G E L A R (Republika, 24 April 2011)


MENURUTKU, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya adalah mengenai gelar itu sendiri.

Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.



Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, aku selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, aku selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.



Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.

Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat aku akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.



Adapun mengenai huruf Dr, dari namaku ialah singkatan dari kata doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Makkah. Dan untuk huruf M, aku takkan menjelaskan panjang lebar karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku, Muhammad.

Dan yang terakhir, huruf MA, master of art, merupakan oleh-oleh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?



Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru aku mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.

***



Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu mengasese skripsinya yang amburadul itu.

Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.

Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan daripada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa aku meladeninya.

“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.

“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.

“Walah… itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.

“Tapi Pak, minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.

“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”

“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”

“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.

Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat seperti kaca.

“Sudah, terserah draf itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.

Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.

Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.



Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”

Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”

Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan, malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.

“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.

“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.

“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.

“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”

“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.

Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera mengasesenya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.

***



Usai sidang skripsi, aku bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.

Biasanya, setelah nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan sampai sepatu made in Italy.

Dan, malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.

“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.

“Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.

“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.

Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”

“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”

“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.

Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.

Maka, dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:

Alm Prof Dr H M Kibari, MA.

Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:

.

Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.

Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.

Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.

Salam

Mahasiswamu.

.

Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat.

“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.

“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*)

.

Malang, 2009-2010

Pesan Tengah Malam (Harian Berita Pagi Palembang 24 April 2011 )

SATU

Malam berkawin dengan hitam. Angin berpeluk dengan sepi. Larut dan gigil. Jarum jam terus berdetak. Detaknya menyerupai suara mesin ketik tua yang terbata-bata. Lampu masih menyala. Buku-buku masih terbuka. Kulirik jam dinding yang terus berkemeletik, mengetikkan waktu: jarum panjang di angka dua belas, jarum pendek mendekati angka enam. Mataku mengerjap-ngerjap. Berat. Aku harus pergi tidur.

DUA

Lampu kamar kumatikan. Separuh korden jendela kusingkap tepikan. Paku pandangku menembus langsung ke wajah bulan. Ketika tubuh mulai kurebahkan. Selimut kubentangkan. Dan kelopak mata siap-siap kupejamkan. Tiba-tiba, hape di sebelah bantal bergetar, layarnya berkedip-kedip. Diterima sebuah pesan.

Maaf, malam-malam menganggu. Ini aku. Masih ingat?


Menyebalkan. Seperti orang tak punya nama saja. Tak kuacuhkan. Aku yakin, itu hanya ulah seorang teman. Beberapa menit kemudian. Sebuah pesan masuk lagi. Dari nomor yang sama.

Sungguh, Kawan. Aku butuh bantuan.

Aneh sekali. Setelah mengajak main tebak-tebakkan, tiba-tiba minta bantuan. Masih tak kuhiraukan. Namun tak lama kemudian, hape memekik lagi.

Aku sungguh-sungguh. Untuk membuatmu percaya, apakah aku harus bersumpah atas nama tuhan?

Mengapa harus membawa-bawa nama Tuhan. Berlebihan sekali kata-katanya. Namun, setelah pesan itu. Tiba-tiba aku menjadi gugup. Dalam remang, kupencet tombol-tombol huruf yang menyala di sana.

Maaf. Ini siapa?

Klik. Terkirim. Beberapa detik kemudian…

Ini aku, Lilla. Masa lupa?

Klik. Balas.

Lilla? Lilla Nurlilla. Lilla Kalideres? Lilla anak IPA III?


Kirim. Terkirim.

Tak lama, satu pesan diterima.
Memangnya kamu kenal berapa Lilla?

Hatta perbincangan berlanjut panjang

Hehehe… btw apa kabar nih?

Btw? Btw apaan maksudnya? Buwat?

Hih, tell me banget. Btw singakatan dari By The Way: ngomong-ngomong.

Oh… sekarang ngomongmu pake bahasa ingrris, ya.

Ya, dong. Hari gini, gak bisa bahasa inggris… eh, nomormu kok gonta-gonti terus, kayak orang pacaran aja.

Iya, HP yang dulu ilang. Nomornya ikut ilang.

Kabarmu bagaimana?

Kabarku buruk.

Buruk? Buruk bagaimana?

Buruk sekali. Makanya aku sms. Aku butuh bantuanmu.

Bantuan? Bantuan apa?

Maaf, ya, belum-belum sudah merepotkan.

Walah, kayak orang baru kenalan aja. Denger-denger kamu kerja di Hongkong, ya?

Iya, lebaran lalu saya pulang.

Mudik?

He’eh.

Kok gak kabar-kabar.

Habis denger-denger kamu sibuk. Sudah jadi penulis, novelis. Sudah jadi sastrawan.

Ah, siapa bilang. Saya juga babu kok! Babu tinta. Hahaha

Ikut seneng, kamu sukses.

Amiiin. Jadi, bagaimana?

Apanya yang bagaimana?

Katanya kamu mau minta bantuan.

Oh, iya aku lupa.

Dari dulu penyakit lupamu gak sembuh-sembuh, ya.

Hehe…

Belum nikah kok sudah punya penyakit pikun?

Hehe…

Kamu belum nikah, tho?

Hehe…

Kok hehe hehe terus?

Mana ada laki-laki yang mau sama babu lulusan SMA?

Ada. Laki-laki yang babu yang lulusan SMA juga. Hahaha…

Gak lucu…

Maap. Control Z, deh.

Control Z?

Maksudnya kembali ke laptop. Jadi bagaimana?

Apanya yang bagaimana?

Aduuuh, tak jitak gundulmu. Katanya mau minta bantuan.

Hehehe, iya, aku mau minta bantuan. To the point aja, yah… Kamu bisa, gak, mengantarkan sesuatu ke alamat rumahku?

Lho, memangnya kamu sekarang gak di rumah?

Enggak. Sekarang saya berada di tempat yang sangat jauh. Jauuuuh sekali.

Di luar negeri?

Bukan. Lebih jauh dari itu.

Di luar angkasa. Hahaha…

Di alam baka… Hahahaha…

Kalau begitu, aku sedang ngobrol dengan hantu, dong!

Kalau hantunya cantik tak masalah, kan?

Sssst… aku sudah ada yang punya.

Iya, aku tahu. Lagian mana mungkin cowok keren sepertimu mau sama aku.

Baru tahu, ya, kalau aku keren. Hahaha…

Iih Narsis. Control Z, ya. Kembali ke permasalahan.

Yups. So?

Langsung saja. Di sebuah gardu kosong, deket lapangan bola, deket rumahmu, ada sebuah kardus. Aku minta, kamu mengantarkan kardus itu ke keluargaku.

Ih, kayak recidivis, aja. Kenapa gak langsung dianter ke rumahku aja.

Kalau bisa, ngapain aku minta tolong kamu. Mendingan tak bawa pulang sendiri. Tapi, ya, itu. Aku benar-benar gak bisa. Makanya aku minta tolong sama kamu. Toloooooong banget. Ya? Pliiis!

Lalu siapa yang naruh kardus itu di gardu? Aneh-aneh saja, atau jangan-jangan isinya narkoba, atau malah bom.

Gak kok! Tak jamin, isinya bukan narkoba, apalagi bom.

Lalu apa, dong?

Nanti setelah sampai rumahku, kamu akan tahu.

Walah, malah main teka-teki. Ogah, ah, kalau nggak jelas.

Ini jelas. Jelas sekali. Ayolah! Pliiis! Ini yang terakhir kali. Benar-benar yang terakhir kali. Ya? Oke?

Ya lah… tapi masa harus sekarang?

Gak. Besok pagi atau siang juga gak papa. Sekarang kalau mau istirahat, silahkan istirahat. Teima kasih, ya. Dadaaaa…

Lho? Jadi ceritanya sudah bosen nih ngobrol sama teman lama?

Takut ganggu istirahatmu aja.

Dari tadi sudah ganggu. Ganggu sekalian aja. Terlanjur basah, ya sudah, mandi sekali. Terlanjur malu ya sudah, malu sekali… (dangdutan.com)

Hihi, gak nyangka kamu dangduters juga.

Emang kenapa?

Gak papa sih.

Seolah-olah, kalau cowok suka dangdutan kegagahannya ilang.

Aku gak bilang gitu.

Tidak secara langsung.

Ngomong-ngomong, pulsamu masih ada nih?

Yeee, ngelunjak. Mau tak telpon. Tak telpon nih!

Gak, gak, gak usah. Percaya kok. Penulis pasti duitnya banyak. Hehehe

Tapi kayaknya masih banyakan duit yang baru pulang dari luar negeri, deh!

Jika saja kau tahu bagaimana nasib TKW.

Jika saja kau tahu bagaimana nasib penulis.

Kalau aku bisa nulis, mendingan jadi penulis daripada jadi TKW.

Kalau aku malah pingin jadi TKW. Eh, salah, maksudku TKP: Tenaga Kerja Pria. Hahaha bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Penulis malah bisa jalan-jalan keliling dunia, lewat tulisannya. Hahaha…

Ya, deh. Pokokke diyukuri aja. Eh, btw, kabarmu waktu di Hongkong bagaimana? Galakan mana majikanmu sama anjing lacaknya pak polisi.

Hush! Majikanku orangnya baik, ya.

Tapi, denger-denger bayak juga TKW di luar negeri yang dijadiin sate, dijadiin roti bakar setrika. Pulang ke kampung sudah pada gosong semua.

Ya, kalau aku bilang sih untung-untungan juga.

Jadi, kamu termasuk yang untung?

Ya, Alhamdulillah.

Ya, ya, ya… (manggut-manguut)

Kayaknya sudah kehabisan bahan obrolan, ya! : -)

Kamu sudah ngantuk, ya?

Dengan keadaanku yang sekarang, aku tak mungkin mengantuk.

Memangnya sekarang kamu lagi ngapain, sih? Di mana?

Aku berada di sebuah tempat.

Iya, nama tempatnya apa?

Aku sendiri tak tahu harus menyebutnya apa.

Kamu tersesat?

Mungkin.

Kok, mungkin?Kamu bener-bener aneh.

Ya, ini memang aneh.

Apa kau baik-baik, saja?

Tidak.

Hei, jangan bercanda, jangan bikin perasaanku gak enak.

Aku pingin nangis.

Ya sudah, tak telpon, ya!


Klik. Pesan terakhir terkirim.

Kubuka pesan masuk terakhir. Rincian pesan. Nomor. Simpan nomor: Lilla Kalideres. Klik. Kutekan tombol dial.

Tut… tut… tut… tut… tut….

Tidak tersambung. kembali kutekan dial.

Tut… tut… tut… tut… tut….

Tidak tersambung. Tiba-tiba perasaanku kacau. Aku teringat tentang kardus di gardu usang yang ia pesankan. Rasanya ingin kuambil kardus itu sekarang juga. Namun, malam begitu menyeramkan. Maka kuurungkan. Kutengok angka di layar HP: 01.45. Tubuh kembali kurebahkan. Selimut kembali kubentangkan. Kelopak mata siap-siap kupejamkan.

Malam terus merangkak. Tubuhku terbuntal rapat seperti molen pisang. Lensa mataku menangkap remang bulan yang tiba-tiba ditutupi arakkan awan. Mendadak aku teringat film-film vampire. Tepat saat adegan serigala mengaum di puncak malam. Bayangannya menyatu dengan wajah bulan. Aku merinding. Tubuh kumiringkan. Bantal dan selimut kurapatkan. Mata kupejamkan. Aku harus pergi tidur.

TIGA


Pagi buta, saat pertama kali kelopak mata tersingkap, tanganku sudah meraba-raba ke bawah bantal, ke sebelah bantal. Hape di mana? Klik. Panggilan terakhir: Lilla Kalideres. Klik dial.

Tut… tut… tut… tut…

Tidak aktif. Ke mana anak ini? Semalam berbalas pesan. Sekarang hape gak diaktifkan. Apa dia kehabisan pulsa? Atau low bateray?

Setelah metahari meninggi, aku segera menghambur ke gardu usang yang ia maksudkan. Ada di tepian gang yang sangat sepi. Gang yang terapit lapangan becek dan tanah kosong. Diantara rongsok kayu dan tumpukan karung-karung bekas, teronggok sebuah kardus yang terbungkus sangat rapi. Rapi sekali. Dilakban di sisi-sisinya, dan dililit rafia tebal sebagai tali pegangan. Kuedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Sepi. Aku mendekati gardu using itu. Tapi tiba-tiba ada bau menyengat. Seperti ikan busuk. Tapi tak ada lalat. Segera kuambil kardus itu dan kubawa pulang.

EMPAT

Menjelang siang, dengan sepeda motor, aku melaju dari Kramatjati ke Kalideres. Kardus bau itu kuikat karet ban dan kubonceng di jok belakang. Sepanjang perjalanan aku memutar otak, mengingat-ingat jalan yang benar menuju rumah itu. Aku pernah ke sana dua kali, waktu masih SMA, dan bertahun-tahun, setelah lulus dari SMA, kami tenggelam dalam kesibukkan masing-masing, kehidupan masing-masing. Kami putus kontak, hingga semalam, tiba-tiba dia menghubungiku lewat sebuah pesan pendek.

Bakda dhuhur, akhirnya aku sampai di depan rumah itu. Masih sama seperti dulu. Hanya cat temboknya berganti warna. Rumah itu pintunya terbuka. Beberapa orang tampak berkerumun di dalamnya. Kuketuk pintu, kulepas salam. Orang-orang yang berkerumun di dalam menoleh ke arahku. Lelaki paruh baya—yang kuingat sebagai bapaknya—segera berdiri dan mempersilahkanku masuk. Tanpa basa-basi, segera kuutarakan maksud kedatanganku, “Semalam Lilla sms saya, Pak, dia minta tolong saya untuk mengantarkan kardus ini.”

“Lilla sms kamu? Semalam?” Seorang lelaki memekik. Semua pandangan terlempar ke arahku. Pertanyaan di kepalaku berkecambah. Semua terdiam. Tak bisa menjelaskan. Hingga seseorang berdiri dan mengambil sebuah koran, telunjuknya terarah pada sebuah kolom tulisan, ada foto Lilla di sana: Gadis korban perkosaan dan pembunuhan. Mayatnya dimutilasi dan dibuang di beberapa tempat yang berbeda. Sampai sekarang, potongan tangan dan kepala belum ditemukan.

LIMA

Mataku tak berkedip menatap kardus itu. Membayangkan isinya.***



Malang, Maret 2011