Debu Debu Tuhan, REPUBLIKA, Minggu, 4 Mei 2014


“Itu salju, ya?” gadis kecil itu bertanya pada ibunya.
Ibunya tidak menjawab, dan malah ikut membayangkan bahwa debu-debu yang menuakan daun-daun dan memucatkan atap-atap itu adalah salju. Sang ibu seperti terhenyak dari lamunannya ketika disadarinya bahwa langit terlampau kelabu bahkan untuk ukuran langit bersalju. Gadis kecil itu, atau pun ibunya memang belum pernah melihat salju secara langsung, kecuali dari film-film kartun atau drama korea yang ada di tivi.
“Itu debu-debu Tuhan,” balas ibunya tiba-tiba, setelah beberapa lama.
“Debu-debu Tuhan?”
“Iya, debu-debu Tuhan.”
“Ibu bohong, katanya debu-debu itu datang dari gunung.”
“Kalau begitu kenapa kau bertanya, ‘itu salju, ya?’”
“Soalnya debunya memang mirip salju di film Barbie.”
“Tapi tetap saja itu debu, dan bukan salju.”
“Apakah itu benar debu-debu Tuhan?”
“Iya, itu debu-debu Tuhan.”
“Mengapa debu-debu Tuhan datang dari gunung? Apa Tuhan berada di gunung?”
“Tuhan bisa berada di mana saja Dia mau. Lagi pula gunung milik Tuhan juga, kan?”
Keduanya terdiam, memicing, menatap langit yang mengucurkan debu-debu tipis. Sudah beberapa hari orang-orang tinggal di rumah yang bukan rumah mereka. Orang-orang tinggal di rumah yang sama. Sempit dan berdesak-desakkan seperti di tempat pelelangan ikan. Orang-orang begitu riuh dengan percakapan-percakapan, dengan keluhan-keluhan. Sementara bayi-bayi begitu gaduh dengan rengekan-rengekan. Dan perempuan itu memilih menunggu kedatangan suaminya, dengan duduk di teras paling tepi, dengan putrinya yang baru masuk SD, yang begitu suka bertanya macam-macam, seperti mesin penanya.
“Mengapa kita memakai ini?” gadis kecil itu bertanya lagi.
“Itu masker,” jawab ibunya datar.
“Masker?”
“Iya, supaya kita tidak sesak napas karena debu-debu itu.”
Gadis kecil itu terdiam sejenak dan berujar lagi, “Tapi itu kan debu-debu Tuhan. Kata ibu Tuhan menyayangi kita. Lalu mengapa debu-debu Tuhan bisa membuat kita sesak napas?”
Perempuan itu menoleh ke putrinya yang menembakkan matanya tepat ke matanya, memohon jawaban. Mengapa anak-anak kecil selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit lagi mencemaskan. Perempuan itu berpaling dan kembali menatap langit yang terlampau kelabu. Kepala cemasnya berusaha menemukan jawaban.
“Tuhan menyayangi kita, karena itu Dia menurunkan debu-debuNya yang bisa membuat kita sesak napas.”
“Debu-debu Tuhan juga mengotori rumah-rumah dan jalan-jalan, padahal, kata Bu Guru, Tuhan suka kebersihan. Ini benar-benar aneh.”
Perempuan itu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, mengapa pula bocah-bocah kecil zaman sekarang pandai sekali berkomentar layaknya orang dewasa. Apa ia terlalu sering menonton Barbie dan Spongebob?
“Ya, itu tadi, karena Tuhan menyayangi kita,” perempuan itu menjawab juga, “menyayangi tak berarti memanjakan, atau selalu membuatmu senang. Kamu ingat waktu ibu menghukummu tinggal di rumah sendirian karena kamu tak mau pergi ke sekolah?”
Gadis kecil itu mengangguk.
“Itu artinya ibu ingin kamu belajar menjadi lebih baik. Jika ibu terus membiarkanmu malas pergi ke sekolah, maka kamu akan ketinggalan pelajaran, kalau kamu ketinggalan pelajaran, maka kamu akan rugi, dan kamu tidak akan naik kelas. Ibu tak mau kamu rugi, apalagi tidak naik kelas. Makanya ibu melakukan itu, dan itu karena ibu menyangimu.”
Gadis itu terlongok menatap ibunya sebentar dan kembali menekuni langit kelabu di kejauhan. “Jadi Tuhan menghukum kita?” tanyanya kemudian.
“Tuhan hanya ingin kita belajar,” jawab ibunya singkat.
Mereka terdiam agak lama. Gadis kecil itu menggambar matahari cemberut di atas lantai teras yang diselimuti debu-debu tipis dengan jemari mungilnya.
“Mengapa kita harus pergi dari rumah dan tidur beramai-ramai di sini?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya lagi.
“Kampung kita tidak aman, makanya, untuk sementara waktu kita harus tinggal di sini,” jawab ibunya.
“Tapi mengapa sekarang Ayah masih tinggal di rumah? Bukankah di rumah tidak aman?”
“Ayahmu harus memberi makan ternak dan menjaga rumah supaya tidak dimasuki pencuri.”
“Apa ayah akan kembali ke sini bersama kita?”
“Pasti.”
“Kapan?”
“Segera. Kalau semuanya sudah aman.”
“Kalau ayah tidak datang juga bagaimana?”
“Mmm… mungkin ibu harus menjemputnya.”
Gadis kecil itu terdiam dan mendadak murung. Ia menghapus gambar matahari cemberut di atas lantai yang berdebu itu dan menggantinya dengan gambar matahari menangis.
Sejatinya, perempuan itu begitu cemas menunggu suaminya kembali. Sudah sejak sehari yang lalu suaminya pamit pulang untuk menyelesaikan segala urusan rumah supaya lebih tenang saat ditinggal ke pengungsian. Namun sampai sekarang suaminya belum juga kembali.
“Apa kamu janji tidak akan nakal kalau nanti kamu ibu tinggal sebentar balik ke rumah untuk menjemput ayahmu?” silih perempuan bertanya.
“Mengapa aku tidak boleh ikut?” gadis kecil itu balik bertanya dengan nada murung.
“Bukankah sudah ibu bilang, di rumah tidak aman. Kalau tidak untuk menjemput ayahmu, ibu juga tidak akan balik ke rumah.”
Gadis kecil itu tertunduk, kini ia menghapus gambar matahari menangis dan silih menggambar bintang, bintang yang menangis.
“Ibu hanya sebentar, ibu janji, sebelum langit gelap, ibu sudah kembali ke sini bersama ayahmu.”
Gadis kecil itu melongok ke ibunya dan mengangguk berat.
Setelah beberapa jenak, perempuan itu beranjak dari duduknya dan berbincang lirih dengan salah seorang tetangganya yang juga sama-sama cemas. Beberapa saat kemudian, setelah mengecup kening bocah kecil itu, perempuan itu pergi dengan payung hitam yang dimekarkan di atas kepala, dan perempuan itu pun berjalan menjauh dari rumah pengungsian. Bocah kecil itu terus mengawasi ibunya sampai sosok remang itu hilang ditelan remang yang lebih remang di kejauhan.
***
Selama ibunya pergi, gadis kecil itu hanya terduduk di lantai teras paling tepi. Ia terus menggambar apa saja di atas lantai yang diselimuti debu-debu tipis itu. Ia tak bisa memikirkan hal lain kecuali ayah dan ibunya yang harus berjalan melewati debu-debu yang terus mengucur seperti tak ada habisnya itu. Ia membayangkan tubuh ayah dan ibunya memutih berselimutkan debu-debu Tuhan itu.
Jelang petang, gadis kecil itu menjadi sedikit cemas karena ayah dan ibunya tak kunjung datang. Ketika petang merembang, gadis kecil itu mulai menangis. Ia terus berdiri di teras paling tepi dan terus menatap ke depan. Beberapa tetangga dan relawan sudah membujuknya untuk diam dan menunggu ibunya sambil bermain atau tidur-tiduran, tapi tidak berhasil. Gadis kecil itu terus tergugu di antara keriuhan orang-orang, di anatara keluh-kesah dan rengekan-rengekan balita. Seorang relawan menawarinya semangkuk mie instan, meski ia lapar, ia tetap tak menggubris. Ia masih saja berdiri di teras paling tepi dan terus menatap ke depan.
Di sisi lampu jalan yang pucat, debu-debu tipis masih tampak beterbangan dari ketinggian. Beberapa pohon terlihat merunduk seperti merajuk. Mendadak, gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah dan ibunya sangat kelelahan karena debu-debu Tuhan itu terus menerus mengguyur mereka, mengguyur rumah-rumah, mengguyur jalan-jalan dan pohon-pohon. Gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah dan ibunya sudah tertidur pulas berselimutkan debu-debu Tuhan dan melupakannya sendirian.
Gadis kecil itu menjadi semakin cemas dan ingin pulang menyusul ayah dan ibunya yang tak kunjung datang. Bukankah Tuhan selalu baik pada siapapun. Apakah debu-debu Tuhan ini mau mengantarku pulang, pikirnya. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, orang-orang sudah pada tertidur, beberapa yang lain bergerumbul bermain catur, sisanya yang lain berbincang-bincang rendah di antara keremangan lampu. Tak seorangpun tampak memedulikannya.
Diam-diam, dengan isakan lirih, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke depan dan terus berjalan, berjalan dan terus ke depan, menembus debu-debu Tuhan.***
Malang, 2014

0 komentar: