PETANI DONGENG (Majalah Sabili , 17 Februari- 2 Maret 2012)


Barangkali dongeng itu bermula dari halaman rumah kami—anak-anak dusun yang selalu dilelapkan sepi. Atau mungkin dari gumaman ibu-ibu yang terkantuk-kantuk menunggu anak-anaknya tertidur. Atau mungkin juga dari sebuah ladang tua yang tak terurus di pinggiran dusun, hingga ia melebat ditumbuhi dongeng-dongeng. Itu semua hanya barangkali. Mungkin. Namun, di antara kemunginan-kemungkinan itu, yang paling memungkinkan adalah: dongeng ini bermula dari sebuah malam padang mbulan, yang cahayanya selalu membanjiri kampung kami, sebulan sekali. Ya, hanya sebulan sekali. Dan malam itu, bagi kami adalah malam raya yang haram dimubazirkan.

***

Pada malam raya itu, anak-anak di dusun kami selalu menyengaja bangun. Kami membuka selimut diam-diam dan berjingkat dari ranjang. Pelan-pelan kami memutar batang kunci atau menarik grendel pintu. Tak seorang pun dari ayah atau ibu kami boleh tahu ke mana kami pergi. Kami telah membuat kesepakatan, tepat pukul dua belas malam, kami akan bertemu di sebuah ngarai kecil yang menjadi pembatas dusun dan hutan. Dari sana kami akan melakukan perjalanan malam ke sebuah ladang yang tersembunyi di bebukitan, jauh di pedalaman hutan: sebuah ladang dongeng. Kami harus bersegera, karena kami tak memliki banyak waktu. Di akhir sepertiga malam nanti, kami harus sudah kembali ke rumah masing-masing. Tidak boleh tidak. Perjalanan kami memang sedikit jauh, tapi cahaya bulan yang mengikuti langkah kami seperti sebuah kereta yang tiba-tiba mengantarkan kami ke tempat tujuan.

Sesampai di rumah petani dongeng—sebuah ladang dongeng, kami akan duduk bergerombol seperti mengitari kenduri. Kami selalu duduk dengan khusyuk dan sabar, menunggu petani dongeng memetik dongeng-dongengnya yang ranum untuk ia bagi-bagikan. Kami sangat mengagumi sosok petani dongeng, selain ramah dan dermawan, ia selalu bisa menyulap kesedihan dan keluhan kami menjadi butiran tawa, tentu saja dengan dongeng-dongengnya.

“Kalian tak perlu bersedih. Apa pula itu bersedih-sedih. Jadi, sebulan sekali kalian boleh datang ke sini. Dongeng-dongengku akan merindui kalian.” Begitulah pesan petani dongeng, setiap kami hendak berpisah. Di mata kami, petani dongeng benar-benar seperti malaikat yang diturunkan langit untuk menghibur anak-anak.

***

Mengenai perjalanannya menjadi seorang petani dongeng, ia pernah bercerita pada kami. Selalu, setiap bulan, setiap rembulan menipis menjadi segaris alis, ia mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Tepat ketika bintang-bintang mengerjap kesepian, ia berangkat tergesa-gesa untuk melakukan pengembaraan ringan ke berbagai negara di belahan dunia. Ia berangkat dengan beberapa pakaian alakadarnya, bekal makanan yang ia awetkan dalam sekaleng puisi atau cerita, tak lupa pula: kantung-kantung kecil yang ia buat dari pelepah pohon pisang kering. Kantung-kantung unik itu ia gunakan untuk menyimpan berbagai benih dongeng yang akan ia punguti dari negara-negara jauh yang akan ia singgahi, begitu katanya.

Ia berangkat dengan pesawatnya sendiri, pesawat terbang yang sayapnya bisa ia katupkan dan ia lipat dalam saku bajunya. Pesawat terbang yang bisa ia lepas-landaskan kapan saja dan di mana saja. Itulah sebabnya, perjalanannya ke berbagai belahan dunia menjadi sangat mudah dan ringan. Sudah beratus-ratus negara ia singgahi, bukan untuk relaksasi atau rekreasi, tapi semata untuk memunguti benih-benih dongeng yang hampir terlupakan. Benih-benih dongeng yang selalu bercecerean di mana-mana: di sudut-sudut kota yang ditanami gedung-gedung angkuh, di taman-taman yang penuh salju bergelantungan, di cerobong-cerobong asap yang kelam, di padang gurun yang penuh debu, di pelosok-pelosok kering yang dihuni burung nazar, dan di mana saja. Benih-benih dongeng itu, nantianya akan ia bawa pulang dan ia tanam di ladang kesayangannya, ladang dongeng paling subur yang pernah ada.

Ladang itu adalah satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Di ladang itulah ia memanen kebahagiaan lewat dongeng-dongeng yang bertunas segar dan berbunga elok. Setiap hari, tanpa lelah, ia selalu mencumbui benih-benih dongeng yang berkilauan. Ia menaburkan benih-benih dongeng itu ke gundukan tanah dengan suka cita, seperti seorang darwis yang selalu tersenyum dalam tiap jengkal tariannya. Tak lupa pula, setiap pagi ia mengguyuri lahan gemburnya itu dengan metafora yang jernih, yang seperti turun dari langit. Itulah cerita singkat tentang perjalanannya menjadi seorang petani dongeng.

***

Bila masa panen tiba, sebulan sekali, setiap purnama bugil memenuhi langit, ia selalu mengundang anak-anak kampung untuk datang ke ladangnya. Ia akan menggelar sebuah perjamuan agung, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahinya tanah dan biji-bijian yang subur. Setiap masa panen, petani dongeng selalu memanen buah yang berbeda. Kami selalu heran ketika mengenyam kenikmatan buah-buah dongeng yang tak ternamai itu.

“Mmm… Dongengmu sangat lezat, Tuan. Jika Tuan tak keberatan, berkenanlah Tuan bercerita dari mana Tuan mendapat benih-benih dongeng yang beraneka rasa ini.” Sambil mengunyah dongeng di mulut, kami selalu menyela, mengungkapkan ketakjubannya.

“Ho… jadi kalian ingin tahu?” Petani dongeng menanggapi.

“Ya!” kami menjawab serentak.

“Dunia ini mahaluas, Tuan-Puan kecil. Seperti yang pernah aku ceritakan, selepas masa panen aku selalu mengembara ke berbagai belahan dunia untuk mengutipi benih-benih dongeng yang berbeda.”

“Wah, pasti menyenangkan jalan-jalan ke negara-negara yang penuh dongeng.” Salah seorang di antara kami menyeletuk.

“Kau benar, Tuan kecil. Itu sangat menyenangkan.”

“Tuan?”

“Ya?”

“Mmm, apakah setiap negera selalu memiliki dongeng yang berbeda?”

“Ouh, tentu. Seperti buah-buah dongeng yang ada di ladang ini. Bukankah setiap bulan kita memanen buah yang berbeda.”

“Dan buah-buahnya selalu memiliki rasa yang berbeda, terkadang manis, terkadang juga masam segar, terkadang pula sedikit pedas, bahkan pernah ada yang pahit.” Salah seorang teman kami yang lain berpendapat.

“Itulah, Tuan dan Puan kecil. Setiap negera memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Sejarah yang perlahan akan membeku menjadi benih-benih dongeng. Dan sejarah itulah yang menentukan manis, masam, segar, pedas, atau bahkan pahitnya sebuah dongeng.”

Kami semua manggut-manggut, mendengar penjelasan dari petani dongeng.

“Mmm, lalu bagaimana caramu memunguti benih-benih dongeng itu, Tuan? Apakah seperti memunguti buah berry yang jatuh dari pohonya?”

“O, tentu tidak, Puan kecil. Benih-benih dongeng itu kukutip dengan berbagai macam cara. Aku pernah memungut benih dongeng yang terjatuh dari liur seorang raja yang tertawa, pernah pula aku memungutnya dari lidah seorang ibu yang mengantarkan tidur anaknya, dari gerai rambut seorang putri juga pernah, dari tarian aneh badut-badut, dari gumaman kamar pengantin, dari bonsai yang dikerdilkan sejarah, bahkan dari kotoran unta pun pernah.”

“Wow! Lalu, seperti apa gerangan rupa-rupa benih itu, Tuan?”

“Tunggu sebentar!” Petani dongeng mengambil sesuatu dari saku celananya.

“Apa itu, Tuan?”

“Ini namanya kantung benih!” Petani dongeng menunjukan beberapa kantung berwarna cokelat muda. Kantung indah yang terbuat dari pelepah pisang.

Beberapa detik kemudian, petani dongeng menumpahkan biji-bijian yang ada dalam kantung-kantung itu ke telapak tangannya. Butiran-butiran kecil berkilauan di telapak tangannya. Seperti manik mutiara beraneka warna. Mulut kami ternganga disihir ketakjuban. Benih-benih kecil itu benar-benar indah.

Petani dongeng mencomot satu butiran kecil dari telapak tangannya. “Yang putih tulang ini benih dongeng dari daratan Himalaya. Benih ini telah terendam salju bertahun-tahun, dan ajaibnya… benih ini masih bisa hidup.”

“Kalau yang merah pekat itu?”

“O, kalau ini saya ambil dari sebuah negeri bergurun yang penduduknya kelaparan dan menjadi santapan burung nazar. Benih itu berasal dari kotoran burung nazar.”

“Iiiih, seram.”

“Itulah dongeng, Tuan-Puan kecil. Ada yang manis ada yang pahit. Ada yang menggembirakan, ada pula yang memilukan.”

“Mmm, kalau yang bening itu?” Kami melirik biji-bijian yang ada di telapak tangan petani dongeng.

“Yang ini saya kutip dari doa seorang imam yang rela berkorban untuk rakyatnya.”

“Oooh, indah, ya. Berkilauan.”

“Tentu, jadi, kelak jika kalian menjadi seorang imam, pemimpin, jadilah imam yang rela berkorban untuk rakyatnya, memikirkan rakyatnya. Maka hidup kalian akan berkilauan.”

Kami manggut-manggut. “Nah, kalau yang hitam pekat itu?”

“Mmm, yang ini dari mana, ya? Saya agak lupa, tapi kalau tidak salah, ini saya ambil dari negeri-negeri yang rusuh. Negeri yang anarkis. Negeri yang yang penuh api.”

“Hangus ya, bijinya?”

“Begitulah. Maka dari itu, kalian jangan pernah mengumbar amarah. Amarah itu seperti api, bisa membakar apa saja. Bahkan hidup kalian bisa terbakar olehnya.”

Sekali lagi kami manggut-manggut. Malam semakin jernih. Kami terus bertanya perihal biji-bijian milik petani dongeng. Dengan sangat jeli, petani dongeng memaparkan satu demi satu sejarah biji-bijian yang ada dalam genggamannya.

Ratusan biji dongeng telah ia tanam, selalu bertunas segar dan berbunga elok, pun bila musim panen tiba, buah-buah dongeng yang ranum telah siap untuk ia petik dan ia bagi-bagikan. “Purnama ini panen kita meruah. Kalian boleh pilih sendiri, buah mana yang ingin kalian cicipi. Dongeng mana yang hendak kalian santap.”

Meski petani dongeng mempersilahkan kami untuk memilih sendiri dongeng yang kami mau, tapi kami tak pernah melakukannya. Kami selalu menyerahkan keputusan padanya. Sebagai seorang petani dongeng, tentu ia lebih tahu, dongeng yang mana yang pantas untuk kami santap.

“Banyak nian panen kita kali ini, Tuan. Menurut Tuan, buah yang mana yang sedap untuk kami santap bersama-sama?” kami berdalih, supaya ia memilihkan dongeng paling lezat buat kami santap.

Petani dongeng memicingkan matanya ke arah pohon-pohon dongeng yang rimbun dan berbuah lebat. “Emm, itu, itu! Yang itu.” Petani dongeng mendekati sebuah pohon dongeng dengan buah ranum yang bergelantungan “Nah, ini dia!”

“Buah apa itu, Tuan?”

“Buah dongeng tentu saja.”

“Aih, ini buah, buah paling elok yang pernah saya jumpai di ladangmu, Tuan.”

“Ya, buah ini memang eloknya bukan main. Dan harumnya… Hmmm!”

“Dari negeri mana Tuan dapatkan benih dongeng seelok ini?”

“Ouh, tentu saja benih ini saya ambil dari sebuah negeri yang elok pula. Negeri yang hijau dan konon gemah ripah loh jinawi. Negeri yang tanahnya sesubur tanah di ladangku ini. Negeri yang bisa menyulap togkat kayu menjadi tanaman. Negeri dengan hasil bumi dan lautnya melimpah ruah.”

“Adakah negeri yang serupa itu, Tuan? Negeri apa namanya?”

“Negeri di antah berantah yang tak kutahu namanya.”

“Wah, pasti buah ini senikmat harumnya.”

“Ayo! Tunggu apa lagi? Sini, biar saya kupas, dan lekas kita santap bersama.”

Kami berteriak kegirangan. Petani dongeng mulai menguliti buah dongeng itu perlahan. Dari mulutnya mengalun sebuah gumaman merdu. Kami sudah tak sabar menunggu. Ketika petani dongeng mulai membelah dongeng itu, tiba-tiba bau busuk menyeruak ke hidung kami. Awalnya kami mengira salah satu dari kami ada yang kentut. Tapi, tidak. Jelas sekali, bau busuk itu menyeruak dari buah dongeng yang telah terbelah di hadapan kami. Petani dongeng tercekat. Kami tercekat. Selepas dibelah, buah elok di hadapan kami tiba-tiba menghitam.

Kami membisu, menutup hidung masing-masing. Bau busuk dari buah dongeng itu semakin menyengat. Petani dongeng menatap mata kami satu persatu. Tatapan maaf yang cerlang. Dan dari cerlang matanya itu, ia seperti hendak menjelaskan, bahwa sesuatu yang indah belum tentu sempurna di dalamnya. Seperti sebuah negeri yang pernah ia singgahi. Negeri yang sangat elok, namun penuh luka dan kebusukan di dalamnya.***

Malang, Maret 2011

Penggali Pasir (Jawa Pos, 11 Maret 2012)




DARI atas tanggul, ia memandang lepas deras arus bengawan yang kelam dan bergelombang bagai rambut ibunya. Matanya memicing, memperhatikan luapan air yang perlahan surut. Seperti biasanya, bila luapan air mulai surut, tepian bengawan itu akan dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun.
Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan kapan akan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar gemuruh air pasang. Sesekian waktu, bila suara gemuruh itu merendah, artinya air telah surut dan ia akan menaiki tanggul di tepian bengawan itu sambil membawa serok dan ciduk pasir yang dibuatnya sendiri dari bekas kaleng kotak biskuit.
Selain karena paling getol, rumahnya juga paling dekat dari bengawan. Jadi ia selalu dapat mengumpulkan pasir lebih banyak daripada teman-temanya.
Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu dan kedua adiknya. Bapaknya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu, jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan dan rumah rapuh itu hanya terpisah oleh sebuah tanggul tinggi yang tampak kokoh, yang mungkin telah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yang saban hari akrab ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.  
Orang-orang memanggilnya Thekhel. Badanya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam kusam oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap enam belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan nenek moyangnya.
Satu adiknya, Menik,  berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi, Yanti, baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan kadang-kadang sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan ladang. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke bengawan untuk sekedar membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia santap saat beristirahat dari galian pasirnya.
Berapapun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara, keculai mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya, sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok atau minuman berbotol yang baunya menyengat itu. Namun, setiap kali teman-temanya mengajaknya pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolak.
Lamat-lamat ia masih bisa mengingat kata-kata bapaknya lima tahun lalu. Kini ia baru bisa mencerna kata-kata itu betul-betul, “Fakir itu dekat sekali dengan kafir, Le, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin seperti kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersyukur. Tapi kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah dari pada orang kaya yang kufur.”
***
Di usianya yang masih hijau ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia sudah bangun. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan dengan kaos oblong panjang yang warnanya sudah tak jelas.
Pagi-pagi ia akan menaiki tanggul dan turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa mengira-ngira, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara ‘bug’ maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ. 
Para tengkulak dan juragan truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan bagus, maka satu baknya bisa dihargai 75 sampai 80 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu.
Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air bengawan susut, sepanjang tepian bengawan itu akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong menuruni tanggul, seperti menyambut musim panen. Mereka akan berlomba dan berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat yang sama.
Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan bengawan yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bila musim hujan tiba, ia akan banyak menghabiskan waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil atau mengantar cucian.
***
Menganggur sering membuatnya tidak betah. Meski hujan masih mericis, acap kali ia menaiki tanggul dengan gelisah. Matanya memicing, memperhatikan arus bah bengawan yang bergulung-gulung bercampur lumpur dan sampah. Ia selalu berharap supaya air bah tidak terlalu besar. Sehingga dua atau tiga hari ke depan ia sudah bisa memulai galian. Namun, di musim hujan begitu, sebulan sekali saja ia bisa menandai galian, ia sudah beruntung.
Musim hujan, baginya tak ubahnya sebuah cobaan. Seperti kemarau panjang bagi para petani. Pada musim penghujan, ia harus banyak bersabar dan berdoa. Ketika bengawan surut pun, ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam pekerjaanya. Karena biasanya pasir di tepian bengawan masih dipenuhi air. Sehingga ia harus bekerja ekstra.
Terkadang ia berpikir, barangkali musim penghujan memang sengaja diturunkan untuk para penggali pasir, supaya mereka rehat barang sejenak. Seperti ketika Tuhan menciptakan malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja. Toh, selepas musim penghujan, mereka akan memanen pasir lebih banyak dari biasanya. Pasir-pasir itu memang seperti diciptakan untuk mereka. Meski bertahun-tahun dikeruk, tapi tak pernah habis, selalu datang yang baru. Terkadang ia berpikir, entah dari mana datangnya pasir-pasir itu. Barangkali dari langit yang turun bersama hujan.
***
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, musim penghujan tidaklah sekejam itu. Tapi, yang ia keluhkan, musim penghujan kali ini memang sedikit lebih panjang. Buruknya lagi, musim penghujan kali ini datang tepat bersamaan dengan tahun ajaran baru. Ketika kedua adiknya butuh biaya lebih untuk bayar ujian, daftar ulang, buku baru, dan tetek bengeknya. Sekilas ia menangkap raut cemas pada wajah ibunya. Uang hasil buruh cuci saja tentu tidak cukup, toh setiap hari mereka juga butuh makan.
Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagimana melunasi biaya-biaya sekolah adiknya yang melambung seperti hantu itu. Matanya masih nyalang, menelanjangi langit-langit rumahnya yang begitu kelam seperti ceruk gua. Sayup-sayup telinganya masih menyimak kemrosak air bah dari balik tanggul, kemerosak yang sedari pagi tak henti-henti. Diantara kemericik hujan yang seperti tak kenal lelah, suara-suara itu bagai mencibirnya.
Ia menoleh, di sebelahnya ibunya sudah terlelap memeluk adiknya yang paling kecil. Tampak terkembang layar kepayahan pada wajah-wajah itu. Adiknya yang satu lagi sudah mendengkur memeluk bantal dengan liur berleleran di pipi. Ia tersenyum simpul. Namun, jauh sekali di dalam hatinya, ada yang menyala-nyala.  Sulutan antara kecemasan, kasihan, marah, tak terima, semua melebur dan berkobar dalam dadanya. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia ingin rehat sejenak, tanpa memikirkan apapun. Ia ingin segera tidur.
***
            Seperti biasa, pagi-pagi kencur ia sudah terbangun. Sisa hujan semalam membuat udara sangat lembab. Tanah-tanah masih becek dan berkubang air. Ibunya pun sudah mulai membakar karet sandal untuk menyalakan tungku. Ia duduk di depan tungku, di sebelah ibunya yang sibuk meniupi api. Asap berhamburan. Ibunya terbatuk-batuk.
“Sini, Mak!” ia mengambil alih, dengan segenap tenaga ia menyemburkan tiupan, api pun berkobar membakar kayu dan kertas-kertas bekas.
Ia dan ibunya sama-sama diam, wajah mereka tampak terang dan berkilat-kilat oleh pantulan api yang berkobar dari tungku.
“Terakhir kapan, Mak?” sambil merapikan kayu di perapian bibirnya berkeciap lirih, seperti menggumam.
“Yang terakhir kapan, apanya?”
“Bayar uang sekolahnya Menik sama Yanti.”
“Di suratnya sih Sabtu depan, karena Senin sudah ujian.” Jawab ibunya datar, tanpa ekspresi.
Ia terdiam, matanya terpaku pada ranting-ranting yang kemeletak terbakar api dalam tungku.
“Sepertinya, saya harus memulai galian hari ini,” bisiknya lagi.
“Hush! Setelah bapakmu, sudah lama bengawan itu tidak menelan korban. Apa kamu tidak dengar, suara kemerosak begitu. Air bengawan masih meluap-luap. Tunngu dulu, setidaknya sampai minggu depan.”
“Tapi, kan, uang sekolahnya Menik terakhir Sabtu, Mak.”
Halah, itu Mak bisa cari utangan nanti.”
“Cari utangan ke mana lagi, Mak?” ia menekankan suaranya, tak terima. Namun ibunya malah memelototinya. Akhirnya ia memilih diam.
***
Matahari megapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yang masih menggumpal di rongga langit. Ibunya sudah berangkat ke desa sebelah. Kedua adiknya juga sudah lesat ke sekolah. Tinggal ia seorang diri. Beberapa kali ia menaiki tanggul, untuk memastikan luapan air sudah mulai surut atau belum.
Semakin siang, suara gemuruh dari balik tanggul kian lirih, kian reda. Untuk ke sekian kali ia menaiki tanggul. Ia tersenyum menang. Air mulai surut. Ia memicingkan mata ke sepanjang tepian bengawan. Tampak gundukan pasir basah yang masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Arakkan mendung pun tampak memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan semakin surut. Ia tersenyum yakin. Sudah terbayang ancang-ancang cerlang dalam kepalanya.
Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk ganti kaus, mengambil serok dan ciduk pasir. Ia akan segera memulai galian. Saat itu juga. Ia akan menandai dua atau tiga galian sekaligus. Ia orang pertama yang menuruni tanggul. Artinya, ia bebas memilih perut pasir yang paling bagus untuk ia tandai.
Bergelimanglah alamat-alamat baik dalam kepalanya. Ia akan mengumpulkan pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih. Biaya sekolah Menik dan Yanti akan lunas. Ibunya akan tersenyum lepas. Benar-benar sangkaan yang cerlang. Namun, adakah Pemilik Hujan megiyakan? Tentu ia tidak tahu, bahwa nun jauh di sana, di hulu bengawan, bah besar mulai melata. Di sana, hujan turun deras sekali, sudah berhari-hari. Seharusnya ia camkan kata-kata ibunya, bahwa setelah bapaknya, sudah lama sekali bengawan itu tidak menelan korban.***
Madiun 2009- 2011

Benny Bear (Tribun Jabar, 11 Maret 2012)


LIMA tahun lalu, pada hari ulang tahunnya yang ke 20, sebelum kekasihnya berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studi, kekasihnya menghadiahinya sebuah boneka beruang. Sebagai kenang-kenangan dan pelipur rindu, kata kekasihnya.
Boneka beruang yang lucu. Warnanya cokelat muda, dengan pita marun terikat di leher. Bulu-bulunya lembut, teramat lembut. Sangking lembutnya, ia membayangkan bulu-bulu itu seperti permukaan awan yang bisa ia kecup. Boneka yang amat menawan. Matanya cerlang bak sepasang bulan dengan gerhana hitam di tengah. Hidungnya menyembul, bulat, pekat, seperti bola meriam kecil yang ditempelkan. Lucu sekali. Sangat lucu. Selanjutnya, ia menamai boneka beruang itu dengan Benny Bear, seperti nama orang yang memberinya, Benny, kekasihnya.
***
Lelaki memang (selalu) punya cara tersendiri untuk meracuni hati wanita. Sambil menyerahkan boneka itu, kekasihnya juga mempersembahkan sekuntum kamboja merah muda untuknya.
“Kok kamboja? Kenapa bukan mawar atau gladiol? Atau setidaknya, dahlia.” ia menolak pada awalnya.
“Karena aku ingin yang beda,” sang kekasih mengerjapkan mata dengan genit, “kamboja adalah simbol keabadian. Aku ingin kisah kita menjadi kisah yang abadi, sampai kita menjadi kakek-nenek yang renta,” lanjutnya.
“Gombaaal! Lagi pula, sejak kapan bunga kamboja jadi simbol keabadian? Bukannya bunga yang terkenal menjadi simbol keabadian itu bunga edelweiss? Kau ini, terlalu memaksakan diri.”
“Sudah kukatakan, bukan. Aku ingin yang beda! Biarkan mereka memakai edelweis untuk simbol keabadian, tapi, bagiku kamboja jauh lebih cantik dan abadi.”
“Jangan-jangan, itu karena, kamboja banyak ditanam di kuburan-kuburan.”
“Haha. Tepat sekali.”
“Iih, kau ingin aku cepat-cepat mati.”
“Tak usah berlebihan.”
“Habis… kau ada-ada saja. Kamboja.”
“Kau cemburu karena bunga itu lebih cantik darimu, kan.”
“Terserah!”
“Ayolah, aku cuma bercanda. Tak ada satu bunga pun yang mampu menandingi kecantikanmu, kau tahu itu, kan.”
“Gombaaaaaaaal!”
“Sudahlah! Kita tak perlu membahas perbungaan.”
“Lalu?”
“Kau tahu, boneka beruang ini kudapat dari mana?”
Ia tak menjawab. Karena, menurutnya, pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban.
“Boneka beruang ini kudapat turun temurun dari keluargaku,” kali ini penuturan kekasihnya terdengar jelas, mengada-ada.
“Kedengarannya aneh, ada sebuah keluarga yang turun temurun mewariskan boneka beruang.”
“Ini bukan boneka beruang biasa.”
“Apa bedanya? Aku sering melihat boneka semacam itu di kios-kios boneka.”
“Secara fisik, boneka ini memang sangat mudah didapat, tapi…”
“Tapi apa?”
“Ada sesuatu yang menyatu dengan boneka itu, semacam ruh. Kau pernah mendengarnya?”
“Ruh?”
“Ada sebagian dari diriku yang menyatu dengan boneka itu.”
“Maksudmu?”
“Dulu, kakek buyutku yang memulai pertama kali. Semacam mantra pengasih.”
“Mantra pengasih? Aku tak paham, tapi kedengarannya menarik.”
“Dulu, kakek buyutku, memikat hati nenek buyutku dengan mantra yang sama. Mantra pengasih yang telah disemayamkan dalam sebuah boneka.”
“Kau serius?”
“Apa aku tampak seperti bercanda.”
“Boneka ini?”
“Tentu saja bukan. Jasad bonekanya bisa diganti-ganti, tapi, sebenarnya, yang kumaksud dengan warisan turun temurun itu adalah jiwanya, mantranya.”
“Jadi, intinya, kau ingin memikatku dengan boneka ini?”
“Melihat tipemu yang mudah terpikat, dan mengingat diriku yang sangat memikat, rasanya aku tak perlu melakukan itu.”
“Sial! Kalau begitu, kubuang saja boneka ini.”
“Eit, jangan! Haram! Membuang boneka itu sama halnya dengan membuangku. Memangnya kau tega membuangku?”
“Kenapa tidak?”
“Aku serius, kalau perlu aku akan memohon. Boneka itu kuberikan dengan cinta, untuk cinta. Dari hati, untuk hati.”
“Mulai deh…”
“Aku sungguh-sungguh. Anggaplah boneka itu seperti aku. Rawat ia dengan baik, jangan kau sia-siakan, apalagi kau sakiti. Menyakiti boneka itu sama artinya dengan menyakitiku, kau tahu?”
“Lalu, apa yang harus kulakukan pada boneka itu? Apa aku harus memajangnya di kamarku? Atau di ruang tamu, di dapur, di kamar mandi…”
“Seperti juga aku, Sayang. Boneka itu pun bukan pajangan.”
“Lalu?”
“Kau bisa memeluknya sepanjang malam dan menciuminya. Kau juga bisa membawanya ke mana saja kau mau, bahkan kau bisa mengajaknya bercerita.”
“Kau gila! Aku jadi berpikir, jangan-jangan boneka ini memang sudah dijampi-jampi.”
“Jampi-jampi apa?”
“Mantra pengasih. Seperti katamu.”
“Tidak ada apa-apa dalam boneka ini kecuali aku. Dalam boneka ini ada akunya.”
“Ada akunya bagaimana?”
“Ya, aku ada di dalam boneka itu. Boneka itu adalah aku. Aku adalah boneka itu. Jadi jika kau macam-macam, aku akan tahu.”
“Emm, sekarang aku tahu, pasti di salah satu bagian tubuh boneka ini ada kameranya.”
“Kamera apa?”
“Kamera pengintai seperti yang di film film…”
“Kenapa aku musti repot-repot melakukannya?”
“Untuk mengintaiku.”
“Aku tak butuh kamera untuk itu. Aku hanya butuh kepercayaan.”
“So sweeeeet…”
“Aku serius, Sayang.”
“Bagaimana kalau kau yang macam-macam di belakangku.”
“Kau tak percaya padaku?”
“Pada prinsipnya, lelaki punya intuisi lebih untuk berbuat yang macam-macam.”
“Tidak semua lelaki.”
“Semua lelaki sama.”
“Kau pernah membaca Romeo and Juliet? Atau Laila Majnun? Atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijkc? Emm, atau kau pernah nonton Veer-Zaraa? Atau Love in The Time of Cholerra?”
“Belum! Apa itu?”
“Jiaaaah, pantas saja. Musabab itulah kau tak tahu, bahwa kesetiaan lelaki adalah cadik kecil yang terombang-ambing di tengah samudera hati wanita yang begitu buas. Dan kau tahu, cadik kecil itulah yang nantinya akan menjadi bahtera yang akan mengantar sepasang cinta menuju pantai keabadian.”
“Kau ini bicara apa?”
“Kau tak menyimaknya?”
“Apa?”
“Tidak semua lelaki sama seperti yang kau pikirkan.”
“Kalau begitu, kau termasuk yang mana?”
“Kau cukup memberiku selingkar cincin bernama kepercayaan, dan aku akan menyematkannya di jari-jari kehidupan, sampai aku renta, sampai rambutku memutih.”
“Kali ini aku harus mengakui bahwa kau memang benar-benar romantis.”
“Sayang sekali, kau baru menyadarinya.”
Ia tersenyum dengan mata berkilat-kilat sebelum akhirnya menundukkan kepala.
“Kau baik-baik saja?”
“Kau akan benar-benar pergi?”
“Ayolah, aku pergi takkan lama. Aku pasti kembali. Baiklah, aku akan berjanji, aku akan rajin menelponmu, setidaknya seminggu sekali.”
“Aku mau setiap hari,” rajuknya manja.
“Oke, oke. Kemon, jangan sedih begitu.”
“Kau melarangku bersedih, tapi kau pergi juga.”
“Jika kau merindukanku kau bisa memeluk boneka itu sepanjang malam, bukan? Kau boleh menciuminya sepanjang tidur. Kau boleh menjadikannya bantal, menjadikannya guling. Dan kujamin, rindumu pasti akan terobati.”
“Tapi ini hanya boneka.”
“Berapa kali harus kubilang, bahwa boneka itu aku. Aku adalah boneka itu. Sama saja. Tidakkah kau perhatikan, betapa boneka itu selucu aku.”
Sang kekasih menghapus lelehan kecil di sudut matanya, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama.
***
Pada minggu dan bulan-bulan pertama, kekasihnya sangat rajin menelpon. Namun, lantaran waktu dan kesibukan, kekasihnya mulai meminta maaf, tak bisa menelpon setiap hari atau setiap minggu. Ia pun memaklumi.
Berseberang bulan, kekasihnya hanya menelponnya sebulan sekali. Waktu kian berlari. Jarak kian tak bertepi. Lambat laun, ia pun bisa menerima, jika kekasihnya harus menelponnya sesekali saja. Lagi pula, ia mulai insyaf bahwa sudah tidak pada tempatnya ia merajuk dan bermanja-manja. Namun, setiap hari, sepanjang malam, ia selalu memeluk boneka beruang itu, seperti memeluk kenangan yang hendak terbang.
Bulan demi bulan tertelan. Tahun demi tahun berhalimun. Boneka beruang itu kian hari kian kumal. Bulu-bulunya mulai berguguran. Kerling matanya mulai buram. Kecantikannya mulai kusam. Ia pun merasakan nada bicara yang mulai goyah ketika terakhir kali kekasihnya menelpon, beberapa bulan lalu. Namun, ia tetap memeluk erat boneka itu. Ia selalu merangkai alternatif-alternatif yang mampu menenangkan hatinya. Sambil memandangi boneka itu, rol film di kepalanya kembali berputar, menayangkan percakapan yang penuh kenangan. Menayangan adegan-adegan yang akan selalu ia kenang. Namun entah kenapa, cambah kekhawatiran itu mulai menjulang di hatinya.
Kekhawatiran wanita memang nyata, layaknya sebuah pertanda yang tak bisa ditutup-tutupi. Akhirnya kabar itu sampai juga ke telinganya. Kabar bahwa sang kekasih telah menikah dengan wanita luar negeri yang biru matanya, yang bangir hidungnya, yang bening kulitnya, yang sempurna jasad jisimnya.
Ia teringat kata-kata kekasihnya, bahwa kesetiaan lelaki adalah cadik kecil yang terombang-ambing di tengah samudera hati wanita yang begitu buas. Tiba-tiba ia membayangkan, cadik kecil itu roboh dan terjungkir balik oleh hempasan gelombang dahsyat, sebelum akhirnya karam ke dasar samudera yang tak beranah.
Detik itu, dengan hati membara, ia melemparkan boneka beruang pemberian kekasihnya ke dalam perapian. Ia tertawa, air matanya membabi buta. Hatinya carut, menyaksikan kobaran api menjilat-jilat boneka beruang itu sampai kisut. Mengabu. Menyerpih debu.
Esoknya, ia mendapati kabar, bahwa kekasihnya tewas terbakar.***
Malang, 16 Oktober 2011

Solilokui Sunyi (Majalah Sabili, edisi 23 oktober – 10 November 2011)

I
PAGI menguap bagai seorang bayi yang terbangun dalam dekapan ibunya. Seorang wanita menyalakan kompor dan menyiapkan segelas kopi panas untuk suaminya. Dua bocah lelaki menggeliat tersaput tangan dingin ibunya. Bagun, bangun. Subuh, subuh. Saat matahari perlahan meninggi, susu murni dan sarapan pagi telah tertata rapi di meja hidang. Mereka siap melanjutkan sarapan. Anak-anak berangkat ke sekolah setelah mencium tangan ibu-bapaknya. Pun sang suami berangkat ke tempat kerjanya, setelah mengecup kening isterinya.
Rumah sepi. Wanita itu mulai menyingkap korden satu persatu, mebuka jendela dan pintu lebar-lebar serta memutar musik biola. Dicengkramnya sebilah sapu dan penebah. Ia menggulung karpet dan membersihkan lantai dengan sapu di tangannya. Disekanya debu-debu tipis di muka meja dan kaca jendela. Daun-daun kering yang berserakan di halaman, di atas rumput, ia kumpulkan dan ia bakar di halaman belakang. Anggrek dan anthurium di teras rumah ia semprot dengan cairan pupuk. Perempuan renta yang menawarkan kepedihan di gerbang depan, ia persilahkan masuk untuk menerima sedikit hibah kebahagiaan yang rasanya tak pernah habis. Perempuan renta itu tak akan pergi sehingga seulas senyum tersungging di bibirnya yang kering.

K O S O N G (Tabloid Cempaka, edisi 10- 16 Desember 2011)


SENJA hari pertama. Ia terbaring di atas kasur yang serba putih. Tangan dan kakinya dirantai perban. Warna hitam bersemu merah merembes di sana. Matanya menganga menerawang langit-langit. Tatapan matanya kosong. Melompong. Tanpa isi. Di sebelahnya, seorang perempuan baya terduduk kaku. Matanya seperti langit sehabis hujan pertama. Sesekali ia bergeming untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia membeku lagi.
Tadi pagi, sebuah bol meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Agaknya ia berangan-angan, ingin menyusul istrinya.
***
Aku berangkat dengan seorang gadis yang muncul dari dalam kepalaku (tepatnya dari ceruk mata yang bergemircik). Seorang gadis yang sangat sempurna. Gadis yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku sempat yakin, bahwa dia adalah bidadari. Seluruh tubuhnya terhijab sutera putih yang berkibar-kibar. Utuh dari rambut sampai telapak kaki. Hanya matanya saja yang tak tertutup. Mata yang sangat indah. Mata yang tampak berkilat-kilat oleh kajal. Seperti sebuah telaga di tengah padang gurun yang membara.
“Ayo, apa yang kau tunggu?” bisiknya. Ia mengulurkan tangannya yang tertutup oleh kaus tangan putih yang sangat halus bak bulu kelinci. Aku menyambut tangannya. Halus itu turut membaluri telapak tanganku. Aku seperti terbang.
“Kita mau ke mana?” tanyaku gamang.
“Kita akan melakukan perjalanan panjang. Perjalanan yang sangat jauh.”
“Iya, tapi ke mana?”
“Nanti kau akan tahu.”
Jemari kami pun bergamit. Setapak demi setapak ia memulai langkahnya. Aku mengikutinya di belakang. Jemariku masih utuh digamitnya. Seperti sebuah pesawat yang lepas landas. Tiba-tiba kami mengawang, tak berjejak tanah. Sesenti demi sesenti. Sekaki demi sekaki. Sehasta demi sehasta. Kami terbang. Kami mengawang di udara. Kami kami menyentuh pucuk-pucuk pohon. Seperti mimpi. Tanah dan pohon-pohon yang tadi kami pijak tampak kian mengecil. Kami terbang kian tinggi. Udara bergemerisik menampar-nampar tubuh kami. Menebar kibarkan pakaian putihnya yang lebar.
“Wajahmu pucat. Kau takut?” desisnya bertaburan diantara uadara yang bergemerisik.
“Aku hanya belum pernah terbang sebelumnya.”
“Kini kau terbang.”
“Ini benar-benar seperti mimpi.”
“Kau tidak sedang bermimpi. Lihatlah di bawah sana. Dari atas semuanya tampak indah.”
“Ini sungguh-sungguh menakjubkan.”
Kami memperhatikan kerlip lampu yang berjajar-jajar. Pendarnya serupa senja yang tumpah di mata yang muram. Kami mengamati lekuk sungai yang tampak hitam kelam seperti tinta gurita. Kami mengamati kubah-kubah yang benderang seperti bola lampu raksasa yang mengapung di lautan yang kelam. Kami mengamati semuanya. Rembulan kuning langsat berlayar memayungi perjalanan kami. Awan gemawan beriring seperti cadik. Bintang gemintang bertebaran di mana-mana seperti cahaya lilin di kelam raya. Aku memejamkan mata. Terbuai udara harum aroma misik.
“Bangunlah,” suara lembut itu membasuh telingaku.
Aku mengerjap, udara sesak seperti dalam tungku, “Apa kita sudah sampai?”
“Sudah kukatakan, perjalananmu sangat jauh. Perjalananmu masih panjang. Bahkan kau belum mencapai separuhnya.”
“Lalu, sekarang, kita ada di mana?”
“Kita di tengah perjalanan.”
“Tidakkah tempat ini memiliki nama?”
“Pun, bila kau tahu, di sini, nama tak begitu berarti.”
Aku memicingkan mata. Mengusap dahi yang terasa basah. Perlahan kabut awan menipis. Merendah. Menyentuh tanah yang penuh pasir. Desiran angin seperti berbisik diantara pasir-pasir yang lunglai.
“Kita di padang gurun kah?”
“Apakah menurutmu kita tengah di padang rumput?”
“Kedengarannya ini kabar buruk.”
“Itulah perjalanan. Tak selamanya jalan yang kita tempuh itu mulus. Adakalanya kita melalui tebing dan batu-batu yang penuh ancaman, yang bisa melukai kita kapan saja.”
“Menurutku tebing dan bebatuan akan lebih mudah untuk kita lalui. Tapi ini padang pasir. Lihatlah! Kita berada di padang pasir. Jangankan air, tempat berteduh pun nihil.”
“Kita memang tengah berada di bagian yang sulit.”
“Mengapa kita tidak terbang saja.”
“Sekarang aturannya kau harus berjalan kaki. Jadi, kusarankan kau tidak banyak mengeluh. Ini memang bagian yang sulit yang harus kau lalui. Sendiri.”
“Baik, baik. Tapi, untuk kata yang terakhir, kupikir kau hanya bercanda. Dan itu lucu, haha.”
“Aku tidak bercanda. Ini perjalananmu, bukan perjalananku. Tugasku hanya menjemputmu. Sampai di sini kau harus meneruskan perjalananmu sendiri.”
Suara gadis itu kian sayup. Tubuhnya mengawang di udara. Menjauhiku. Kian jauh. Sejauh jangka pandang, kian keruh. Ia kian jauh. Sempat kutilik sutera putih yang dikenakannya berkibar-kibar, sebelum akhirnya tubuhnya hilang ditelan badai pasir.
Aku berdiri kaku. Beku. Aku hilang arah. Tersesat. Yang ada hanya bisik-bisik pasir dan liukan hawa panas yang menari-nari. Aku tergugu. Hampir menangis. Aku berjalan gontai. Meraba-raba arah. Aku terus berjalan, melampaui waktu. Melintasi subuh yang beku. Melalui siang yang jerang. Melewati senja yang galan. Menyusupi petang yang lapang. Meringkuki malam yang purna. Aku terus berjalan, melampaui waktu.
“Aku ingin pulang saja, aku lelah, aku kehilangan arah, Ibu... Ayah… aku lelah, aku kehilangan arah.”
Aku terduduk simpuh. Penuh peluh. Seperti kaktus tua yang roboh ditelantarkan waktu. Kini aku terduduk. Hanya duduk. Aku terus terduduk, dilampaui waktu. Dilintasi subuh yang beku. Dilalui siang yang jerang. Dilewati senja yang galan. Disusupi petang yang lapang. Diringkuki malam yang purna. Aku terus terduduk, dilampaui waktu.
Sejauh mata memandang tak ada apa. Kosong. Melompong.
***
Senja bulan pertama. Ia terduduk di kursi roda. Matanya menerawang jauh ke depan, namun kosong. Melompong. Tanpa isi. Di belakangnya, seorang perempuan baya mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan. Matanya juga penuh kabut. Sesekali ia menghentikan kursi roda yang didorongnya untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia kembali mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan.
Sebulan lalu, sebuah bom meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Bahkan ia belum sempat membuka cadar sutera yang menghijab wajah istrinya.***
Malang, 29 September 2011

Pohon Randu dan Layang Layang (Nova, edisi 14-20 Mei 2012 )

KEMARAU mengaum berkepanjangan. Tanah-tanah rekah kehausan. Rumput-rumput beruban. Angin dan debu bersiul-siul sepanjang siang. Sedikit jinak menjelang petang.
Di tepi lapangan, pohon randu lekang menjulang. Tanpa daunan. Telanjang. Dahan dan ranting-rantingnya kurus mengangkang, serupa lengan yang tinggal tulang. Buah-buahnya retak bergoyang-goyang. Seperti puluhan botol kecap yang digantung dengan benang. Kapas-kapasnya berhamburan. Di dahan dan ranting, puluhan layang-layang meregang nyawa, melupakan impian mereka: terbang.
***
Pagi menjelang siang. Di depan tungku berjejal kayu, dua bocah lelaki gelisah, menunggui ibunya menanak. Perut mereka bertabuh gendang. Nasi yang dimasak ibunya, sedari pagi, tak matang-matang. Di sebelahnya, ibunya menumbuk sambal dengan keringat bercucuran.
“Sudah matang?” ia bertanya untuk yang kelima kalinya.
“Sebentar,” jawaban ibunya masih sama, “kau ajaklah adikmu ke lapangan, kau petikkan dia layang-layang. Nanti kalau nasi sudah matang, kalian akan ibu undang,” lanjut ibunya.
Senyum mereka mengembang. Seperti menemukan ide cemerlang untuk menangkis lapar perut yang menendang-nendang. Ibunya memang punya kebiasaan buruk: kalau masak tak matang-matang. Bapaknya punya kebiasaan lebih buruk lagi: kalau ngeluyur tak pulang-pulang.
“Ayooo!” ia beranjak dari depan tungku, menjawil kuping adiknya.
Ia menghambur ke dapan rumah, meraih gulungan benang dan galah panjang. Ia berlari kecil menuju lapangan. Adiknya tertinggal di belakang. Ia terus berlari. Terpincang-pincang. Kaus oblongnya yang kedodoran berguncang-guncang. Satu tanganya mencengkram gulungan benang, satu tangannya menyeret galah panjang. Deru langkahnya menerbangkan debu-debu. Seringai wajahnya mengembang, seperti layang-layang yang mengudara. Seolah akan terus terbang, tak kenal kekang, tak kenal tumbang.
Layang-layangku sayang, akan kupetik kalian, akan kuterbangkan hingga jauh ke langit lapang.
Ia melangkah girang, menuju pohon randu ranggas yang dihinggapi puluhan layang-layang yang dihianati angin dan benang. Di belakangnya, adiknya, dengan ingus berleleran, berlari kecil, busaha mengejarnya, celananya melorot, separuh pantatnya kelihatan.
“Ituuuuut!” teriak adiknya sambil menangis, suaranya berguncang seperti langkahnya yang belum sempurna.
“Diem! Abang kan petikkan kau layang-layang.” Ia meneriaki adiknya dengan suara lantang. Tapi suaranya sayup dan hampir hilang ditelan suara galah yang diseretnya—yang berderak-derak beradu tanah, menyisakan goresan panjang. Si adik terus berlari, sambil terus menangis, menyusul kakaknya yang tertatih-tatih menyeret galah. Beberapa goresan di tanah terhapus kaki adiknya yang terlunta-lunta mengejarnya.
Sampai di bawah pohon randu, bocah itu meletakkan gulungan benangnya, menegakkan galahnya—yang panjangnya empat kali lipat dari tinggi tubuhnya. Ia mengempaskan napas. Kepalanya tengadah. Satu tanganya ia tempelkan di dahi, seperti posisi hormat dalam upacara bendera. Kuning matahari meraup sebagian wajahnya. Matanya menyipit. Silau. Galah di tangannya hampir roboh waktu adiknya datang dan tiba-tiba menubruk pahanya.
“Kau duduk di sana, ya!” ia meminta adiknya untuk duduk di bawah dadap, di pagar perdu yang sedikit teduh. Adiknya merengek. Ia pun menjatuhkan galahnya ke tanah. Menyahut gulungan benang dan mengangkat tubuh adiknya lalu membawanya ke bawah dadap yang sedikit lebih teduh.
Ia menurunkan adiknya, “Tunggu sini saja. Ini, kau bawa benangnya dulu. Sebentar, Abang kan petikkan kau layang-layang. Tunggu di sini, ya!”
Si adik mengangguk. Ia kembali ke bawah randu. Kembali menegakkan galah. Ia mencari-cari layang-layang yang tersangkut di dahan paling rendah. Tapi ia tak menemukannya, “Sial! tinggi-tinggi semua,” gerutunya sambil mengusap keringat yang mulai mengembun di jidat.
Sekilas ia melirik adiknya yang duduk dan terus mengawasinya, di mata adiknya ia melihat sebuah harapan yang siap dijabar terbangkan, seperti sebuah layang-layang.
“Sebentar, ya, pasti Abang bisa petikkan layang-layang itu buatmu,” ia meyakinkan adiknya.
Ia kembali melirik dahan-dahan randu yang renggang di atasnya. Ha mencoba menghitung. Ada puluhan layang-layang. Tiga puluhan. O, tidak, ada empat puluhan. Yang masih utuh, tepatnya ada dua puluh empat. O, bukan, tapi ada dua puluh lima. Lima sisa di antaranya koyak-moyak dicabik angin. Sisanya tinggal rangka. O, pohon randu itu tampak seperti tiang pembantaian.
Ia mengerjapkan mata. Menatap layang-layang itu satu persatu. Tatapan sendu. Tiba-tiba, di sela tiupan angin, puluhan layang-layang itu seperti berbisik, “Kami mohon, selamatkan kami, lepaskan kami dari jeratan ini. Biarkan kami terbang. Biarkan kami kembali kepada angin, kekasih kami. Kau tahu, betapa pohon ini kejam, ia menyandera kami, ia membujuk angin untuk memusuhi kami. Tolong kami. Selamatkan kami.”
Ia mengerjapkan mata. Ganti menatap adiknya.
“Ayang ayang…, tebang tebang…, ayang ayang…, meyayang yayang…,” adiknya meracau dengan irama tak jelas sambil mengulurkan gulungan benang.
Ia kembali menatap layang-layang yang tertampar-tampar angin.
Layang-layangku sayang, layang-layangku malang. Akan kubebaskan kalian. Sebelum dikoyak angin jalang. Layang-layangku sayang, layang-layangku malang. Akan kuterbangkan kalian, hingga jauh ke langit lapang.
Ia berjalan mundur, menjauhi pohon itu beberapa langkah. Dari kejauhan, ia bisa menilik lebih jelas, mana layang-layang yang tersangkut di dahan paling rendah, dan mana layang-layang yang meregang di dahan paling pucuk. Ia kembali melangkah maju. Galah kembali ia tegakkan. Ia acung-acungkan ke dahan paling rendah, tempat layang-layang terjerat. Tapi sial, galahnya tidak menjangkau. Pelan-pelan ia menurunkan galahnya. Ia mencari-cari kayu untuk memanjangkan galahnya.
“Galahnya kurang panjang, Abang sambung dulu, nanti pasti dapat.” Ia mendekati adiknya yang duduk di pagar perdu, di bawah dadap. Selintas ia mematahkan kayu semak pagar dan menyambungkan dengan galahnya. Galahnya sudah sedikit lebih panjang. Ia menegakkannya kembali. Mengacung-acungkannya ke jeratan. Menghentak-hentakkannya ke dahan. Buah randu berguncang-guncang. Kapas berhamburan. Ranting-ranting kecil berguguran.
“Sebentar, ya, Abang hampir dapat!”
Beberapa sabetan telah mematahkan ranting, melonggarkan jeratan. Dahan dan ranting bercompang-camping. Satu layang-layang terbebas dari jeratan. Terbang melayang-layang dan terkulai di tanah.
“Hoyeeee!” adiknya bersorak girang, berlari ke arahnya, menyambut sang layang-layang. Ia pun tersenyum, menyunggingkan kemenangan.
Dahinya banjir peluh. Ia mengempaskan napas umpama lenguh.
“Sudah, ayo kita pulang! Mungkin nasinya sudah matang. Nanti layang-layangnya biar Abang talikan, nanti kalau angin besar datang, kita terbangkan.”
Si adik melompat-lompat sambil mengepakkan layang-layangnya. Girangnya belum hilang.
Ketika ia berbalik dan mulai melangkah. Bahunya tertimpa ranting kecil. Rasanya seperti ada yang menjawil dari belakang, “mau ke mana? Jangan pergi dulu! Kau bilang mau menyelamatkan mereka.”
Ia menoleh. Wajahnya menegadah, mengawasi layang-layang yang terombang-ambing angin. Menyedihkan. Layang-layang itu tampak seperti tawanan yang pasrah pada tiang gantungan. Angin kecil meniupi wajahnya. Ia memutuskan memutar haluan. Adiknya membuntuti di belakang. Seperti anak monyet yang menempel di pantat induknya.
“Tapi, tinggi sekali…” ia menggumam sendiri.
Ia tahu, galahnya tak mungkin lagi menjangkau. Ia menatap lekat pohon randu di hadapannya. Dari bonggol sampai ke atas. Ia mengira-ngira, besar batang pohon itu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Duri-duri tumpul menyembul di kulit batang paling rendah. Ia tak mungkin memanjatnya. Tapi ia tidak menyerah. Duri-duri itu ia patahkan satu persatu dengan batu. Setelah bersih, baru ia merangkul pohon itu. Berusaha memanjatnya. Dengan kakinya yang kecil sebelah, urusan memanjat adalah urusan keajaiban.
Berkali-kali ia menunggangi pohon itu, berkali-kali pula pohon itu melorotkan tubuhnya ke tanah. Tapi ia belum menyerah. Ia terus memanjat dan memanjat. Hingga ia berhasil meraih cabang paling rendah. Kaki dan tangannya bergelantungan di dahan seperti siamang. Adiknya berteriak girang sambil bertepuk tangan. Ia tersengal-sengal. Napasnya berkempis-kembang.
Dahan tempatnya duduk ibarat tangga pertama yang akan mengantarkan ke tangga selanjutnya. Pelan-pelan ia merangkaki tangga demi tangga, dahan demi dahan. Satu dua layang-layang berhasil ia tarik dan luncurkan ke bawah. Ia memanjat lebih tinggi. Tiga, empat, lima, sepuluh, tiga belas, lima belas… Kali ini ia benar-benar panen layang-layang.
“Aciiiiiiiik!” di bawah, adiknya melompat girang sambil memunguti layang-layang.
Seperti ada yang membisiki. Ia memanjat lebih tinggi lagi. Tangannya melingkar di dahan, erat-erat, seperti memeluk guling.
Di sini indah sekali, di sini sejuk sekali, di sini nyaman sekali.
Tak ada salahnya. Ia memejamkan mata. Membentangkan kedua tangan. Membayangkan dirinya menjadi layang-layang yang terbang ke langit lapang. Ia melupakan lapar yang menendang-nendang. Ia melupakan nasi yang tak matang-matang. Ia melupakan kakinya yang pincang. Ia melupakan bapaknya yang tak pulang-pulang. Ia terbang. Seperti layang-layang. Bahkan ketika cabang yang menumpu tubuhnya patah dan tumbang, matanya masih terpejam. Ia terperosok. Tubuhnya menghantam dahan. Ia terpental. Tubuhnya meluncur ke tanah. Adiknya melolong, melepaskan jeritan. Ia tetap terpejam. Tenang. Seperti layang-layang yang terbebas dari jeratan.
***
Kemarau mengaum berkepanjangan. Tanah-tanah rekah kehausan. Rumput-rumput beruban. Angin dan debu bersiul-siul sepanjang siang. Sedikit jinak menjelang petang.
Di tepi lapangan, pohon randu lekang menjulang. Tanpa daunan. Telanjang. Dahan dan ranting-rantingnya kurus mengangkang, serupa lengan yang tinggal tulang. Buah-buahnya retak bergoyang-goyang. Seperti puluhan botol kecap yang digantung dengan benang. Kapas-kapasnya berhamburan. Di dahan dan ranting, puluhan layang-layang meregang nyawa, melupakan impian mereka: terbang.***
Malang, 17 Juli 2011

Musim di Rambut Ibu (Majalah Sastra Horison, edisi Maret 2012)

Pancaroba. Aku melihat musim yang tak menentu di rambut ibu. Datang dan pergi. Silih berganti. Dan kini, setelah hari-hari ibu terperangkap dalam kasur dan kursi roda, musim-musim itu, kian tampak nyata. Jadi, semenjak itu, di mataku, kepala ibu telah menjelma rupa menjadi hamparan tanah kecil yang penuh misteri.
Ketika kuceritakan itu kepada ayah, ayah melulu tersenyum dan mengatakan, bahwa ibu, hanya sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Ayah tak pernah menjelaskan lebih apa nama sakit yang diderita ibu. Ayah hanya mengatakan, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah bertumbuh di batok kepala ibu. Tepatnya di otak. Agaknya nama sakit itu terlalu sulit untuk ia jelaskan padaku, sehingga ia cukup mengatakan, bahwa ibu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Dan semenjak ibu sakit itulah, aku menyaksikan berbagai musim singgah dan berganti di rambutnya.
***

Musim pdrtama yang kusaksikan di rambut ibu adalah musim semi. Sambil menemani ibu yang terbaring lemah di kasurnya, aku selalu memerhatikan rambutnya yang hitam mengkilat, seperti hamparan rumput di malam pekat.
“Apa yang kau lihat?” Tanya ibu ketika itu, ketika aku memelototi rambutnya seperti menyaksikan pertunjukan sirkus, tanpa berkedip.
“Ada musim semi di rambut ibu,” balasku. Ibu tersenyum.
“Itu bukan musim semi, Nak. Itu rambut ibu yang mulai ditunasi uban.”
“Uban?”
“Iya, uban. Uban itu rambut berwarna putih. Rambut yang akan tumbuh jika seseorang sudah tua. Seperti ibumu. Seperti juga ayahmu. Seperti rambut eyangmu dulu. Ingat, kan? Rambut eyangmu putih semua.”
Aku mengangguk, mengingat-ingat rupa rambut eyang yang berwarna putih seperti serabut bunga dandleon. Kalau sudah demikian, aku akan terdiam di hadapan ibu, menunggu ibu lelah dan kembali memejamkan matanya. Selepas ibu terlelap, aku kembali memelototi rambutnya. Menyaksikan musim semi bertumbuh kembang dengan indah di sana. Tunas-tunas, kuncup-kuncup, begitu sejuk. Rasanya aku ingin menjelma menjadi kutu di rambut ibu, supaya bisa menikmati musim semi di sana.
“Ibumu sudah tidur, kenapa kau tidak ikut tidur,” ayah menghampiriku yang masih membeku di hadapan ibu.
“Aku masih mau di sini, Yah. Aku mau menyaksikan musim semi di rambut ibu.”
“Ha, musim semi? Musim semi apa? Ada-ada saja,” ayah berlalu setelah mengacak-acak rambutku.
***
Aku tak sanggup menghisab berapa lama musim semi bertahan di rambut ibu, hingga tiba-tiba kusaksikan musim penghujan datang berdentangan. Mengguyur rambut ibu. Rambut ibu kuyup seperti mandi. Musim hujan di rambut ibu memang sedikit aneh, tanpa mendung dan tanpa petir. Hujan itu luruh begitu saja. Rambut ibu yang hitam mengkilat tiba-tiba berubah menjadi juntaian air yang mengalir. Membasahi keningnya, matanya, sampai lehernya. Ibu menggigil. Kedinginan. Seperti arca. Tak berkata apa-apa.
“Mengapa kau pelototi ibumu begitu?” Ayah terheran-heran.
“Ibu kedinginan, Yah! Ada hujan lebat di rambutnya.”
“Hus, itu keringat, bukan hujan. Seperti yang Ayah bilang, ibumu berkeringat karena menahan sakit yang sangat di kepalanya.”
“Tapi airnya sampai mata, Yah! Lihatlah!”
“Itu air mata, bukan hujan,” ayah menyeka air di mata ibu dengan mata berkilat, seperti kaca tertempa sinar.
“Tapi kasihan ibu, Yah. Ibu kedinginan.”
“Berdoalah untuk kesembuhan ibumu. Percayalah, doamu akan membuatnya sedikit hangat dan nyaman,” balas ayah.
Aku menatap ibu dan ayah bergantian, sebelum akhirnya terdiam, memejamkan mata. Melabuhkan segala permohonan. Permohonan supaya ibu lekas sembuh seperti sedia kala. Permohonan supaya musim di rambut ibu berganti dengan musim yang lebih indah, untuk waktu yang lama. Beberapa detik kemudian aku ber’amin’. Mengusap wajah dengan telapak tangan yang mulai terasa dingin.
***
Musim di kepala ibu memang sangat aneh dan berubah-ubah semaunya. Selepas musim penghujan, kini, kusaksikan getir air di rambut ibu membeku, menjelma salju. Musim salju telah sampai di rambut ibu. Butiran-butiran putih berserakan di kepala ibu, di antara juntaian rambutnya yang hitam. Acapkali butiran salju itu luruh terkulai di pundak ibu, dan terkadang di bantal tempat kepala ibu bersandar. Tentu saja ibu kedinginan. Salju beku menyelimuti kepalanya. Beberapa kali aku meniupi butiran salju itu supaya lekas luruh dan mencair. Tapi ayah melarangku.
“Mengapa kau tiupi rambut ibumu?” ayah mengernyitkan dahi.
“Ada salju di rambut ibu, Yah!” balasku.
“Itu ketombe, bukan salju.” ayah menatapku dengan tatapan aneh, kepalanya menggeleng beberapa kali. Kulirik ibu yang terpingkal-pingkal dengan bahu berguncang, tanpa suara. Ayah ikut menahan tawa.
“Tapi itu salju, Yah. Lihatlah! Ibu kedinginan.”
“Sakit ibumu memang membuat ibumu kedinginan. Jadi, ibumu bukan kedinginan karena salju, tapi karena ibumu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi butiran putih itu sangat dingin, Yah. Lihatlah! Aku juga menggigil.”
“Baiklah, nanti, kalau ibumu bersedia, ayah akan membersihkan rambutnya dengan air hangat, dengan shampo anti ketombe. Ehm, maksud ayah, shampo anti salju.” Tawa ayah tersedak di tenggorokkan. Ibu kembali terbahak dengan pundak berguncang, tanpa suara. Silih aku yang mengernyitkan dahi. Tapi aku tetap bersikeras. Bahwa itu salju, bukan ketombe.
***
Kini, rambut ibu seperti ditumpahi cahaya. Cerah. Bersiluet. Penuh kilat. Sekilas kutilik, ada pelangi membentang di dahinya. Terkadang di ulas bibirnya, kala tersenyum. Aku senang melihat rambut ibu segar berkilat. Subur. Dengan tunas berkilau di beberapa ujungnya. Beberapa rambut memang sudah ada yang tampak layu, kecoklatan. Sambil menunggui ibu, aku acap bertanya, masih adakah musim baru yang akan bersalam ke rambut ibu. Aku berharap tidak. Aku ingin rambut ibu tetap subur, sejuk. Dengan pelangi yang melingkar di kening dan bibirnya.
Namun, cahaya itu tidak berlangsung lama. Pada waktu yang tak pernah kunyana, musim baru menjalar di rambut ibu. Musim gugur. Dan tampaknya, musim kali ini akan berlangsung lama.
Seiring melesatnya waktu, kusaksikan rambut ibu mulai berguguran satu per satu. Ketika ayah menyisiri rambut ibu, rambut ibu akan menggumpal memenuhi gigi sisir. Terkadang rambut itu pun luruh begitu saja, berserakan di bantal, selimut, dan kasur. Seperti serakan daun kering yang mati. Bahkan, bukan hanya rambutnya yang gugur. Bulu di mata ibu pun tiba-tiba menipis dan habis. Ibu semakin tak berdaya. Seperti arca. Terdiam. Tak berkata apa-apa. Dan musim inilah yang membuat ayah ditimpa lebih banyak gerimis.
“Mengapa Ayah menangis?” dadaku terasa sesak ketika menanyakan itu.
“Ayah cuma takut kehilangan ibumu,” ungkapnya liris.
“Musim gugur telah sampai di rambut ibu, ya, Yah?”
Kali ini ayah mengangguk, tidak menyangkalku.
“Apakah nanti, musim semi akan datang lagi di rambut ibu?”
“Ayah tak tahu, Nak.”
Kulihat mata ayah penuh kabut. Tampaknya ia ingin sendiri. Aku pun berlalu, aku ingin melabuhkan kembali permohonan. Permohonan yang sangat kepada Tuhan. Supaya musim yang indah kembali bercokol di rambut ibuku. Amin.
***
Musim gugur mengaum sedikit panjang. Melunasi rambut ibu satu persatu. Hingga kini, kepala ibu mengkilat. Bersih. Tanpa sehelai rambut pun. Bulu matanya pun habis. Kini, kepala ibu tampak kerontang. Dan aku yakin, musim kemarau telah datang, menjerang kepala ibu. Aku sering menangis sembunyi-sembunyi. Tak sampai hati melihat keadaan ibu yang demikian. Seiring kemarau itu, dokter mulai sering berkunjung ke rumah. Memasukan jarum ke selang kecil yang terhubung ke perban yang tersembunyi di balik baju ibu. Aku tak mau tahu lebih banyak. Karena, aku selalu merinding bila melihat jarum-jarum itu disuntikkan ke ibu. Kata ayah, memang itulah makanan ibu. Itulah yang membuat ibu bertahan.
“Kemarau, Yah, kemarau!”
“Apanya yang kemarau?”
“Rambut ibu habis, Yah, kini musim kemarau mendatangi kepala ibu.”
“Itu bukan kemarau, Nak. Sakit yang diderita ibumu mengharuskan rambut-rambutnya tanggal. Jadi rambut ibumu habis bukan karena kemarau, tapi karena ibumu memang sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi itu kemarau, Yah. Lihatlah. Kelopak mata ibu menghitam. Pucat.”
“Orang sakit memang begitu, Nak.”
“Tapi kemarau itu membuat tubuh ibu kering. Lihatlah, ibu semakin kurus.”
Ayah terdiam agak lama, sebelum akhirnya meyakinkanku, “Percayalah, ibumu akan baik-baik saja.”
Dari cara ayah berkata, aku tak yakin bahwa ibu akan baik-baik saja. Itu terbukti. Beberapa hari setelah kemarau menjalari kepala ibuku, ayah melarikan ibu ke rumah sakit. Handai tolan berdatangan menjenguk. Aku semakin khawatir. Akankah kemarau yang singgah di kepala ibu menjadi kemarau panjang. Tampaknya iya. Berhari-hari ibu memejamkan mata. Ayah menyebutnya koma. Ibu terdiam seperti arca. Tak berkata apa-apa. Dan kemarau di kepalanya semakin garang melanda.
Semenjak ibu dirawat di rumah sakit. Ayah menitipkanku pada nenek. Sesekali saja nenek mengajakku menjenguk ibu. Ketika menjenguk ibu, kusaksikan musim kemarau masih bertengger di sana. Musim kemarau yang panjang. Tak berkesudahan.
***
Berkalang waktu, kabar ibu semakin buntu. Hingga suatu ketika, nenek mengajakku ke rumah sakit, dengan wajah panik dan terburu-buru. Ada mendung bergelayutan di wajah nenek kala itu. Ketika kutanya ada apa, nenek hanya menjawab, bahwa ia ingin mengantar ibu. Ketika kutanya lagi, mengantar ibu ke mana, nenek memintaku untuk tidak banyak bertanya. Aku pun diam.
Aku tak sabar untuk berjumpa dengan ibu, untuk menyaksikan musim-musim baru berkuncup di kepalanya, di rambutnya. Musim-musim yang indah. Namun, tampaknya, musim kemarau adalah musim terakhir yang kusaksikan di kepala ibu, di rambut ibu. Karena selepas itu, sesampainya kami di rumah sakit, tubuh ibu telah ditutupi kain berwarna awan. Di hadapan ibu, musim penghujan luruh ke mata ayah dan ke mata nenek.
“Ibu kenapa, Yah?”
Ayah mendekapku erat. Membisikkan sesuatu di telingaku. Hujan di matanya turut membasahiku.
“Ibumu telah memetik musim yang baru. Musim di surga yang tak kutahu namanya. Apa kau ingin melihat wajah ibumu?”
Aku mengangguk. Ayah menyingkap kain awan yang menutupi wajah ibu. Dan di sana, di kepala ibu, aku menyaksikan sebuah musim baru. Musim paling indah yang pernah kusaksikan. Musim paling tenang yang tak pernah kutahu namanya.***
Malang, 7 September 2011