Kososng, (Tabloid Cempaka, edisi 10 -16 Desember 2011)


 SENJA hari pertama. Ia terbaring di atas kasur yang serba putih. Tangan dan kakinya dirantai perban. Warna hitam bersemu merah merembes di sana. Matanya menganga menerawang langit-langit. Tatapan matanya kosong. Melompong. Tanpa isi. Di sebelahnya, seorang perempuan baya terduduk kaku. Matanya seperti langit sehabis hujan pertama. Sesekali ia bergeming untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia membeku lagi.
            Tadi pagi, sebuah bom meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Agaknya ia berangan-angan, ingin menyusul istrinya.
***
Aku berangkat dengan seorang gadis yang muncul dari dalam kepalaku (tepatnya dari ceruk mata yang bergemircik). Seorang gadis yang sangat sempurna. Gadis yang tak pernah kulihat sebelumnya.  Aku sempat yakin, bahwa dia adalah bidadari. Seluruh tubuhnya terhijab sutera putih yang berkibar-kibar. Utuh dari rambut sampai telapak kaki. Hanya matanya saja yang tak tertutup. Mata yang sangat indah. Mata yang tampak berkilat-kilat oleh kajal.  Seperti sebuah telaga di tengah padang gurun yang membara.
            “Ayo, apa yang kau tunggu?” bisiknya. Ia mengulurkan tangannya yang tertutup oleh kaus tangan putih yang sangat halus bak bulu kelinci. Aku menyambut tangannya. Halus itu turut membaluri telapak tanganku. Aku seperti terbang.
            “Kita mau ke mana?” tanyaku gamang.
            “Kita akan melakukan perjalanan panjang. Perjalanan yang sangat jauh.”
            “Iya, tapi ke mana?”
            “Nanti kau akan tahu.”
            Jemari kami pun bergamit. Setapak demi setapak ia memulai langkahnya. Aku mengikutinya di belakang. Jemariku masih utuh digamitnya. Seperti sebuah pesawat yang lepas landas. Tiba-tiba kami mengawang, tak berjejak tanah. Sesenti demi sesenti. Sekaki demi sekaki. Sehasta demi sehasta. Kami terbang. Kami mengawang di udara. Kami kami menyentuh pucuk-pucuk pohon. Seperti mimpi. Tanah dan pohon-pohon yang tadi kami pijak tampak kian mengecil. Kami terbang kian tinggi. Udara bergemerisik menampar-nampar tubuh kami. Menebar kibarkan pakaian putihnya yang lebar.
            “Wajahmu pucat. Kau takut?” desisnya bertaburan diantara uadara yang bergemerisik.
            “Aku hanya belum pernah terbang sebelumnya.”
            “Kini kau terbang.”
            “Ini benar-benar seperti mimpi.”
            “Kau tidak sedang bermimpi. Lihatlah di bawah sana. Dari atas semuanya tampak indah.”
            “Ini sungguh-sungguh menakjubkan.”
            Kami memperhatikan kerlip lampu yang berjajar-jajar. Pendarnya serupa senja yang tumpah di mata yang muram. Kami mengamati lekuk sungai yang tampak hitam kelam seperti tinta gurita. Kami mengamati kubah-kubah yang benderang seperti bola lampu raksasa yang mengapung di lautan yang kelam. Kami mengamati semuanya. Rembulan kuning langsat berlayar memayungi perjalanan kami. Awan gemawan beriring seperti cadik. Bintang gemintang bertebaran di mana-mana seperti cahaya lilin di kelam raya. Aku memejamkan mata. Terbuai udara harum aroma misik.
            “Bangunlah,” suara lembut itu membasuh telingaku.
            Aku mengerjap, udara sesak seperti dalam tungku, “Apa kita sudah sampai?”
            “Sudah kukatakan, perjalananmu sangat jauh. Perjalananmu masih panjang. Bahkan kau belum mencapai separuhnya.”
            “Lalu, sekarang, kita ada di mana?”
            “Kita di tengah perjalanan.”
            “Tidakkah tempat ini memiliki nama?”
            “Pun, bila kau tahu, di sini, nama tak begitu berarti.”
            Aku memicingkan mata. Mengusap dahi yang terasa basah. Perlahan kabut awan menipis. Merendah. Menyentuh tanah yang penuh pasir. Desiran angin seperti berbisik diantara pasir-pasir yang lunglai.
            “Kita di padang gurun kah?”
            “Apakah menurutmu kita tengah di padang rumput?”
            “Kedengarannya ini kabar buruk.”
            “Itulah perjalanan. Tak selamanya jalan yang kita tempuh itu mulus. Adakalanya kita melalui tebing dan batu-batu yang penuh ancaman, yang bisa melukai kita kapan saja.”
            “Menurutku tebing dan bebatuan akan lebih mudah untuk kita lalui. Tapi ini padang pasir. Lihatlah! Kita berada di padang pasir. Jangankan air, tempat berteduh pun nihil.”
            “Kita memang tengah berada di bagian yang sulit.”
            “Mengapa kita tidak terbang saja.”
            “Sekarang aturannya kau harus berjalan kaki. Jadi, kusarankan kau tidak banyak mengeluh. Ini memang bagian yang sulit yang harus kau lalui. Sendiri.”
“Baik, baik. Tapi, untuk kata yang terakhir, kupikir kau hanya bercanda. Dan itu lucu, haha.”
“Aku tidak bercanda. Ini perjalananmu, bukan perjalananku. Tugasku hanya menjemputmu. Sampai di sini kau harus meneruskan perjalananmu sendiri.”
Suara gadis itu kian sayup. Tubuhnya mengawang di udara. Menjauhiku. Kian jauh. Sejauh jangka pandang, kian keruh. Ia kian jauh. Sempat kutilik sutera putih yang dikenakannya berkibar-kibar, sebelum akhirnya tubuhnya hilang ditelan badai pasir.
             Aku berdiri kaku. Beku. Aku hilang arah. Tersesat. Yang ada hanya bisik-bisik pasir dan liukan hawa panas yang menari-nari. Aku tergugu. Hampir menangis. Aku berjalan gontai. Meraba-raba arah. Aku terus berjalan, melampaui waktu. Melintasi subuh yang beku. Melalui siang yang jerang. Melewati senja yang galan. Menyusupi petang yang lapang. Meringkuki malam yang purna. Aku terus berjalan, melampaui waktu.
            “Aku ingin pulang saja, aku lelah, aku kehilangan arah, Ibu... Ayah… aku lelah, aku kehilangan arah.”     
            Aku terduduk simpuh. Penuh peluh. Seperti kaktus tua yang roboh ditelantarkan waktu. Kini aku terduduk. Hanya duduk. Aku terus terduduk, dilampaui waktu. Dilintasi subuh yang beku. Dilalui siang yang jerang. Dilewati senja yang galan. Disusupi petang yang lapang. Diringkuki malam yang purna. Aku terus terduduk, dilampaui waktu.
            Sejauh mata memandang tak ada apa. Kosong. Melompong.
***
            Senja bulan pertama. Ia terduduk di kursi roda. Matanya menerawang jauh ke depan, namun kosong. Melompong. Tanpa isi. Di belakangnya, seorang perempuan baya mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan. Matanya juga penuh kabut. Sesekali ia menghentikan kursi roda yang didorongnya untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia kembali mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan.
Sebulan lalu, sebuah bom meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Bahkan ia belum sempat membuka cadar sutera yang menghijab wajah istrinya.***
Malang, 29 September 2011

KOTA LUMPUR (Pemenang Harapan 1 LMCR 2011)


MAHISA bangkit dari rebahnya. Mula-mula yang menyaput pengelihatannya hanya remang. Remang yang sangat kental dan lapang. Ia tak tahu, apa ia baru siuman dari pingsan, atau bangun dari tidur. Ia hanya merasa, bahwa tubuhnya sangat kotor dan lengket. Ia mencoba berdiri. Meregangkan otot yang terasa kaku, mematahkan leher dan menekukkan pinggang ke kiri dan ke kanan. Ia terbelalak dan hampir menjerit ketika menyadari sekujur tubuhnya telah dibaluri lumpur. Sial! Lumpur apa ini?
Mahisa menguncang-guncangkan badan. Lumpur di tubuhnya berhamburan ke mana-mana. Dari dulu Mahisa memang sangat membenci lumpur, segala sesuatu yang lembab, yang becek, yang kotor. Jadi tak mungkin ia sudi bergumul dengan lumpur. Tapi yang membaluri tubuhnya memang benar-benar lumpur. Ia kipat-kipatkan keduan tangannya. Kampret! Ini lumpur dari mana? Ia masih tercengang.
***
Kini, Mahisa mengedarkan pandangannya seperti orang bingung. Ia sadar tengah tersesat. Tersesat di tempat yang asing. Langit sangat gelap. Lebih gelap dari mendung. Awan-awan tampak seperti gumpalan lumpur yang menggantung di langit. Kakinya pun terasa becek. Ia menunduk. Genangan lumpur juga menenggelamkan mata kakinya. Sial! Mimpi buruk macam apa ini? Ia masih belum percaya.
            Sejauh paku pandang, yang ia tangkap hanya lumpur. Cairan pekat yang terus meleleh dan sesekali menggelembung. Rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, pepohonan, semuanya sempurna terbalut lumpur. Ia menampar-nampar pipinya. Melebar-nanarkan kelopak matanya. Tapi yang ia lihat memang benar-benar lumpur. Ini tempat yang sangat aneh, bahkan untuk sebuah mimpi buruk, pikirnya. Ia memang suka traveling, berpetualang ke tempat-tempat yang jauh. Tapi ia tak pernah berharap terdampar di tempat seperti ini. Tempat yang sangat kotor dan becek. Sial! Lagi-lagi ia mengumpat.
            Mahisa menghela napas dan mulai mengayunkan kaki. Aku harus mencari seseorang yang bisa menjelaskan semua ini, gumamnya. Ahai, apa lagi ini. Lihatlah! Orang pertama yang ia temui sangat menyeramkan. Seluruh tubuhnya juga dibaluti lumpur, hanya tampak kerling matanya saja yang seperti tersembunyi di balik topeng. Mahisa ingin menyapa orang itu. Tapi orang itu terus melaju seperti batu berjalan. Ia tak diorangkannya. Mahisa kembali melangkah dengan tatapan yang masih cengang. Aku harus menemukan seseorang yang lain, gumamnya lagi.
***
Orang kedua yang ia temui adalah seorang perempuan. Tubuhnya juga terbalut lumpur, namun tidak separah orang pertama tadi. Perempuan itu mengendong seorang bayi yang sangat mulus dan bersih. Sangat kontras. Lumpur yang meleleh dari tubuh perempuan itu sama sekali tak bisa menyentuh kulit si bayi. Lumpur yang menetes ke tubuh bayi itu tampak seperti butiran air yang jatuh ke daun talas. Sama sekali tak berbekas. Ia kian terheran-heran. Pemandangan yang unik, pikirnya. Di sini memang banyak hal yang tidak lumrah, gerutunya dengan mulut menganga.
Mahisa mempercepat langkahnya, terlupa ingin menanyakan sesuatu. Aku harus mencari manusia yang benar-benar masih manusia, bukan lumpur berjalan, gerutunya lagi. Beberapa orang berikutnya, yang ia jumpai, semuanya berbaju lumpur. Hanya lumpur dan lumpur. Para manusia lumpur. Benaknya sudah bisa sedikit mencerna: barangkali aku memang tersesat, di kota lumpur.
***
Mahisa menghambur ke sebuah bangunan besar dengan kubah dan tiang-tiang yang menjulang serupa istana—yang secara tidak sengaja kau temukan di sudut jalan—hanya tempat itu yang lumpurnya tidak terlalu tebal. Ia mulai memasuki tempat itu, melewati sebuah pintu yang lebar dan tinggi. Matanya teredar ke penjuru tempat itu sampai sudut-sudutnya. Lumpur di tempat itu hampir mengering. Lumpurnya sudah mulai mengelupas. Di dalam tempat itu, dari balik sebuah mimbar, tiba-tiba seseorang berdiri. Seorang laki-laki dengan gamis putih yang hampir menutupi kaki. Wajah orang itu sangat bersih, jernih, tak setitik kotoran pun tampak di sana. Wajah itu bersinar. Apa ia malaikat?
“Salam...” Mahisa mengangkat suara. Sedikit lumpur menyembur dari mulutnya. “Permisi, salam…” Mahisa mengulang salamnya. Lelaki itu menoleh.
“Ya? Salam.” lelaki itu memicingkan matanya. “Siapa?”
Buru-buru Mahisa menyalami lelaki itu. Lelaki itu menyambut tangan Mahisa yang masih basah oleh lumpur. Buru-buru lelaki itu melepaskan jabatan tangannya.
“Aku baru melihatmu. Kau musafir di kota ini?” Tanya lelaki itu.
“Sepertinya saya tersesat, Tuan.” Jawab Mahisa gusar.
“Tersesat? Tersesat bagaimana? Semua orang di kota ini memang tersesat. Tersesat oleh lumpur. ”
“Tersesat oleh lumpur?”
Lelaki itu mengangguk, menyentuh pundak Mahisa dan mengajaknya duduk. Lelaki itu seperti menyelami kebingungannya.
“Pasti kau pikir, kota ini aneh. Sungguh masih banyak kota-kota aneh lainnya yang akan kau jumpai di luar sana. Kau ini seperti tak tahu usia zaman saja.”
Mahisa mengernyitkan alis. Mulutnya rapat.
“Ini kota lumpur. Sejak aku lahir, kota ini sudah begini. Hanya saja, sewaktu aku kecil, lumpurnya tidak separah ini.”
“Kota lumpur? Bagaimana…” Mahisa ling-lung oleh pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba berkecambah dalam kepalanya.
Cukup dalam lelaki itu menyelami kepanikan Mahisa. Maka sebelum Mahisa meminta penjelasan lebih. Lelaki itu sudah memulai ceritanya….
            Di kota ini, lumpur terus meleleh dan akan terus meleleh. Semua penduduk kota ini berpakaian lumpur. Pakaian apapun yang mereka kenakan, lambat laun akan tergenangi lumpur dan akhirnya menjadi lumpur. Menyatu dengan tubuh mereka. Menyatu dengan lumpur. Bukan hanya itu, seperti yang kau lihat sendiri…. rumah-rumah, gedung-gedung, pohon-pohon, tanah, bahkan langit, semua utuh berbalur lumpur. Gelap ini akan terus meleleh. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tentu kau tahu kenapa.
“Tapi kenapa…. Dari mana…” Mahisa menyela.
“Hush… tidak baik menyela orang bicara.” lelaki itu balas menyelanya, sebelum kemudian melanjutkan ceritanya…
Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, nenek moyang kami, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan lumpur yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.
Lelaki itu terpekur.
“Apa ceritamu sudah selesai?” Mahisa memberanikan diri menyela.
“Hanya itu yang kutahu.”
Isi kepala Mahisa menderu, mencoba mencerna cerita itu.
            “Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?” ungkapnya kemudian.
            “Cuma nabi dan bayi, manusia yang terjaga dari dosa.”
            “Tapi rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, masjid, gereja, tempat ini… Bagaimana mereka melakukan dosa? Bagaimana mereka bisa berlumpur?”
            “Kau tak tahu, ya? Dosa itu memiliki lidah yang menjulur, dan bisa menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana manusia melakukan dosa, di situ lumpur juga akan muncul.”
            “Tapi, mana ada orang berbuat dosa di tempat ibadah?”
            “Bukankah dosa adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dosa bisa dilakukan di mana saja, kapan saja.”
            Mahisa mengangguk ragu, kemudian mematung.
            Lelaki di sampingnya tersenyum, seperti hendak mengisyaratkan sesuatu.
“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan,” gumam Mahisa seperti melamun.
            “Begitulah lumpur.”
“Benar. Sangat menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita ikut menyembur.”
“Begitulah!”
“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”
“Tapi warga di kota ini sudah terbiasa.”
“Terbiasa? Bagaimana mungkin mereka bisa tertidur pulas dengan tubuh becek dan kotor semacam itu.”
“Buktinya mereka bisa.”
“Aku jadi bertanya-tanya, apakah mereka juga bisa bercinta dengan nyaman.” Mahisa menghela napas.
“Ini sudah berlangsung lama.”
“Tidak adakah cara untuk menghentikannya?”
“Menghentikan apa?”
“Ya lumpur ini!”
            “Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendiri lah!”
            Mahisa membisu. Matanya kembali menyalak, memperhatikan ruangan tempatnya duduk. Ia juga melihat satu demi satu lumpur kering yang menempel di dinding dan lantai tempat itu mulai mengelupas.
            “Aku harus membersihkan lumpur di tempat ini. Ini rumah Tuhan.” Lelaki itu berdiri dan mengambil sapu yang tergeletak di sebelahnya.
            “Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin ada lumpur di rumah Tuhan.” Mahisa ikut berdiri.
            “Bukankah rumah Tuhan itu tempat umum. Siapa pun boleh masuk.” Lelaki itu berkata sambil terus mengayunkan sapunya.
            “Bahkan mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur?”
            “Ya. Bahkan mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur.”
Lelaki itu menghentikan gerakan sapunya dan kembali bercerita…
Tempat ini sebenarnya adalah tempat paling efektif untuk berbilas. Hanya saja jarang sekali orang yang mau datang ke tempat ini. Kata mereka tempat ini panas. Sebenarnya panas inilah yang bisa membuat lumpur di tubuh mereka mengering lalu mengelupas dan bersih. Pasti kau bertanya-tanya, mengapa mereka tidak membilas tubuh mereka dengan air saja. Tidak. Sesuatu yang basah takkan bersih oleh yang basah. Akan tetap basah. Untuk bersih mereka butuh menjadi kering. Dan untuk menjadi kering mereka membutuhkan pengering. Lagi pula, tak ada lagi air bersih di kota ini. Yang ada hanya air berlumpur. Semuanya sudah menyatu dengan lumpur. Di kota ini, semua sudah sempurna. Berlumpur. Dan tak ada yang bisa mengeringkan lumpur itu kecuali panas.
“Mmm, maaf menyela. Tapi bolehkan saya menanyakan sesuatu…”
 Lelaki itu tak menjawab. Tapi Mahisa tak peduli.
“Panas itu api, api itu neraka… bagaimana mungkin rumah Tuhan menjadi neraka?”
“Nyatanya, begitulah yang terjadi di kota ini. Mereka sudah terbiasa dengan lumpur. Bahkan mereka menikmatinya. Jika mereka mengeringkan lumpur di tubuh mereka. Mereka akan gelisah dan kesakitan. Seperti terbakar. Itulah yang terjadi.”
Mahisa manggut-manggut. Heran bercampur senang. Heran dengan penduduk kota yang lebih suka berkotor-kotor. Senang karena lumpur yang membaluri tubuhnya sudah mulai mengering. Padahal, baru beberapa saat yang lalu ia duduk di tempat itu. Mahisa menekur dan menggumam dalam hati: sekarang aku tahu bagaimana cara mengeringkan lumpur ini.
***
Tiba-tiba pikiran Mahisa berkelana pada lelaki itu. Lelaki di hadapannya yang wajahnya sangat bersih bersinar. Tak setitik noda pun melekat di sana. Bukankah lelaki itu tadi bilang, cuma bayi dan nabi manusia yang tubuhnya tidak dibaluri lumpur. Lelaki itu jelas bukan bayi. Serta merta Mahisa menegakkan kepalanya, ia melonjak seperti baru menyadari sesuatu. Tapi lelaki yang bercerita panjang lebar di depannya barusan sudah raib, entah kemana. Seperti menghilang begitu saja. Di tempat lelaki itu berdiri, Mahisa seperti menemukan sisa-sisa cahaya.
Sementara, dari luar tempat itu, sayup-sayup ia mendengar suara berisik dentuman gelas dan botol beradu, diselingi tawa-tawa perempuan yang terdengar genit dan menggoda. Juga suara laki-laki dan perempuan yang sahut-sahutan seperti petir. Suara perempuan menangis. Suara anak kecil merintih. Suara dadu menggelinding. Suara orang berpesta. Gemeletak bola bilyard yang diikuti kata-kata tajam. Semua beradu, bagai menusuk telinganya.
Mahisa bangkit dan menilik keluar tempat itu, dari kejauhan ia melihat orang-orang berlalu-lalang dengan lumpur yang kian menebal di tubuh mereka. Dari kejauhan mereka tampak seperti bongkahan batu berjalan. Batu yang penuh lumpur. Lumpur yang terus meleleh. Seperti es krim cokelat yang mencair. Jalan-jalan, pepohonan, rumah-rumah, semua juga tampak menggumpal oleh lumpur. Lumpur yang tak henti-henti menetes.
Mahisa tertegun. Matanya berhalimun. Bibirnya berbisik runtun. Itu bukan lumpur! Itu dosa!***
Malang,  2010-2011

Penglihatan (Surabaya Post, Minggu 18 Desember 2011)

SEPERTI ingatan dan kenangan. Mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Tak semua ingatan dapat bertumbuh kembang menjadi kenangan. Begitu pun, tak semua mata mampu memancarkan pengelihatan. Tapi tentu saja, pengelihatan memiliki matanya sendiri. Mata yang tak kasat, mata yang bisa memata-matai apa saja, mata yang bisa melihat banyak hal. Seperti mataku, penglihatanku.
            Baik, akan mulai kuceritakan ceritaku.
Lampau. Ketika ibu melahirkanku ke dunia, sepasang mataku tertinggal di surga. Aku tak tahu bagaimana cara mengambilnya. Kupikir Tuhan tidak lupa menyematkannya, tapi memang sengaja. Ketika itu, ibu menjerit tak karuan melihat oroknya. Seolah tak percaya, ia bagai melahirkan boneka. Boneka yang tak sempurna. Boneka yang seram. Boneka dengan dua liang menganga di wajahnya. Ketika itu, bapak pun mengutuki takdir dengan serapah yang nyinyir. Maka, babak selanjutnya, ibu dan bapak bersepakat untuk menaruhku dalam sebuah kardus dan melarungkanku ke sungai kumuh yang berombang-ombing di belakang rumah. Hingga seorang pengemis renta menemukanku. Ia merawatku. Hingga aku tumbuh menjadi bocah lelaki yang miris.
***
            Tidakkah kau percaya, jika Tuhan mengambil sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu. Sesuatu yang jauh lebih berharga. Memang, Tuhan tidak menyematkan sepasang mata di wajahku. Tapi, ia menalikan pita suara yang sangat sempurna di tenggorokanku. Tidakkah dapat kau dengar suaraku yang melengking seperti nafiri di malam hari. Tidakkah pula kau simak liukan yang mendayu bagai gesekan biola itu. Betapa aku sendiri tak tahu, bahwa suaraku menjadi begitu mahal berharga.
            Selepas ibu yang merawatku ‘mangkat’ dimakan penyakit dan usia. Aku pun mulai terjun ke jalan-jalan. Tongkatku mulai berayun di trotoar trotoar. Lantaran dibesarkan oleh seorang pengemis, aku pun menjadi seorang pengemis. Tapi tidak juga, karena mereka tidak melemparkan koin itu cuma-cuma. Karena aku menjual lagu, menjual suara. Memang hanya itu yang bisa kulakukan untuk mempertahankan nyawa. Tidak lain.
Kian waktu, kian masyhurlah kabar tentang lelaki buta yang menjual suaranya. Kian merebaklah kabar perihal suara titisan nafiri itu. Suara yang seperti emas. Suara yang konon di dalamnya tersemat mantra-mantra. Suara yang begitu menentramkan hati siapa saja yang mendengarnya. Aku sendiri tak bisa menyimak secara pasti, benarkah suaraku seemas itu?
Setapak demi setapak, takdir menuntunku ke jalannya. Bukankah sudah kukatakan, jika Tuhan mengambil sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu. Sesuatu yang jauh lebih berharga. Tahukah kau, musabab suara itulah, Tuhan mengirim seseorang yang bernama produser rekaman. Entah apa itu. Tapi, pelan perlahan, ia membelikanku sabun, baju baru, sepatu, parfum, kacamata, dan mengontrakkanku sebuah rumah di bilangan Jakarta. Tempat di mana para artis dan musisi melabuhkan diri.
Lantas, aku pun mulai dikenalkan dengan tempat-tempat baru yang bernama: salon, studio rekaman, panggung, dan seterusnya dan seterusnya... Hingga aku turut mengenal istilah-istilah baru: kontrak, manajer, clip, shooting, talk shaw, dan seterusnya dan seterusnya...
Namun sungguh, di dunia baru ini aku melihat banyak sekali ihwal menjijikkan. Mengapa aku bisa bicara seperti itu? Karena aku bisa melihatnya. Bukankah sudah kukatakan, bahwa mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Aku tak punya mata, tapi aku bisa melihat segalanya, dengan jelas. Sangat jelas. Semua hanya butuh pembiasaan. Dan pembiasaan itu telah kulakukan sejak pertama kali aku menghirup udara dunia. Itu lebih dari cukup.
Kau ingin tahu apa yang kulihat? Baik. Aku bisa melihat aneka warna di dalam duniaku, dunia yang kata orang-orang tak memiliki warna selain hitam, persis seperti ketika mata mereka terpejam. Harus kukatakan berapa kali pada mereka, bahwa mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Penglihatan tak ada hubungannya dengan mata. Dan pengelihatan sudah lebih dari cukup bagiku.
Dengan pengelihatan itu aku bisa melihat warna ketulusan, yang berwarna hijau berkilau. Aku sendiri tak tahu seperti apa warna hijau. Kata orang-orang seperti warna dedaunan. Akupun tak tahu seperti apa itu warna dedaunan. Tapi aku menyebut warna ketulusan itu dengan warna hijau. Warna yang di dunia baruku sudah hampir lenyap. Sungguh, warna hijau itu tak tersemat sama sekali pada diri produser ataupun majaer pribadiku. Yang kulihat pada diri mereka adalah perpaduan warna merah dan hitam. Dan itu warna kebohongan. Entah, kebohongan seperti apa yang telah mereka suguhkan kepadaku aku tak tahu.
Masih banyak warna yang dapat kupilah dari pengelihatanku. Warna kasih yang putih. Warna amarah yang merah. Warna haru yang biru. Warna pilu yang ungu. Warna bangga yang jingga. Warna gairah yang kuning. Warna kebaikan yang bening. Warna penghianatan yang hitam. Warna kesombongan yang kelabu. Dan warna asmara yang merah jambu.
Warna demi warna berpencar di hadapanku, dalam penglihatanku. Peristiwa demi peristiwa berlalu dengan warnanya sendiri-sendiri. Dengan bekasnya sendiri-sendiri. Hingga tibalah waktu di mana warna merah jambu mengepul dalam kepalaku.
Di antara sekian penggemar(suara)ku, aku mengenal seorang gadis yang lugu. Dari suaranya, caranya bertutur, aku bisa melihat warna-warna indah itu mengepul dari tubuhnya. Kupikir ia tak terlalu cantik. Aku pun tak paham seperti apa itu cantik. Kata orang-orang, cantik adalah enak dipandang mata. Dan karena aku tak memiliki mata, cantik tidak masuk dalam hitunganku. Cantik dalam hitunganku adalah cantiknya warna-warna itu. Warna yang mampu merias penglihatanku.
Setelah menguliti gelagatnya, berangsur waktu, aku memberanikan diri untuk memintanya dari genggaman kedua orang tuanya. Kami pun menikah. Berita itu menyembur seperti kembang api, merebak luas di media, di tivi-tivi, di koran-koran. Beberapa cericit sempat kudengar, bahwa istriku menikah denganku lantaran uang dan kepopuleran.
Gadis mana yang mau menikah dengan orang tak punya mata, orang yang kemana-mana terus berkedok kaca mata. Iiiih seram. Apakah mereka juga akan bercinta dengan memakai kaca mata, hahaha….
Sudahlah, itu gampang sekali dinalar. Dia menikah pasti karna uangnya. Karena apa lagi? Siapa yang tidak mau, sekali show saja honornya bisa jutaan…
Bukankah dengan uang itu dia bisa mencari lelaki lain secara diam-diam. Suaminya kan buta, tak tahu apa-apa. Kasihan ya…
Kalau begitu, aku juga tidak keberatan menikah dengannya, maksudku menikah dengan uangnya hahaha….
Suara-suara semacam itu begitu runcing, berwarna hitam kelabu dan baunya sangat busuk. Aku mengabaikannya mentah-mentah.
Namun, bersilang waktu, warna-warna indah itu tiba-tiba menguap dari tubuh istriku. Di sini, aku baru menyadari bahwa cericit orang-orang itu tak sepenuhnya salah. Tidak pernah terpikirkan olehku, hingga kami memiliki anak satu, ketika naik ke ranjang, istriku selalu meminta mematikan lampu. Bukankah itu bisa berarti bahwa ia tak mau melihat liang di wajahku ketika kami bercinta. Mungkin benar, ia jijik, atau malah takut. Entahlah.
Setelah terbiasa dengan gelimang uang. Perangainya memang sedikit berbeda. Warna-warna indah yang dulu pernah mengaura dari tubuhnya pun perlahan lenyap. Mungkin salahku juga, masalah keuangan dalam keluarga kami, sepenuhnya kupercayakan padanya. Tanpa sepengetahuanku, ia pun mulai membayar pembantu baru dan perawat anak. Tentu itu ia maksudkan supaya waktunya lebih leluasa. Ia pun mulai memperbanyak kesibukan di luar rumah: arisanlah, shopinglah, reunianlah, pertemuan ibu-ibulah, inilah, itulah, taiklah… Dan ia melakukan semua itu tanpa merasa rikuh. Seolah aku tidak tahu apa saja yang ia lakukan di luar rumah, hanya lantaran aku tak punya mata.
Hari-hariku kian terpuruk saja. Apalagi kian hari karirku kian meredup. Kau tahu, kan, di dunia artis rejeki adalah musim-musiman. Setelah namaku tenggelam. Kedok istriku terbuka dengan sempurna. Tapi tetap saja, tanpa mata kasat aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kalau sudah begini, rasanya aku ingin mengambil sepasang mataku yang tertinggal di surga. Supaya aku bisa kemana-mana. Supaya aku bisa benar-benar mengawasi kelakuan istriku. Supaya aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang bisa segalanya. Lebih dari itu aku bisa menatap wajah anakku yang sudah seperti tak punya ibu.
Beberapa kali, sebagai suami, aku memperingatkannya. Supaya ia mencurahkan perhatian lebih pada anak kami satu-satunya. Namun, ia malah mencak-mencak, ia malah balik menyemprotku dengan kata-kata yang menyakitkan. Katanya ia sibuk kerja, ia juga menyebut-nyebut bahwa setelah karirku menurun, aku tak ubahnya patung yang tak bisa memberi kontribusi apa-apa pada keluarga. Bahkan, dengan terang-terangan ia mengaku bosan hidup denganku. Ia pikir, orang buta tak punya hati dan tak bisa menangis, sehinga seenak perut ia melontarkan kata-kata yang begitu bengkok dan runcing seperti kail pancing.
***
Cukup sampai di sini. Cukup. Aku lelaki. Aku punya hati. Aku suami. Aku punya harga diri. Maka, pada sebuah malam ketika kami tidur saling memunggungi. Diam-diam, dari belakang, aku membekap kepalanya dengan bantal. Kuat-kuat. Aku melihatnya meronta. Kakinya menendang-nendang seperti bayi. Tapi tetap saja, ia perempuan yang tenaganya tak sebanding dengan lelaki. Aku tertawa. Bisa kubayangkan seringai wajahku saat itu. Aku tahu itu bukan dendam. Itu hanya pelajaran berharga yang harus ia terima. Pelajaran berharga yang harus ia bawa sampai ke lahadnya.
Setelah ia diam tak bergerak. Kurasakan ada yang redam di dadaku. Betapa nyata hatiku turut buta oleh luka. Aku tahu alasan yang sebenarnya, mengapa aku nekat mengakhiri hidupnya. Ya, karena aku sudah tak tahan dengan warna hitam dan bau busuk yang akhir-akhir ini menguap dari tubuhnya. Warna penghianatan yang terlampau kental. Hingga baunya yang busuk meruah ke seluruh rumah, menyebar ke penjuru kamar.
Ia sungguh keliru, jika ia pikir, selama ini, aku tak tahu menahu bahwa diam-diam, ia sudah tidur seranjang dengan manajerku sendiri.***
Malang, 12 Oktober 2011