Di Antara Dua Pohon Angsana (Koran Tribun Jabar, Minggu, 22 Februari 2015)


Budhe baru saja meninggal, dan rumahnya yang memiliki halaman luas itu akan segera kosong—dikosongkan, lantaran Budhe tak punya anak ataupun pewaris yang sudi menempati rumah itu. Rumah kuno beratap limas itu akan segera menjadi rumah tak berpenghuni, lalu anak-anak kecil di kampung akan segera menyebutnya sebagai rumah hantu dan berlari terbirit ketika melewati halamannya di petang hari.
Dulu, sewaktu kecil, aku sering bermain di halaman rumah Budhe yang luas itu. Di sana tumbuh dua pohon Angsana yang menjulang dan berjajar secara simetris, di sebelah kiri dan sebelah kanan, hanya bersela beberapa meter saja. Bunga-bunganya yang berwarna kuning menyala dan beraroma jeruk itu, membuat anak-anak betah bermain di bawahnya. Sewaktu kecil, aku suka membayangkan bahwa dua pohon itu adalah sepasang kekasih yang dikutuk menjadi pohon karena mereka terlalu mesra. Sebuah khayalan tak berdasar yang muncul begitu saja dalam kepala mungil anak yang suka berkhayal.
Sampai sekarang, pohon itu masih utuh dan semakin menjulang. Tubuh pohon itu semakin kekar. Dahan dan cabangnya bersilang sengkarut bagai tangan-tangan yang melambai dan saling berpegangan. Dan di antara dua pohon itulah, tumbuh sebuah kisah miris tentang seorang gadis kecil yang terlunta-lunta, dan seiring waktu, kisah miris itu telah menjulang menjadi pohon baru yang mengakar-batang dalam ingatanku. Tak tertumbangkan.
Aku tak mengenal gadis kecil itu dan aku tak pernah ingin mengenalnya. Kami hanya kerap bertemu di halaman rumah Budhe, ketika ia menjajakan pecel dan opak singkongnya. Budhe suka meneriaki gadis kecil itu untuk mampir ke beranda rumahnya bila ia tampak lewat di halaman. Biasanya Budhe membeli dua sampai tiga pincuk pecel dan sebungkus opak singkong darinya. Kadang-kadang Budhe juga mentraktir kami—anak-anak yang bermain di halaman rumahnya, sebungkus opak singkong untuk bersama.
Aku pernah mencicipi pecel yang dibeli Budhe dari gadis kecil itu, dan rasanya sangat tidak enak, selain kasar lumatannya, bumbu kacangnya juga terlampau asin dan pedas. Budhe sendiri jarang menghabiskan pecel yang dibelinya, Budhe hanya meletakkan pincuk-pincuk pecel itu di meja makan, bila seharian tak ada yang menyentuhnya, Budhe akan melempar pecel yang hampir basi itu ke kandang ayam di belakang rumah.
Aku pernah bertanya pada Budhe, “Pecel itu jarang dimakan, tapi mengapa Budhe selalu membelinya, hampir setiap hari?”
Dan Budhe hanya tersenyum, lantas mulai bercerita perihal gadis kecil itu...
Gadis kecil itu namanya Maryam, ia bocah yatim piatu—bapak ibunya sudah meninggal. Ia dibesarkan oleh Bibinya, yang memiliki warung pecel di pojok pasar. Tapi begitulah, kata Budhe, Bibiya itu  adalah seorang perempuan yang judes, suka membentak dan menyuruh-nyuruh Maryam. Orang-orang satu pasar tahu semua.
Maryam berjalan keliling kampung, menjajakan pecel dan opak singkong itu, tidak lain juga karena suruhan Bibinya. Maryam berjualan sepulang sekolah sampai terkadang menjelang maghrib. Jika pecel dan opak singkongnya tidak laku, Bibinya akan marah-marah dan terkadang memukulnya. Suatu petang, Budhe pernah mendapati Maryam menangis sesenggukan di bawah pohon angsana di depan rumahnya. Ketika ditanya, Maryam bilang, bahwa ia tak berani pulang, karena pecel dan opak singkong yang dibawanya masih utuh.
Petang itu Budhe mengantar Maryam pulang setelah membeli separuh pecel dan beberapa bungkus opak singkong. Ketika Budhe mengantar Maryam pulang, Budhe bilang ke Bibinya, supaya Maryam tidak usah dimarahi. Tapi begitulah, baru beberapa langkah Budhe meninggalkan rumah itu, Budhe sudah mendengar Maryam menangis menjerit-jerit. Dan semenjak itulah, Budhe selalu membeli pecel dan opak singkong yang dijajakan Maryam, meski Budhe tak pernah memakannya.
Setelah mendengar cerita dari Budhe, aku merasa sangat kasihan kepada Maryam, hingga seringkali aku membujuk teman-teman untuk urunan membeli sebungkus opak singkong dari Maryam.
Meski kami sudah sering bertemu dan berpapasan, namun aku belum pernah berbicara dengannya. Maryam memang sangat pendiam. Senyumannya pun tampak mahal. Ia hanya akan tersenyum jika ada orang yang memanggilnya dan kemudian membeli pecel atau opak singkongnya. Kukira ia pernah dimarahi Bibinya lantaran tidak pernah tersenyum pada pelanggan, dan mungkin semenjak itu ia menjadi murah senyum pada setiap pelanggan—hanya pelanggan.
Suatu hari, ketika aku tengah bermain sepak bola bersama beberapa teman di halaman rumah Budhe, aku telah membuat kesalahan paling fatal yang tak pernah bisa kulupakan seumur hidup. Ketika tengah asik bermain sepak bola, aku melihat Maryam mengendap-endap di balik pohon angsana, ia hendak lewat tapi ragu lantaran di hadapannya beberapa bocah lelaki beringas tengah terengah-engah mengejar bola tanpa peduli pada apapun.
 Ketika aku mendapatkan bola itu, aku segera menendangnya kuat-kuat ke arah gawang (sela di antara dua pohon angsana itulah yang kami jadikan gawang), dengan sangat cepat bola itu meluncur ke sisian gawang dan menghantam bakul wadah pecel yang dipanggul Maryam. Seketika bakul wadah pecel itu pun menggelinding ke tanah, sayur dan bumbu pecel pun jatuh berserakan berbaur dengan tanah. Seketika itu kami semua terdiam. Sementara bola masih saja menggelinding ke luar halaman dan masuk ke dalam got.
Aku masih saja terdiam ketika Maryam menangis sesenggukan sambil memunguti sayuran yang sudah ruah bercampur tanah itu ke dalam bakulnya. Kami tak membantunya sama sekali. Kami hanya bengong menontonnya. Setelah Maryam membereskan barang dagangannya yang kacau, ia pulang dengan punggung terguncang-guncang. Kami semua hanya meniliknya dari belakang. Beberapa saat kemudian teman-teman menudingkan jari mereka ke arahku, semua menyalahkan aku. Detik itu aku hampir menangis, tapi kutahan. Aku sangat menyesal karena hari itu Budhe sedang pengajian dan tak pulang-pulang. Ketika semua teman-temanku balik ke rumah mereka masing-masing, baru aku berjalan lesu mengambil bola yang menggelinding ke got itu dan langsung pulang.
Aku pulang dengan wajah merah. Bahkan ketika ibu bertanya apa yang sudah terjadi, aku tak berani menjawabnya. Seharian itu aku terus dihantui rasa bersalah, aku terus memikirkan bagaimana nasib Maryam. Hingga esok harinya, ketika aku bermain kelereng di halaman rumah Budhe bersama beberapa teman, aku mendapati Maryam mengendap-endap lagi dari balik pohon angsana. Mungkin ia marah padaku. Mungkin ia takut padaku. Aku pura-pura tak melihatnya. Sejurus kemudian, kudengar suara Budhe melengking memanggilnya, Maryam segera bergegas menuju beranda rumah Bude, melewati kami, beberapa bocah lelaki yang hanya bisa menunduk dan berpura-pura sibuk membidik kelereng-kelereng mereka.
Ketika Maryam berlalu, aku meliriknya sekilas, dan dengan sangat jelas aku bisa melihat warna biru lebam di pelipisnya hingga membuat matannya sedikit menyipit. Melihat itu dadaku berdenyar cepat sekali. Seperti takut. Seperti dosa. Seperti menciut. Seperti lara. Aku pura-pura tak melihat apa pun.
Dari kejauhan, aku melihat Budhe tengah berbincang dengan Maryam, sesekali Budhe mengelus rambut Maryam. Ketika mereka memalingkan wajah ke arahku, serta merta aku kembali menunduk menekuni kelereng-kelereng di hadapanku. Setelah Maryam berlalu dari beranda rumah Budhe, Budhe melambaikan tangan ke arahku. Aku mendatangi Budhe dengan langkah gemetar dan ragu-ragu. Budhe mananyaiku ini-itu, dan aku malah menangis. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutku adalah, “Aku tidak sengaja, sungguh aku tidak sengaja!”
  Budhe tidak menyalahkan aku, Budhe hanya menyesalkan diri Maryam yang lebam karena dipukuli Bibinya. Bagaimana pun aku tetap merasa bersalah. Sangat bersalah. Dan kesalahan itu rupanya tak pernah bisa kutebus sampai sekarang.
Setelah peristiwa itu, pada hari-hari berikutnya, aku tak pernah berani menunjukkan muka di hadapan Maryam. Jadi, ketika Maryam memasuki halaman rumah Budhe, aku memilih untuk bersembunyi di balik pohon angsana sebelah kanan, sementara Maryam, ketika ia mulai mendekati pohon angsana sebelah kiri, ia pun mulai memperlambat langkahnya. Dari balik pohon angsana sebelah kanan, aku mengintip Maryam yang mulai mengendap-endap, menelisik bocah-bocah yang bermain di hadapannya. Setelah tidak mendapatiku di sana, Maryam akan berlalu dengan tenang.
Jadi begitulah, aku dan Maryam seperti bermain kucing-kucingan di antara dua pohon angsana di halaman rumah Budhe. Lambat laun, aku merasa bahwa yang kulakukan selama ini—bersembunyi di balik pohon angsana, adalah salah satu hal konyol yang pernah ada. Mungkin Maryam juga berpikir begitu. Namun, mungkin juga tidak. Karena sampai beranjak usia remaja, Maryam masih tetap gadis yang tertutup dan pendiam. Ia seperti seorang gadis yang hidupnya sudah terlampau kelam, tanpa cahaya, sehingga ia lebih memilih untuk menenggelamkan dirinya lebih dalam lagi ketimbang membuka pintu untuk dunia luar. Entahlah, kupikir tak seorang pun tahu apa yang dipikirkan Maryam.
Begitulah, dalam kepalaku, kehidupan Maryam tak ubahnya sebuah semak di belantara kehidupan yang begitu luas tak beranah tepi. Hingga beberapa tahun lalu (ketika Budhe masih hidup), Budhe berkabar bahwa kami tak akan bisa menjumpai Maryam lagi. Karena Maryam sudah pergi menjadi TKW keluar negeri, dan meninggal di sana karena sakit—beberapa kabar mengatakan ia meninggal karena disiksa majikkannya. Ketika Budhe menyampaikan kabar itu, jenazah Maryam yang penuh lebam baru saja dipulangakan. Dan Bibinya tidak menangis, melainkan menggerutu, karena harus mengeluarkan banyak uang untuk mengurusi jenazah dan pemakaman Maryam.***
Malang, Juni 2013

3 komentar:

Bismillah... mengatakan...

Hiks, meskipun saya tidak merasa ingin kisah hidup seperti itu terbaca, tetapi begitulah kebanyakan kehidupan yang terpampang nyata. Your story has touched my heart.. :)

Mashdarzainal.blogspot.com mengatakan...

Thanks, sudah mampir. Semoga mencerahkan... :)

Ansar Siri mengatakan...

Hal ini banyak terjadi, Bang.