Memeluk Ibu, (SUARA KARYA, Sabtu 15 September 2012)

Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Semenjak kejadian itu, kami mulai pisah ranjang, rumah sederhana yang kami kontrak lengang, ia pulang ke ibunya, dan aku kembali ke ibuku. Dan entah mengapa aku tidak menyesal sedikitpun. Aku tak tahu, mengapa ia selalu cemburu setiap kali aku mengistimewakan ibuku. Sebelum meminangnya, aku sudah mengatakan, menjadi istriku artinya menjadi wanita kedua dalam hatiku, setelah ibuku, dan ia setuju. Ia memang gadis yang baik pada awalnya. Ketika itu ia kupinang dengan uang dua ratus ribu dan seperangkat kitab tafsir terjemah, ia cukup menerima.
Selama menjadi suami, aku selalu berusaha untuk menjalankan kewajibanku sebagai suami. Meski belum dikarunia putra, keluarga kami cukup tentram. Hingga suatu ketika, tiba-tiba ibu jatuh sakit. Dari rumah kontrakan kami yang sederhana, aku mengajaknya pindah ke rumah ibu, untuk sementara waktu, untuk dapat menjaga beliau, setidaknya sampai beliau sembuh. Meski terlihat agak menggerundal, akhirnya ia setuju. Karena aku seorang anak tunggal, ibu pun tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil yang cukup nyaman, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan kami, tapi juga tidak bisa dibilang dekat. Aku dan ibu tinggal di dua kecamatan yang berbeda, dari rumah kontrakanku, aku butuh waktu hampir dua jam untuk sampai di rumah tempat ibu tinggal.
Berkali-kali aku membujuk ibu untuk tinggal satu rumah dengan kami, tapi ibu tetap tak mau. Alasannya tidak lain adalah, beliau ingin merawat rumah peninggalan kakek. Demi alasan pekerjaan, aku dan istri pun tak bisa tinggal satu rumah dengan ibu. Maka, aku dan istri memutuskan untuk mengontrak rumah yang letaknya tidak jauh dari kantor tempat kami bekerja. Ketika kami meminta restu dari ibu, dengan hati lapang beliau mempersilahkan. Bahkan beliau bilang, supaya aku tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Apa menurutmu ibumu ini sudah terlalu tua, sehingga seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa lagi sendiri,” demikian tutur ibu.
“Bukan begitu, Bu. Hanya saja, hati saya tidak tenang kalau harus jauh dari ibu,” balasku.
“Ah, kau ini seperti anak-anak. Ingat, kau sudah punya istri. Prioritaskan itu. Justru ibu yang jadi tidak tenang, kalau kamu terus-terusan memikirkan ibu. Sekarang pikirkan keluargamu. Kamu sudah berkeluarga,” nasehat ibu meluncur.
Melihat ibu begitu bersikeras, akhirnya aku dan istri memutuskan untuk mencari rumah kontrakan sendiri.
“Baiklah, seminggu sekali kami akan menjenguk ibu,” lafasku kemudian. Ibu tersenyum mendengarnya.
***
            Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
            Pertengkaran itu dimulai dari percakapan ringan. Ketika kami mulai tinggal satu atap dengan ibuku. Ibu terbaring lemas di ranjang lepek, dalam kamarnya. Aku duduk di tikar pandan yang terjabar di lantai. Wajah ibu kian pucat. Sudah tiga kali aku berusaha membujuknya, supaya ia mau kubawa ke rumah sakit atau setidaknya puskesmas. Tapi tetap saja, ibu menolak. Dalihnya, ia hanya demam biasa dan akan segera sembuh. Dalam sakitnya, ibu malah mengkhawatirkan keadaan kami, aku dan istri. Barangkali ibu memerhatikan wajah istriku yang melulu tirus semenjak aku mengajaknya pindah.
“Tidak apa-apa, Bu, mungkin Hasna kecapekan, pulang pergi dari tempat kerja yang jaraknya lumayan jauh,” aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada ibu.
“Dari itu, sebaiknya kalian kembali ke rumah kontrakan kalian saja. Sudah kubilang, aku hanya demam biasa. Lagi pula di sini juga banyak tetangga-tetangga yang bisa ibu mintai bantuannya, kalau ibu perlu sesuatu,” balas ibu lemas.
“Mana masuk akal kami meninggalkan ibu sendirian dalam keadaan begini. PP dari rumah ke kantor juga tidak sejauh yang ibu bayangkan. Jadi biarkan kami tetap tinggal di sini, setidaknya sampai ibu sehat kembali. Makanya, ayo ke dokter, supaya ketahuan, ibu sakit apa. Supaya ibu bisa lekas sehat seperti sedia kala.”
Ibu tak menggubris, tapi ia tersenyum menatapku.
Selepas ibu lelap, aku melangkah ke dapur dengan piring dan gelas kotor sisa makan ibu. Dan kecemburuan istriku mulai tampak di sini. Ketika aku meletakkan piring dan gelas sisa makan ibu, istriku tak mau mencucinya, ia hanya mencuci gelas dan piring bekas makan kami saja. Maka aku mencucinya sendiri. Ketika masuk ke dalam kamar, aku mendapati istriku tidur memeluk guling, menghadap tembok. Dari gerak lakunya, ia tak bisa menyembunyikan, bahwa ia sedang kesal.
“Kau baik-baik saja?” kusentuh pundaknya perlahan.
Ia tak menjawab.
“Sayang, apa kau baik-baik saja?” aku megulang pertanyaan yang sama.
“Tidak!” jawabnya ketus, tanpa memalingkan muka sedikit pun.
“Ibuku ibumu juga,” aku mencoba menghaluskan tutur.
Ia membisu.
“Jangan begitu lah…”
“Aku capek! Mau tidur.” balasnya masih jutek.
Aku memilih diam, membiarkannya diam, agar segala kekesalan dalam dirinya turut redam. Dan esok akan menjadi hari yang berbeda bagi kami.
***
 Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Pagi-pagi buta, sekitar pukul setengah enam, selepas menyeduhkan teh hangat untukku, istriku berangkat kerja terlebih dahulu.  Ia mencium tanganku dengan air muka yang datar. Biasanya kami berangkat bersamaan. Tapi, karena ia tidak sabar menungguku yang masih sibuk mengurusi segala keperluan ibu, ia memilih berangkat sendiri. Aku tak mau hal-hal kecil seperti itu menjadi sumber cek-cok, maka aku membiarkannya berbuat apa saja yang ia mau, selama itu masih di dalam batas-batas kewajaran.
Sepulang kerja, silih aku yang mengalah, menyiapkan segala keperluan untuk makan siang. Wajah istriku tampak kepayahan dan sangat tirus. Selepas makan siang—setelah beberapa hari saling mendiamkan satu sama lain—aku mencoba mendekatinya, mengajaknya bicara, dari hati ke hati.
“Alhamdulillah, kondisi ibu sudah mulai membaik,” selorohku santai.
“Syukurlah,” balasnya tanpa menatapku.
Kami diam beberapa jenak.
“Jadi, kapan kita bisa balik ke rumah?” tanyanya kemudian.
“Besok, atau mungkin lusa.”
“Lebih cepat lebih baik. Mungkin rumah yang kita tinggal sekarang sudah jadi kapal pecah.”
“Iya,” aku merendahkan suara, agar terdengar lembut dan sependapat.
Kami sama-sama terdiam lagi, beberapa saat.
“Oh, ya, aku ingin bertanya sesuatu padamu,” aku memulai percakapan baru.
“Apa?” sahutnya singkat.
“Misalnya aku membagi seperempat jatah gajiku untuk ibu, bagaimana?”
Serta-merta ia menatapku, tatapan kejut yang berkabut.
“Apakah hasil paroan sawah itu masih kurang untuk ibumu?” balasnya terdengar nyelekit di telingaku. Aku berusaha untuk menahan diri.
“Bukan begitu maksudku. Ibu kan belum tentu pegang uang tiap hari. Jadi, ketika kita tidak ada di sisi beliau, dan beliau membutuhkan sesuatu, untuk beli obat, atau keperluan sehari-hari misalnya, beliau sudah punya pegangan.”
“Bagaimana dengan keperluan kita? Keperluan kita lebih banyak. Ngurus rumah, belanja,  listrik, tabungan, kalau kita punya anak nanti, belum lagi kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainya. Semua itu butuh uang,” uangkapnya berapi-api.
Tak ingin persilatan lidah itu berlanjut, aku segera berigsut keluar kamar. Aku tak mau ibu menguping pembicaraan kami yang terasa sangat jauh ujungnya.
***
Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Setelah keadaan ibu benar-benar pulih, kami pamit. Aku senang melihat istriku sudi mencium tangan ibu dengan wajah cerah. Namun, sesampainya di rumah, setelah melihat kondisi rumah yang benar-benar amburadul, wajah istriku kembali keruh.
“Kalau kau capek, kau istirahat saja, biar aku yang membereskan semuanya,” tuturku pelan. Ia tak menghiraukan kata-kataku. Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaiannya dengan daster kumal, ia mulai menyahut sapu dan penebah. Ketika aku hendak membantunya, dengan raut culas, ia mengatakan, “Kau istirahat saja. Aku tahu kau capek.” Dengan senang hati aku menurutinya.
Malam harinya, ketika keadaan rumah menjadi nyaman, kami duduk berdua di depan tivi sambil menyantap makanan kecil alakadarnya. Aku memulai obrolan.
“Sayang, bolehkah aku menyampaikan sesuatu?” aku berusaha menggenggam jemarinya.
“Apa lagi?” ia berusaha mengelak.
“Mohon maaf sebelumnya, setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk membagi seperempat gajiku buat ibu.”
Ia menatapku, wajahnya tiba-tiba memerah. “Maksudmu?”
“Pasti Allah akan menggantinya dengan rizki yang berlipat,” kata-kataku mungkin terdengar seperti ceramah, di telinganya.
“Tapi aku istrimu. Aku yang berhak. Dan ketika aku tidak mengizinkan kau melakukan itu, seharusnya kau tidak melakukannya,” ia meledak.
“Tapi beliau ibuku, ibumu juga, ibu kita. Dan beliau membutuhkan itu,” aku masih berusaha lembut.
“Kalau begitu hiduplah dengan ibumu, biarkan dia yang membuatkan sarapan untukmu, yang mencucikan bajumu, yang memijat punggungmu kalau kau pegal. Laukan saja semaumu, kau lelaki, kepala rumah tangga… apa pentingnya pendapat istri,” ia menjelma naga, yang meluncurkan api dari mulutnya.
“Kau tak boleh bicara begitu, Sayang,” nada suaraku mulai tinggi.
“Lalu?”
“Kau tahu, mengapa di dunia ini tak ada istilah ‘mantan ibu’, karena, seperti apapun, seburuk apapun, seculas apapun, ibu tetaplah ibu, tak mungkin tergantikan oleh siapapun. Dan istri, mantan istri, tak terhitung jumlahnya di dunia ini. Itu artinya, seorang istri tak pernah lebih berarti dari seorang ibu.” Meski nada bicaraku terdengar santai, namun emosiku turut meledak ketika mengatakan itu. Seperti magma di perut bumi yang lama sekali tertahan dan butuh dimuntahkan. Sama sekali aku tak berniat menyakiti hati istriku, aku hanya ingin ia mendapat sebuah pelajaran.
Tapi sungguh di luar dugaan, dengan air mata berurai dan wajah yang masih merah, istriku menggumam pelan, “Kalau begitu, kau pilih aku atau ibumu?”
Mendengar kata-katanya yang menusuk seperti jarum, tanpa berpikir panjang aku pun membalas, “aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.”
Istriku beringsut ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. Aku masih tercenung, menjelma patung. Mengingat bagaimana ibu, raut lembutnya, jerih payahnya, membuatku berpikir, bahwa istriku berhak untuk mendapatkan pelajaran yang lebih dari itu. Karena, suatu ketika, ia juga akan menjadi seorang ibu.***
Malang, 31 Maret 2012

Percakapan Tengah Malam, (Tabloid Nova, edisi 27 Agustus -2 September 2012)

Malam malam. Sayup suara timbul tenggelam. Di langit dan di kolam, bulan kembar bersalam. Di beranda, kesunyian terselam. Di ruang ingatan, masa lalu tersulam. Malam Malam.
“Sayang,” sayup suara kakek terdengar centil.
“Ya?”
“Rasanya baru kemarin kita dipertemukan, lalu jatuh cinta dan menikah,” lanjut kakek.
Masih sepi. Krik krik krik
“Iya, rasanya seperti nonton film bagus, durasi waktunya berjalan cepat tapi tak terasa, tiba-tiba film sudah berakhir,” sambut nenek, lirih.
“Apakah kau membicarakan kerentaan kita?”
“Kata Marquez, kerentaan adalah keadaan yang tidak layak untuk dilanjutkan sehingga harus diakhiri sebelum terlambat.”
“Apa kau percaya itu?”
“Apa kau gila, tentu saja tidak, kerentaan tidaklah seburuk itu.”
“Tapi bukankah kita memang sudah sama-sama renta,”
“Apa kau tidak bahagia dengan keadaan ini?”
“Tentu saja aku bahagia. Selama kau di dekatku, kerentaan tak pernah berarti apa-apa.”
Sepi lagi. Beberapa menit. Krik krik krik…
“Sayang,” suara kakek terdengar parau.
“Ya?”
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu saja, agar kau menolehkan wajahmu ke arahku.”
***
Malam benar. Sayup suara nyaris tak terdengar.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berlayar. Di beranda, kesunyian menjalar. Di ruang ingatan, masa lalu terkapar. Malam benar.
“Sayang,” lirih kakek.
“Hem?”
“Seperti apakah kau memandang kehidupan ini?”
“Kehidupan kita maksudmu?”
“Ya.”
“Sempurna.”
“Meski penuh luka.”
“Justru luka adalah resep paling mujarab untuk kehidupan yang sempurna.”
“Sempurna seperti apa yang kau maksud?”
“Seperti kita.”
“Ha?”
“Siapa yang akan mengira, seorang gadis manis lulusan S2 dipinang seorang pemuda yang bahkan hampir tidak lulus SMA.”
“Hei, tapi aku seorang penyair.”
“Tentu saja, aku takkan lupa pada racun yang kau ramu dan kau sodorkan padaku.”
“Racun? Racun apa maksudmu?”
“Aduh, katamu kau seorang penyair, tapi mengapa begitu sulit mengartikan bahasa kiasan.”
“Ya, ya, aku paham.”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, mendekatlah,” suara nenek terdengar parau.
“Apa?”
“Ada yang mengkilat di rambutmu. Sepertinya itu uban.”
“Biar saja, jangan dicabut, itu bukan uban. Itu musim, sebentar lagi akan ada yang gugur dari tubuhku, dan kau tahu, musim yang baru telah menanti.”
“Mana mungkin aku mencabutnya, semua rambutmu uban, eh, maksudku musim.”
“Lalu mengapa kau memintaku mendekat?”
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin kita merapat saja supaya hangat.”
***
Malam larut. Sayup suara pasang surut.  Di langit dan di kolam, bulan kembar bersambut. Di beranda, kesunyian melangut. Di ruang ingatan, masa lalu merunut, bertaut. Malam larut.
“Sayang,” kakek membuka percakapan baru.
“Kenapa?”
“Ini sudah sangat larut. Apa kau tidak mengantuk?”
“Mengantuk dalam suasana romantis seperti ini adalah perbuatan tidak sopan.”
“Lucu sekali, kita sudah setua ini masih saja butuh dengan hal-hal romantis.”
“Memangnya kau pikir apa yang membuat pasangan suami istri bisa awet sampai tua seperti kita ini?”
“Duit, bukan?”
“Itu termasuk, tapi itu tidak terlalu penting. Cinta itu ibarat tanaman, romantis itu ibarat pupuk. Jadi, supaya cinta bisa bertumbuh kembang dengan subur, kita butuh pupuk yang cukup.”
“Amboy, bahasamu…”
“Begini-begini istrimu lulusan sarjana sastra.”
“Meskipun tak pernah menciptakan karya sastra. Hahaha.”
“Aku tak mau menyaingimu, tentu saja. Cukup lelaki saja yang jadi sastrawan berkibar, wanita cukup jadi sastrawan di balik layar.”
“Sastrawan di balik layar? Istilah apa lagi itu?”
“Mendidik anak dengan baik, mengasuh cucu dengan baik, menjadikan mereka manusia yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, apakah itu bukan karya sastra?”
“Aku benar-benar bangga memiliki seorang sastrawan di balik layar.”
“Hahaha…”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, ada sesuatu di keningmu,” lirih kakek.
“Ha?”
“Tidak apa-apa, aku hanya melihat cahaya di keningmu, dan kurasa aku harus mengecupnya, agar cahaya itu juga menjalar ke bibirku, ke wajahku.”
***
Malam pekat. Sayup suara menjauh dan mendekat.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berkilat. Di beranda, kesunyian berkarat. Di ruang ingatan, masa lalu berjingkat. Malam pekat.
“Sayang,” kakek memulai lagi.
“Sudah, jangan pakai sayang-sayangan, nanti cucu kita dengar,” balas nenek.
“Dia sudah tidur.”
“Bagaimana kalau dia menguping pembicaraan kita?”
“Tidak masalah, kan. Justru supaya ia tahu, bahwa orang dewasa tak selalu bermusuhan seperti ibu-bapaknya.”
“Kita sudah bukan dewasa lagi. Kita sudah tua. Kau tahu artinya tua? T-u-a!”
“Tua ya tua.”
“Tua itu artinya, kita akan kembali menjadi bayi. Gigi kita akan ranggas satu persatu, tak bisa makan rempeyek, seperti bayi. Kita juga akan pikun, tak tahu apa-apa, seperti bayi. Bahkan mungkin, kita juga harus mengenakan pempres.”
“Apa itu berarti, kita akan menyusahkan anak-anak kita?”
“Tentu saja, itu akan menjadi semacam ujian imbal balik bagi anak-anak.”
“Maksudnya?”
“Ya… mereka harus merawat orang tua mereka sebagimana orang tua mereka merawat mereka sewaktu bayi.”
“Pasti itu akan sangat sulit.”
“Ya, bahkan menjijikkan. Kau tahu kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa orang tua yang menjadi bayi jauh lebih menjijikkan.”
“Kenapa?”
“Karena mereka pernah melakukan dosa. Dan itulah satu-satunya hal membedakan mereka dengan bayi, meski mereka sama-sama tak berdaya.”
Sepi. Krik krik krik
“Apa kau menangis?” suara nenek terdengar sayup, lembut.
“Aku tak menangis, aku hanya takut. Takut akan kerentaan kita. Aku takut akan menyusahkan banyak orang, anak-anak kita, cucu-cucu kita.”
“Apa kau ingin aku merapat?”
Sepi. Krik krik krik
***
Malam jelita. Sayup suara bersilih bagai soneta.  Di langit dan di kolam, bulan kembar melata. Di beranda, kesunyian bertahta. Di ruang ingatan, masa lalu merenta. Malam jelita.
“Sayang,” sayup suara kakek terdengar lemas.
“Sudah kubilang, gak usah pake sayang-sayangan.”
“Apa salahnya memanggil ‘sayang’?”
“Umur. Inget umur.”
“Tak masalah, kan. Kau tahu, mengapa banyak sekali suami atau istri tidak puas dengan pasangannya? Karena mereka enggan untuk bersikap romantis. Menyatakan cinta pada pasangan mereka terasa seperti perbuatan konyol, padahal justru itu yang membuat pasangan kita merasa berharga dan terus dicintai.”
“Apakah cinta musti diungkapkan dengan kata-kata?”
“Tetu saja, cinta akan menjadi sempurna jika terucap oleh lisan, terealisasi oleh tindakan. Bukan dalam hati semata.”
“Oh, jadi itu alsanmu menjadi centil.”
“Tapi kau suka, kan?”
Sepi. Krik krik krik
“Ini sudah terlalu malam, apa tak sebaiknya kita berangkat tidur,” nenek seperti menggumam sendiri.
“Apa kau sudah mengatuk?”
“Kalau mengantuk, tidak.”
“Lalu?”
“Kita tak sadar, kalau sedari tadi ada telinga menguping pembicaraan kita dari balik jendela.”
***
Malam lepas. Sayup suara meranggas.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berhias. Di beranda, kesunyian menderas. Di ruang ingatan, masa lalu mengelupas. Malam lepas.***

Malang, 13 Maret 2012

Pohon Kesunyian (KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 15 Juli 2012)

-->
Butir-butir kesunyian itu berceceran di balik apa-apa yang pernah disentuhnya. Di antara apa-apa yang telah disisakannya: lantai-lantai, dinding-dinding, pakaian-pakaian, piring-piring, kasur, bantal, selimut, buku-buku, sandal, sepatu, kaset-kaset, parfum… Butir-butir itu tak terhisab jumlahnya. Aku memungutinya setiap hari, satu persatu, seperti memunguti buah ceri yang terjatuh dari pohonnya. Namun butir-butir itu tak pernah ada habisnya, seperti terlahir dari rahim udara yang tak terlihat wujudnya, yang tak tersentuh kasatnya, dan muncul begitu saja.
Seperti seorang pemulung, tak kenal lelah, tak urus payah, butir-butir kesunyian itu terus saja kupunguti. Tak terkira banyaknya. Tak terhisab jumlahnya. Butir-butir kesunyian itu kemudian kusimpan dalam toples-toples bening termazkur kenangan. Ya, kenangan. Hingga berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
***
            Tatkala malam melata, butir-butir itu selalu menguapkan suara gemerincing. Cahayanya kian berkilau. Seperti kristal. Cahaya yang selalu membuaiku ke masa lalu. Masa-masa ketika harum parfummu masih utuh melekat di bajuku, di kasur, dan di setiap sudut ruang di mana kita pernah bersitatap, bersisentuh, bersibincang, bersicinta.  
            “Suatu ketika kita akan berpisah, Sayang, itu wajib lantaran kita manusia. Manusia yang sangat rapuh. Rapuh sekali…”
            Betapa kata-katamu itu kemudian menjelma mantra. Mantra yanga membakarmu tanpa sisa. Ya, membakar. Sebenar-benarnya membakar. Membakar dalam arti yang sesungguhnya. Seperti api mengganyang kayu. Seperti api melahap kertas. Membakar. Menyambar. Menjilat. Dan api itu pula yang telah meremas tubuhmu menjadi abu. Jangankan tubuhmu (tubuh manusia yang sangat rapuh, seperti katamu), gedung berlantai-lantai, bersisi beton, berurat besi, tempatmu bekerja pun lunas oleh api yang sama. Kau shahih, manusia memang makhluk yang sangat rapuh. Rapuh penuh seluruh.
Kini, satu saja yang kusesali dari perpisahan kita: tidak adakah cara berpisah yang lebih lembut dari ini?
            Nahas tak kunjung lepas. Peristiwa kebarakan itu masih menyala dalam kepalaku. Ingin rasanya aku mengutuk mobil pemadam yang terlambat datang. Ingin rasanya aku menghabisi siapa atau apa yang memusababkan api itu memercik melata. Ingin rasanya aku meludahi cara perpisahan kita. Ah, namun tidak ada yang salah. Tidak ada yang perlu dikutuk, dihabisi, atau diludahi. Semua hanya, lantaran kita manusia. Manusia yang sangat rapuh. Dan sangat lalai. Ya, lalai. Aku menambahkannya satu lagi: lalai. Rapuh dan lalai.
Lunas. Masa lalu itu kini membeku, menjadi kristal, menjadi butir-butir kesunyian yang tak terkira banyaknya. Yang tak terhisab jumlahnya. Berceceran di mana saja. Puluhan toples bening telah terpajang di dinding-dinding hati. Termazkur kenangan. Berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
***
Sepi mencekikku, menamparku, menghantamku. Aku babak belur menjadi -bulanan sepi. Katakan! Apa yang harus kulakukan terhadap butir-butir kesunyian yang bergemirncing ini. Membuangnya? Memang siapa yang mampu membuang kenangan, dengan cara apa. Membakarnya? Aku tahu kenangan jauh lebih kuat dari manusia. Api takkan mampu mengabukannya. Atau mungkin, aku harus menguburkannya? Ya. Aku memang harus menguburkannya. Menimbunya dengan masa depan yang tampak buram, tanpa warna.
***
Simaklah! Tepat, ketika siang memejam, dan pekat menyambar-nyambar malam. Kesunyian itu mulai hidup, bergemerincing dan membabi buta. Toples bening termazkur kenangan itu mulai kusingkap satirnya. Kulepas penutupnya. Butir-butir kesunyian yang serupa kristal itu semakin nyaring gemerincingnya.
Lihatlah! Aku berlari pontang-panting. Seperti gangsing. Menutup mata. Menutup telinga. Gemerincing itu semakin nyata. Merambat ke ulu dada. Menelusup ke cuping telinga. Memekakkannya. Mengguncangkannya. Menghamburkannya. Hingga rumahku seperti porak poranda. Sejauh jangka pandang yang kutatap hanya lapang. Lapang yang buram. Lapang yang remang. Tapi toples-toples termazkur kenangan itu masih utuh. Berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
Seperti tersumat dendam, aku mencakar-cakar tanah. Membuat galian. Satu toples berikut isinya kutumpahkan ke dalam liang. Kutimbun. Kukuburkan. Aku terus menggali dan menggali. Puluhan liang. Ratusan liang. Jari-jariku berdarah. Perih. Tapi aku terus menggali, mengubur, menimbun. Toples demi toples berikut isinya kutumpahkan. Kutimbun. Kukuburkan.
Aku terengah-engah. Aku terus memunguti butir-butir kesunyian itu. Butir-butir kesunyian yang seperti terlahir dari rahim udara. Tak ada habisnya. Aku memungutinya dan menyimpanya dalam toples bening termazkur kenangan. Lalu menguburkannya. Terus begitu. Berputar-putar. Seperti komidi putar. Tak henti-henti. Tak ada henti. Tak ujung-ujung. Tak ada ujung. Hingga tiba-tiba kudapati rambutku pecah menjadi putih. Kulitku menggelambir menjadi keriput. Mataku buram menjadi keruh. Tulang dan sendi-sendiku karam menjadi lumpuh.
Maka, kini, sempurnalah jasad sepiku menjadi seorang pengubur yang abadi. Pengubur butir-butir kesunyian yang tak terkira banyaknya. Pengubur kenangan yang tak terhisab jumlahnya, yang tak pernah ada habisnya.
***
Sudah. Lepas. Rasanya semua menjadi begitu sia-sia untuk dipertahankan. Aku lelah. Aku pasrah. Aku menyerah. Kalah. Aku terlampau uzur untuk memedulikan masa yang kabur. Aku terlewat layu untuk menggubris masa lalu. Saatnya berdiam. Tak lagi memedulikan apa-apa. Tak lagi memikirkan apa-apa.
Lantaran itulah, aku tetap membeku di dipan sunyiku, ketika menyaksikan tanah-tanah di halaman rumahku retak. Menumbukan kecambah-kecambah yang subur. Kecambah-kecambah sunyi yang bertumbuh kembang dengan cepat. Merambati lantai, dinding, kursi, kasur, dan atap-atap rumah.
Aku tetap berdiam membiarkan cabang-cabang kesunyian itu terus menjulur. Daunnya kian melebar. Tunas-tunasnya kian menjulur. Kuncup-kuncupnya kian mekar. Menjadi bunga yang menyimpan serbuk kesunyian yang amat berbisa. Tak butuh waktu lama, bunga-bunga itu akan terus mekar, bertumbuh kembang menjadi buah. Buah kesunyian yang akan melahirkan butir-butir kesunyian yang baru. Kesunyian yang lebih mencekam.
Lihatlah! Pohon kesunyian itu kini mendekatiku. Melilit tubuhku. Mencekik leherku. Meremukkan tulang-tulangku. Tapi aku takkan melawan. Karena, aku tahu, sampai kapan pun takkan pernah ada manusia yang mampu mengubur masa lalu. Takkan pernah ada manusia yang sanggup mengalahkan kenangan. Takkan ada.***
Malang, VBT 22911