memang diakuinya, dari segi prinsip-prinsip dan ajaran yang dianut hal semacam itu tentu dosa, bagaimana melihat orang bugil tidak dosa ? tapi, yah itu tadi, kita harus bertarung, mengenyampingkan sesuatu yang namanya dosa itu tadi, yah itu urusan dengan tuhan, yang jelas sekali ia terjun ia takkan mengulanginya untuk yang kedua kali. Begitulah….

Pada akhir season ada juga yang nanya, pesen apa yang sebenarnya ingin disampaikan mas MK dalam tulisan-tulisannya itu, nyatanya lima puluh persen lebih dari tulisan mas MK lagi-lagi seputar ‘lendir’, minim dengan pesan moral, tentu saja tidak bisa dibandingkan karya-karya mas MK dengan Kang Abik misalnya, bukan pada jalurnya.

Menanggapi hal tersebut mas MK santai-santai saja, bahkan ia mengkiaskan tulisanya dengan berita-berita di media masa, “Apa berita-berita criminal, pembunuhan yang di tayangkan di tivi-tivi itu ada pesan moralnya?” begitu ia menkiaskan dengan kalimat Tanya. Tentu saja berita pembunuhan misalnya, tak ada pesan moralnya, hanya saja (Mungkin) orang bisa lebih berhati-hati dengan realita yang ada. Yah, kurang lebih begitulah….