Pelajaran Hujan (REPUBLIKA, Minggu 9 Desember 2012)

LELAKI itu kembali membuka gorden, mengintip bingar hujan di luar jendela. Langit hampir gelap, dan hujan masih saja berdebaman menikam apa saja. Lelaki itu menghela napas, ia benar-benar cemas, cemas pada istrinya yang sudah hampir empat jam belum juga sampai di rumah. Mungkin ia takkan secemas itu jika isterinya tidak dalam keadaan hamil tua. Ia menyesal sudah menyuruh istrinya naik taksi seorang diri. Ia memang tak punya pilihan lain, hujan turun deras sekali dan ia lupa membawa jas hujan—yang biasanya ia siapkan di jok motor.
Lelaki itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika ia nekat membonceng istrinya pulang dalam keadaan hujan sederas itu, dengan motor telanjang. Jalan menuju rumahnya begitu berkelok dan sangat licin bila hujan turun. Beberapa hari lalu seorang pengendara motor terjungkal dan terluka parah di tikungan jalan itu. Sebab itulah ia menyuruh istrinya untuk naik taksi. Sedangkan ia sendiri memilih nekat untuk menembus guyuran hujan yang begitu parah.
“Tolong kau bawakan tasku, handphoneku ada di dalam,” tuturnya sebelum melesat pergi meninggalkan istrinya seorang diri di teras swalayan, tempat ia berbelanja kebutuhan persiapan lahiran.
“Iya, hati-hati, Mas, jalannya licin lho,” sambut istrinya singkat. Dan lelaki itu segera meluncur tanpa menoleh ke belakang lagi. Hujan turun deras sekali.
***
Lelaki itu sampai di rumah dalam keadaan kuyup sekuyup-kuyupnya. Selepas berganti pakaian dan mandi ia duduk di teras rumah dengan sebuah payung yang ia siapkan untuk menyongsong istrinya supaya tidak kehujanan ketika turun dari taksi. Menunggu taksi bukanlah pekerjaan yang memakan waktu, lagi pula, tempat itu tidak terlalu jauh dari sini, beberapa menit lagi pasti istriku datang, pikirnya. Ia mulai panik ketika satu jam istrinya belum juga datang. Ia ingin menghubungi istrinya—sudah sampai di mana sekarang, namun ia baru ingat bahwa handphone miliknya ada di dalam tas yang sekarang di bawa istrinya.
Lelaki itu memilih untuk masuk ke dalam rumah. Pasti sebentar lagi taksinya datang. Tak masalah ia berada di dalam rumah, toh kalau ada suara mobil berhenti di depan rumah pasti kedengaran. Tapi, hujan kali itu benar-benar berisik hingga kepanikannya bertambah-tambah. Untuk menenangkan diri, lelaki itu beranjak ke dapur dan menyeduh dua cangkir teh hangat, satu untuknya, dan satu lagi untuk istrinya. Sebentar lagi pasti istriku sampai. Dingin-dingin begini pasti akan sangat nyaman menyeruput teh hangat berdua-duan.
***
Lelaki itu kembali meyingkap gorden jendela. Hujan mereda sejenak dan kembali menderas. Dua cangkir teh mendingin, menguap di atas meja, yang satu masih utuh, yang satu tinggal separuh. Lelaki itu masih berdiri di balik jendela. Menatap ruahan hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari bejana raksasa. Ia menatap nanar dua pohon kelengkeng yang berayun-ayun di depan rumah karena kibasan angin. Ia bertanya-tanya, sedang apakah istrinya sekarang. Apa ia baik-baik saja?
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan, ketika istrinya tengah menunggu taksi, tiba-tiba istrinya merasakan kontraksi pada janinnya. Lantas, sebelum taksi datang, beberapa orang membawa istrinya ke rumah sakit. Ia membayangkan, di sebuah ruang, di sebuah rumah sakit, istrinya sedang berjuang mati-matian untuk melahirkan bayi pertamanya. Ia membayangkan istrinya mengejan, bersimbah peluh, ketubannya pecah, bergumul darah, dan ia tidak ada di sana, di samping istrinya. Pasti itu sangat sulit, melahirkan tanpa seorang suami di sebelahnya, tanpa seorang suami yang menghibur payahnya, menyemangatinya.
Ia tersadar dari lamunan jauh itu ketika sebuah mobil menderum, melintasi depan rumahnya, hanya melintas, tidak berhenti. Ia baru sadar kalau ia terlampau khawatir, matanya sedikit berair. Tidak, itu tidak akan terjadi. Kata dokter, HPL istriku masih awal bulan depan, sekitar dua pekan lagi. Ia menghela napas berat dan kembali ke sofa. Merebahkan tubuh dan pikiran yang cemas.
***
Sekali lagi, lelaki itu menengok jam yang membeku di pusat dinding. Sudah hampir tiga jam lebih dan istrinya belum juga kembali. Langit sudah sempurna didekap gelap. Ia semakin khawatir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jas hujan dan bersiap untuk menyusul istrinya kembali. Namun hujan di luar semakin parah, deras sekali, lebih deras dari sebelumnya. Ia juga khawatir, jika istrinya sudah terlanjur naik taksi, perjalananya yang susah payah itu hanya akan berbuntut sia-sia. Saya akan menunggu sampai setengah jam lagi, jika setengah jam ke depan istriku belum datang, aku akan benar-benar menyusulnya. Tak peduli gelap, tak peduli hujan, aku akan menyusulnya, pikirnya berapi-api.
Sekilas ia mendengar deruman mobil melintas di jalan depan rumah. Itu dia, pikirnya. Maka, segeralah ia berlari menyosong deruman itu. Namun sayang, itu hanya deruman mobil tetangga yang lewat sepulang kerja. Ia kembali mengempaskan napas berat dan terduduk di sofa dengan tubuh lemas. Teh di atas meja sudah tandas. Ia berjanji tidak akan menyeruput teh milik istrinya yang ia buat sendiri. Ia ingin istrinya tahu, bahwa ia sangat peduli, bahwa ia sangat khawatir.
Sekali lagi, sayup-sayup ia mendengar suara deruman mobil. Entahlah, ia tidak yakin, apakah itu suara deruman mobil atau hanya suara hujan yang tak henti-henti. Dengan langkah terhuyung ia berjalan mendekati jendela. Membuka gorden yang bergoyang-goyang. Dan lihatlah! Di luar tidak apa pun kecuali hujan yang menambah kepanikannya. Mengapa hujan ini tidak juga berhenti, ia mulai menyalahkan hujan. Harusnya aku membawa sendiri handphoneku, ia mulai menyalahkan handphone. Seharusnya aku membawa jas hujan, ia menyalahkan jas hujan. Ah, suami macam apa aku ini, ia menyalahkan dirinya sendiri.
***
Lelaki itu masih berdiri di muka jendela. Ia menyaksikan dua pohon kelengkeng di depan rumah menjadi buram seperti bayang-bayang. Hujan kali ini benar-benar parah. Serupa kabut-kabut air yang menyusun sebuah rencana tak terduga.
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan istrinya memanggil taksi yang salah. Ia membayangkan istrinya duduk kedinginan di jok belakang, sementara sopir taksi itu sesekali meliriknya dari kaca spion. Ia membayangkan, sopir taksi itu tidak membawa istrinya pulang, tapi membawa istrinya ke tempat sepi dan kemudian meminta uang dan perhiasan yang ada. Lantas istrinya diturunkan di sebuah tempat yang sepi pula. Istrinya menangis tak karuan karena takut. Terlebih-lebih ia membobot janin yang beratnya hampir tiga kilogram di perut. Pasti itu akan sangat sulit sekali. Ah, suami macam apa aku ini.
Ia terbuyar dari lamunan yang tidak-tidak itu ketika kilat di luar jendela menyambar tiba-tiba. Hatinya sesak. Ia ingin menangis. Ia benar-benar menyesal tidak membawa handphonenya sendiri. Jika ia membawa handphone itu, ia takkan secemas ini. Ia bisa menghubungi istrinya  kapan saja ia mau. Ia mengusap wajah tergesa-gesa dan kembali menyeruput teh yang tandas di atas meja. Ia ingin menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu tentang istrinya, semua itu hanya ada di sinetron. Ia juga menyesal sudah terlalu banyak menonton sinetron. Ah.
***
Ini sudah terlalu lama. Aku tak akan menunggu lagi. Lelaki itu menyahut jas hujan yang sudah terlipat rapi di atas meja. Hampir empat jam sudah. Menunggu taksi tak mungkin selama itu. Ia harus segera menyusul istrinya kembali. Ia bergegas, mengenakan jas hujan, megeluarkan motor yang masih kuyup. Ia mengunci pintu dan melesat menembus hujan. Hujan yang sangat deras, sederas rasa khawatir yang meluap-luap di dadanya. Hujan bukanlah apa-apa. Sederas apapun, ia akan tetap menembusnya.
Secepat kilat lelaki itu meluncur dengan motornya, berseliut dari tikungan ke tikungan, melesat dari jalan ke jalan, menembus hujan yang seperti tak peduli pada apa-apa. Dalam perjalanan yang kuyup dan gigil itu, lelaki itu terus menggumam do’a, ia terus memikirkan nasib istrinya yang juga belum kembali. Beberapa menit, ia telah sampai di swalayan tempat semula istrinya menunggu. Dan di sana, ia tidak melihat siapa-siapa. Ia bertanya pada beberapa orang yang melintas, kepada satpam yang berdiri di depan gerbang, dan tak seorangpun memberikan jawaban yang bisa membuatnya lega.
Tanpa banyak kata, bergegaslah lelaki itu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menemui resepsionis dan menanyakan apakah ada wanita hamil yang mungkin datang beberapa jam lalu, dan resepsionis itu menjawab tidak ada. Lelaki itu lemas. Ia meraih motornya dan segera kembali rumah. Hujan yang deras mendedas sudah liris menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika lelaki itu sampai di depan rumah, hujan sudah hampir reda.
Di teras rumah ia melihat sesosok perempuan tengah berdiri mematung, mengelus perutnya yang buncit. Tanpa sepatah kata, lelaki itu segera menghambur, memeluk perempuan itu erat-erat, seolah mereka telah terpisah begitu lama. Dan hujan pun kembali turun dengan derasnya.***
Ketika hujan turun berlarat-larat,
Malang, akhir November 2012
*Cerita untuk istriku tercinta yang telah bersusah payah menanak cinta dalam berbagai bentuk.

Nyawa dan Harga Sepatu, (Tribun Jabar, Minggu 2 Desember 2012)

Malam-malam, saat aku sedang asyik menyelesaikan tulisanku, aku terlonjak kaget oleh jeritan histeris istriku, “Idiiiiiiih, ya ampuuun…, apa-apaan ini, sepatu kayak gini harganya satu juta enam ratus. Lihat deh, Mas, masa sepatu kayak gini harganya satu juta enam ratus. Iiih, najis.”
Ia menunjuk-nunjuk majalah bekas yang dibacanya, yang ia beli pagi tadi dari pasar loak. Melihat tingkah polah dan kata-katanya yang naïf, aku hanya bisa menarik bibir, “Ada sepatu yang harganya ratusan juta, jadi jangan kaget.”
“Tapi lihat deh, sepatu kaya gitu harganya satu juta enam ratus. Itu, di pasar loak cuma dua puluh ribu dan masih bisa ditawar. Heran deh, kok bisa, ya, sepatu harganya semahal itu. Jangan-jangan ini sepatu di pakainya di kepala bukan di kaki.”
Ada-ada saja. Aku meringis, menahan tawa, dan kembali menekuni tuts-tuts keyboard yang ada di hadapanku.
“Lha iya, barang mau diinjak-ijak di kaki saja harganya bikin orang pingsan. Memangnya, begitu itu siapa yang mau beli?”
“Ya mungkin para istri pejabat, para konglomerat, atau para artis…” aku menyahut alakadarnya.
“Oooh, pantesan para pejabat banyak yang korupsi, lha wong istrinya suka beli-beli  barang yang harganya gak masuk akal. Jangan-jangan memang itu, ya, Mas, salah satu penyebab terjadinya korupsi. ”
Aku sedikit tergelak, melirik istriku yang masih asyik ngomel sendiri sambil membolak balik halaman majalah bekas itu. Bagaimana mungkin perempuan lugu yang sehari-hari mencuci dan memasak bisa berbicara dan memikirkan hal-hal semacam itu.
“Mas, mas, lihat ini lagi, kalung kayak tasbih begini saja harganya dua ratus lima puluh ribu. Hmm, heran, gitu itu kok ada yang mau beli, ya.”
“Itu namanya fashion, dunia fashion ya begitu itu. Gelamor. Serba mengkilap. Mahal-mahal. Kamu saja yang nggak tahu,” terpaksa aku menimpalinya.
“Emang penting, ya?”
“Ya sebagian wanita, mungkin merasa, fashion, penampilan, itu penting. Para istri pejabat, orang-orang berduit, artis… apa kata orang kalau penampilan mereka acak-acakan sedangkan mereka punya duit.”
“Memangnya penampilan bagus itu harus mahal dan bermerek, ya?”
“Nggak juga sih, tapi kan mereka punya duit. Why not?
Istriku bengong beberapa saat, “Lha iya, begitu itu, waktu mereka beli, yang ada di pikiran mereka apa, ya?”
Aku tak membalas. Cukup tersenyum simpul sambil mengerjapkankan mata dan menarik ujung bibir, lalu kembali pada tuts-tuts di hadapanku.
“Padahal, begitu itu nggak ada yang nanya lho, ‘Ini beli di mana? Ini mereknya apa? Ini harganya berapa?’”
“Ya itu tadi, gengsi,” aku tak tahan untuk tidak membalas ocehannya.
“Edan, edan, harga sepatunya saja lebih banyak dari gaji Mas sebulan,” istriku menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil terus membolak balik majalah bekas itu.
Keadaan menjadi hening beberapa saat. Hanya riuh suara majalah yang dibolak-balik istriku. Setelah hening beberapa jenak itu, istriku kembali memekik dan beristighfar panjang, seperti memergoki setan.
“Astagfirullah…. Apa ini, ediaaan, lihat Mas, lihat. Lihat ini, lihat,” tergopoh-gopoh ia menunjukkan gambar tas kulit berhias manik berlian dengan harga tiga puluh juta.
“Haduuuuh, pingsan aku, pingsaaan. Tas begini harganya tiga puluh juta. Ini beneran apa salah tulis? Duh Gusti kok ada… Tas kok harganya segitu amat. Memangnya itu tas buat wadah apa sih, kok sampai semahal itu? Yang bikin itu loh… orang apa malaikat? Haduh, yang beli ini pasti orangnya guoblok.”
Melihat istriku ngedumel sendiri—marah-marah dengan harga tas di dipikirnya tak masuk akal itu—aku jadi tak kuasa menahan tawa. Tawaku pun akhirnya pecah melihat tingkah dan kata-katanya yang begitu lugu.
“Lho, kenapa Mas malah tertawa. Lihat ini, tiga puluh juta, dan itu uang semua” ia menekankan intonasi suaranya pada kalimat ‘tiga puluh juta’.
“Sudah kubilang, gak usah kaget. Gak lihat gosip, ya? Kemarin ada artis yang punya tas seharga lima ratus juta. Lima ratus juta.”
Gantian istriku yang bengong. Tiba-tiba ia terduduk lemas, seperti djatuhi vonis hukuman mati.
“Gak usah kaget, lagi pula ngapain kamu heboh mikirin harga barang-barang mewah itu. Gak ada manfaatnya buat kita. Memangnya kamu kepingin? Kepingin beli?”
“Iiiih, najis,” sahutnya spontan.
 “Ya udah.”
“Aku cuma mikir, kok bisa ya orang beli barang-barang, tas, baju, sepatu semahal itu. Buat apa, ya?”
“Waduh, kamu tanya lagi buat apa. Sudah, itu urusan mereka, bukan urusan kita.”
“Tapi, duit sebanyak itu, dari pada di hambur-hamburin buat sepatu, yang tempatnya cuma di kaki, ya mendingan di sumbangkan ke orang-orang kere seperti kita ini. Lebih manfaat. Atau mungkin mereka terlalu sibuk belanja dan nggak pernah lihat berita, ratusan anak terserang busung lapar, kekurangan gizi, putus sekolah, jadi gelandangan, bayi-bayi dibuang di tempat sampah, dan itu semua, kebanyakan, terjadi karena desakkan ekonomi, alias gak punya duit.”
Aku terdiam menyimak istriku menyampaikan berita sekilasnya.
“Aku jadi geregetan,” lanjutnya lagi, “Gila, gila, penjual gorengan di pinggir sana menunggu dagangannya sampai siang, sampai terkantuk-kantuk untuk uang lima ratus perak, sementara para istri bejabat membuang uang jutaan rupiah hanya untuk sepatu sepatu yang ditempatkan di kaki. Lucu, lucu.”
Aku mendongakkan kepala memerhatikan wajah istriku yang bersungut-sungut. Pemikirannya kali ini memang cukup realistis.
“Sudah, kamu ngomel-ngomel di sini juga nggak ada artinya,” iseng-iseng aku menimpali.
“Bagimana nggak ngomel-ngomel, melihat sepatu lebih berharga dari pada nyawa.”
“Maksudnya?”
“Ya sepatu, tas, yang harganya jutaan rupiah itu. Itu kan sama saja lebih berharga daripada nyawa. Nyawa anak-anak yang terkena busung lapar itu. Nyawa orang-orang miskin yang mati karena tak bisa beli obat. Bagimana bisa beli makanan bergizi, beli obat, wong duitnya sudah dibelikan sepatu, tas, sama istri para koruptor itu. ”
“Sudah, nggak usah ngedumel sendiri. Aspirasimu itu sudah basi, sudah klise.”
“Tetep saja saya heran, jengkel, apa mereka itu sudah pada buta, ya?”
“Hus!”
“Apanya yang tidak buta. Setiap hari ada saja berita miris di tivi, dan mereka, yang katanya pelayan rakyat, wakil rakyat, masih saja sempat berbelanja. Bahkan kadang-kadang berlibur ke luar negeri. Iya, tho?
“Ya, sudah, kamu jadi presiden sana. Nanti bikin aturan, setiap pejabat, atau keluarga pejabat, tak boleh beli barang mahal. Mereka harus menyisihkan gaji mereka buat rakyat. Mobil dinasnya juga gak usah yang mewah, kalau perlu satu mobil buat rombongan saja. Bla bla bla bla bla…”
Istriku masih bersungut-sungut. Aku tak tahu kalau ia bisa menjadi sejengkel itu gara-gara harga sepatu dan harga tas di majalah bekas. Aku jadi berpikir bahwa sebenarnya, istriku ini memang punya bakat jadi seorang pemimpin yang baik, paling tidak jadi ibu rumah tangga yang baik, yang bisa mengurus keuangan keluarga dengan baik. Tidak boros. Tidak suka menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Diam-diam aku bangga padanya.
“Mas kenapa? Kok cengar-cengir.”
“Nggak papa.”
Dan ia kembali menekuni majalah bekasnya. Selama berumah tangga, istriku memang tak pernah minta macam-macam. Tak seperti ibu-ibu arisan yang selalu kepingin tiap lihat piring dan gelas cantik, yang selalu gatal lihat daster kinyis-kinyis, yang selalu mendelik lihat kalung blink-blink.
“Mas, Mas?”
“Ya?”
“Mas kan penulis?”
“Terus?”
“Tulis dong! Ide kayak gini ini kan cukup bagus untuk ditulis.”
“Ide yang mana maksudmu?”
“Ya ini, tentang sepatu dan tas yang lebih berharga daripada nyawa manusia.”
“Isu sosial semacam itu sudah sangat klise buat ditulis. Dan itu tidak bisa mengubah apapun.”
“Ya setidaknya, kalau kita tidak bisa mengubah keadaan sosial yang salah kaprah ini, paling tidak kita tidak membenarkannya,” istriku kembali menekuni majalah bekasnya.
“Aku tidak membenarkan.”
“Tapi apa yang sudah Mas lalukan sebagai penulis, orang yang berhubungan langsung dengan publik, pembaca, khalayak luas. Apa ada sesuatu yang sudah Mas ubah menjadi lebih baik lewat tulisan-tulisan Mas itu.”
“Lho kok jadi saya yang kena semprot.”
“Ya, Mas kan penulis. Tulis dong isu-isu yang begini. Jangan cuma kisah cinta melulu yang ditulis. Setidaknya Mas ikut menolak kondisi sosial yang jungkir balik semacam ini, meski lewat tulisan.”
Serta-merta mulutku tercekat, tak bisa membalas kata-katanya. Jari-jemariku pun turut kaku. Silih aku yang tercenung.***
Malang, September 2012

Perempuan yang Terbaring Dalam Lukisan, FEMINA, Edisi 37 (22-28 September 2012)


Perempuan itu terbaring lemas di atas ranjangnya. Berbuntal selimut. Wajahnya samar seperti bulan pucat di pagi hari. Beberapa meter di hadapannya, seorang lelaki tengah terduduk di depan kanvas. Tangannya bergerak lembut kesana-kemari. Menorehkan sesuatu di muka kanvas.
“Serius sekali,” perempuan itu bertutur dengan suara serak dan sedikit kering.
“Sssttt… Jangan bergerak. Aku sedang melukis bidadari,” balas lelaki itu dengan sesimpul senyum. Pandangannya berlompatan. Dari perempuan yang terbaring di atas ranjang ke kanvas. Dari kanvas ke perempuan yang terbaring di atas ranjang. Bergantian.
“Sudah, hentikan! Aku sudah bilang, aku tak mau dilukis,” perempuan itu berusaha bangkit dari ranjangnya. Tampak berat. Lekas-lekas lelaki di hadapanya melesat ke ranjang dan membantunya duduk.
“Apa kau ingin minum? Biar kuambilkan,” lelaki itu merapikan bantal untuk sandaran.
“Aku tak mau dilukis,” rajuknya lagi.
“Ayolah! Difoto tak mau, dilukis juga tak mau. Lalu apa yang kau sisakan untukku?”
Perempuan itu terbatuk-batuk, “Kalau ada yang asli, kenapa musti difoto atau dilukis?”
Lelaki itu menunduk beberapa saat dan menatap wajah pucat di hadapannya, “Jadi, kau benar-benar tak mau dilukis?”
“Cukup kau lukis aku dalam ingatanmu saja,” balas perempuan itu singkat.
Lelaki itu menarik ujung bibirnya, tapi tidak membentuk senyum.
***
Perempuan itu benar-benar keras kepala. Apakah dipikirnya ingatanku ini akan tetap utuh dan tak bakal terhapus. Kalau nanti aku beranjak tua dan kemudian pikun bagaimana? Lihatlah! Ia masih saja tersenyum di ranjangnya, seperti gadis kecil yang tak berdosa. Sementara di sini, ada lelaki yang jiwanya mumur, selalu menangis sembunyi-sembunyi.
             Dokter memang tak mengatakan bahwa umurnya tak lagi panjang, dokter hanya mengatakan, bahwa perempuan itu butuh sebuah mukjizat. Hanya mukjizat.
            “Apa kau marah, karena aku melarangmu melukisku?” perempuan itu menatap tajam ke arahku. Aku balas menatapnya. Melihat raut wajahnya yang gersang, membuatku bungkam.
            “Kau benar-benar marah, ya?” perempuan itu mengulang pertanyaanya.
            “Aku hanya tak tahu harus bagaimana,” balasku lirih.
            “Apa kau takut kalau aku mati?” ia melemparkan pertanyaan bodoh itu lagi.
            “Memangnya siapa yang akan mati?”
            “Kupikir, penjelasan dokter sudah cukup mewakili.”
            “Dokter bukan Tuhan yang bisa memutuskan siapa hidup siapa mati.”
“Tapi dokter punya ilmunya.”
Aku tak mau meneruskan percakapan tajam yang seperti belati ini. Aku beranjak keluar kamar, meninggalkannya seorang diri.
***
            Kamar sepi. Kanvas itu teronggok di sudut ruang, kuas dan cat yang bersisa hampir mengering. Di muka kanvas putih itu, tampak sketsa wajah berupa arsiran garis-garis tipis, membentuk raut muka, mata, hidung, bibir, juga rambut yang tergerai. Perempuan itu terdiam di atas ranjang. Terduduk. Menunduk. Dari ranjang tempatnya duduk, ia melirik lukisan itu dan tersenyum. Apakah aku secantik itu, ia membatin.
            Sejurus, ia membaringkan tubuhnya kembali. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih jernih. Ia paham seribu kali, jika akhir-akhir ini suaminya bersikap seperti itu. Apapun dan bagaimanapun, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap tersenyum. Jika redam itu tiba-tiba datang ia akan menengadahkan kepala dan bergumam ‘aku cukup bahagia’.
            Memang, beberapa bulan lalu, ketika dokter mengatakan, bahwa dalam sel darahnya terdapat leukosit yang membabi buta, ia cukup shock. Kata dokter, sudah terlambat, untuk dapat bertahan ia hanya butuh sebuah mukjizat. Hanya mukjizat. Mukjizat? Ia sendiri sebenarnya ngeri, sebab itulah ia tak pernah berani bertanya  pada dokter mengenai sisa usianya. Biar Tuhan saja yang memutuskan. Dan benar, setelah menyerahkan semua pada Tuhan, hatinya bisa sedikit lega. Jika Tuhan mengehendaki ia sembuh, mengapa tidak. Memangnya apa yang bisa dilakukan manusia?
            Lapang sudah hatinya menerima apa-apa yang bakal terjadi. Hanya saja, suaminya, tampak seperti manusia yang tak pernah siap kehilangan sesuatu. Ia memaklumi itu. Ditinggalkan memang sebuah keadaan yang cukup sulit, lebih sulit daripada meninggalkan. Lebih sakit. Maka, pelan-perlahan, ia ingin suaminya belajar menerima, berlapang dada, dengan sebuah cara: tersenyum. Ia berjanji akan mengajarkan suaminya untuk tetap tersenyum.  Di setiap keadaan. Lihatlah! Perempuan itu benar-benar tersenyum.
***
            Aku tak tahu, apakah orang yang mau mati memang sering bertingkah gila. Lihatlah! Perempuan itu tersenyum-senyum sediri di atas ranjangnya. Bahkan, ketika aku memasuki kamar itu dengan wajah batu, senyumnya masih belum putus.
            “Apa kau cukup bahagia?”
            “Aku tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Tapi jika kau mau tahu, apa yang bisa membuatku sedih, jawabannya adalah melihatmu sedih. Jadi, apa sekarang kau mau tersenyum?”
            Entah dari mana perempuan itu punya cara, tuturnya selalu bisa membuatku menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.
“Aku tak memintamu tertawa, aku hanya memintamu tersenyum,” ia merajuk lagi.
Aku bungkam, meski akhirnya tersenyum.
“Karena kau sudah tersenyum sekarang kau boleh melukisku.” Perempuan itu memiringkan tubuhnya. Setengah duduk. Ia tersenyum manis. Sangat manis.
“Ayo! Bukankah kau ingin sekali melukisku? Ayo! Sebelum aku berubah pikiran.”
Apa kataku, orang yang ajalnya sudah dekat memang suka bertingkah gila. Beberapa jam lalu ia melarangku melukisnya, sekarang malah memaksaku untuk melukisnya. Aku bangkit perlahan. Mengambil kanvas yang tersandar di dinding, berikut cat dan kuasnya.
“Apa kau keberatan jika aku merebahkan tubuh?” perempuan itu bergeser dari posisinya semula.
“Carilah posisi yang paling nyaman. Sebenarnya yang kubutuhkan hanya izinmu. Bukankah katamu, aku cukup melukismu dalam ingatanku saja. Itu sudah lama sekali kulakukan. Jadi, bagaimanapun posisimu, duduk, berdiri, rebah, atau tengkurap sekalipun, aku tak mungkin keliru melukis wajahmu.”
Perempuan itu merebahkan tubuhnya perlahan, tersenyum dan terbatuk-batuk agak dalam, lalu terpejam.
***
            Lelaki itu masih menorehkan kuasnya di atas kanvas. Detak jarum jam terus mengerang. Jarum-jarumnya seperti berputar cepat sekali. Tak henti-henti. Serta-merta, kamar itu menjadi sunyi. Sangat sunyi. Dan tangan lelaki itu masih saja menari-nari di atas kanvas. Ia masih terus melukis dan melukis. Tak habis-habis. Degup di dadanya berdesiran. Kuas di tangannya gemetaran. Air di matanya berleleran.  Perempuan di hadapannya telah terpejam lama sekali. Tiada gerak. Tiada bunyi. Sepi. Tak hendak bangun lagi.***
Malang, 11 Juni 2012