Dongeng Sarwito, Radar Surabaya, Minggu, 5 Januari 2014


Stasiun Kota Baru diguyur gerimis, senja itu. Sedikit berangin. Aku duduk tercenung seorang diri di kursi tunggu penumpang, menunggu kedatangan kereta dari Surabaya. Tujuh Flamboyan raksasa berjajar di sepanjang tepian stasiun. Kelopak-kelopak merah menyala itu berterbang ke mana-mana. Larung terbawa angin dan menari di udara. Rebah di teras stasiun dan terinjak-injak kaki yang tergesa. Tersangkut tubuh kereta yang tengah melaju. Berserakan di bawah bantalan rel kereta. Seperti potongan cinta yang membara, yang bersembunyi di balik sosok-sosok yang kumal.
Aku masih tercenung di kursi tunggu penumpang. Memeluk tas butut berisi pakaian kumal. Melamunkan entah.
Di kursi yang lain, beberapa orang tampak saling berbincang. Sesekali peluit bertiup panjang. Jam kereta ekskutif menuju Jakarta selalu datang tepat waktu. Tak seperti kereta ekonomi yang selalu berhenti lama di stasiun-stasiun kecil, lantaran selalu dikalahkan oleh kereta-kereta ekskutif yang harganya hampir lima kali lipat dari kereta biasa. Tapi aku suka jika kereta ekonomi menuju Jakarta datang terlambat. Karena aku bisa berlama-lama menakjubi keindahan stasiun Kota Baru—yang menurutku—selalu beraroma cinta.
Di kursi tunggu penumpang, tempatku duduk itulah, aku bertemu Sarwito. Lelaki aneh yang mengenakan pakaian kusut kedodoran, yang dongengnya selalu ingin kembali kudongengkan pada setiap orang yang kutemui. Lelaki krempeng itu menyapaku seolah-olah kami sudah sangat karib. Ia menepuk-nepuk pundakku, beberapa kali, seraya bertanya kabar.
“Kau makin gemuk saja, sudah lupa, ya. Saya Sarwito, kita bertemu di Gubeng beberapa bulan lalu,” katanya.
Tentu saja aku ling-lung, menerka-nerka, benarkah ingatanku sudah sangat buruk sehingga tak bisa mengingat kembali wajah-wajah orang yang pernah kukenal.
“Sarwito?” barangkali alisku bertaut menjadi satu lantaran aku tak yakin pernah mengenal orang itu sebelumnya.
“Iya, Sarwito, si juru dongeng. Bukankah waktu itu kau semangat sekali mendengar dongeng-dongengku,” lelaki berpawakan antik itu kian mengada-ada. Maka, aku segera menyimpulkan, bahwa ia hanya orang gila yang butuh banyak bicara.
“Dongeng?” ekspresiku masih sama.
“Apa kau ingin mendengarnya lagi? Dongeng-dongeng yang lain, maksudku. Aku masih punya banyak dongeng.”
Aku tidak menyahut. Melemparkan pandangan ke rerimbun Flamboyan yang begitu memesona, berbeda sekali dengan lelaki butut di sebelahku. Melihatku tidak menggubrisnya, ia ikut-ikut melemparkan pandangan ke arah yang sama. Tapi bibirnya juga mulai menyerocos.
“Kau pernah mendengar cerita tentang sebuah keluarga di pedalaman Jepang? Keluarga ini aneh sekali. Terutama ibunya.”
Aku tak berniat mendengar ocehannya, tapi suaranya yang parau itu seperti pengantri tiket kereta, terus berdesak-desakkan, menerobos telingaku.
“Keluarga itu tidak lengkap. Dan tidak bahagia. Hanya ada satu ibu dan tiga anak lelakinya yang kembar.”
Aku hampir saja bertanya, bapaknya ke mana? Tapi aku tak ingin ketularan gila, jadi aku tetap bersikap seolah tidak menggubrisnya.
“Bapaknya tewas terbakar matahari ketika tengah memanen buah aprikot di ladang majikannya.”
“Buah apa?”
“Aprikot.”
“Buah apa itu?”
“Ya buah beneran. Di Indonesia nggak ada buah aprikot, adanya di asia timur sana. Buahnya bulet-bulet mirip sawo, dan rasanya manis sedikit asam.”
“Ooo…”
Ia diam agak lama sebelum mengatakan, “Kau ada cerutu?”
Aku menggeleng, “Permen ada.”
“Sini, permen juga tidak apa-apa. Aku tak bisa meneruskan cerita kalau mulutku kering. Oh ya, sampai mana tadi ceritaku?”
“Bapaknya tewas terbakar matahari,” sahutku spontan.
Aku berharap kereta menuju Jakarta segera datang, sehingga aku tak perlu berlama-lama menjadi korban cericit lelaki aneh bernama Sarwito itu.
“Bapaknya tewas terbakar matahari, sampai hangus. Anehnya, para pekerja lain, termasuk buah-buah aprikot yang ada di ladang itu utuh, tidak tersentuh, malah kian segar. Sejak itu istrinya menganggap matahari punya dendam terhadap dirinya, keluarganya. Hatta ia memutuskan, bahwa matahari akan menjadi seterunya, sampai akhir hayatnya.” Ceritanya semakin aneh, tapi, rasanya, aku semakin tertarik.
“Sejak kejadian itu, sang ibu melarang anak-anaknya keluar rumah di siang hari, ‘Ibu mengharamkan kalian membuka tirai jendela, apalagi daun pintu,’ kata sang ibu, ‘kalian harus tahu, bahwa matahari adalah raksasa yang kejam yang telah menelan bapak kalian dengan lidahnya yang berkobar. Jadi, selama matahari berpijar, kalian tak boleh keluar rumah. Kalian harus tetap berada di dalam rumah. Kecuali kalian ingin mati hangus seperti bapak kalian. Mengerti?’ Anak-anak kecil itu terdiam seperti ketakutan. Mereka melihat api di mata ibu mereka yang selalu marah di siang hari.”
Ceritanya kian tak masuk akal. Aku mulai melirik lelaki itu. Ia bercerita seperti menceritakan dirinya sendiri. Permen yang ada dimulutnya hancur dikremusnya.
“Masih ada lagi permennya?” ia menoleh ke arahku. Serta merta aku merogoh saku dan mengeluarkan sebungkus permen untuknya. Ia membukannya perlahan dan segera melemparkan butiran permen itu ke mulutnya.
“Kau tahu, apa yang kemudian terjadi pada anak-anak malang itu?” ia berbicara sambil mengulum permen itu perlahan. “Mereka anak-anak kecil yang sangat polos, tentu saja mereka mendengarkan dengan baik kata-kata ibunya. Singkatnya, selama bertahun-tahun, mereka hidup seperti kalong, seperti vampire. Tidur mendengkur memeluk mimpi di siang hari dan bekerja, beraktifitas di malam hari.”
Lelaki itu mematung beberapa saat. Ia seperti menyelami nasib anak-anak malang yang ada dalam ceritanya.
“Lalu,” aku mengangkat suara, seperti tak rela jika tiba-tiba cerita berakhir sampai di situ.
“Seiring waktu, usia anak-anak itu merembang dewasa. Mereka tak begitu kenal dengan makhluk bernama tetangga. Orang-orang di sekitar mereka pun sudah menganggap keluarga itu sebagai keluarga aneh, keluarga yang terdiri dari orang-orang gila yang aneh. Hingga tak satupun merasa perlu untuk peduli atau sekedar bertegur sapa.”
Ia terdiam lagi. Sepertinya, permen di mulutnya sudah habis.
“Permen?” silih aku yang memancingnya. Ia tak menjawab, tapi tangan terulur menyahut permen dari tanganku. Ia membuka bungkusnya perlahan dan melemparkan butir permen itu ke mulutnya, seperti sebelum-sebelumnya.
“Karena anak-anak itu sudah mulai dewasa, mereka pun sudah mulai bisa berpikir lebih. Hanya saja, di antara ketiga anak kembar itu, hanya satu orang saja yang benar-benar meragukan kata-kata ibunya. Berjibun pertanyaan menyeruak ke benaknya. Rasa penasarannya terhadap sosok matahari pun kian meraja. Ia hampir lupa seperti apa sosok monster raksasa bernama matahari itu. Tapi, yang ia ingat, ketika ia masih kecil, ketika bapak mereka masih hidup dan ibu masih mengizinkannya keluar rumah di siang hari, sosok matahari adalah sosok yang indah. Bundar dan bersinar seperti rembulan yang selalu ia kagumi di malam hari. Bahkan, matahari lebih indah lagi, bisa menumbuhkan rerumputan dan bunga-bunga, bias nebgilaukan embun pagi dan mengundang cericit beburung.
“Anak itu pun akhirnya memutuskan untuk mengkhianati ibunya. Dua anak di antaranya pun tak bisa berbuat banyak terhadap tekad saudaranya. Tapi, mereka berjanji tidak akan memberitahukan perihal penghianatan itu pada sang ibu.” Lelaki itu menghela napas, sangking asyiknya bercerita ia lupa kalau permen di mulutnya sudah lama lumat.
Aku kembali merogoh saku celana, permen di saku celanaku pun sudah habis. Tiba-tiba aku khawatir jika lelaki itu pergi begitu saja sebelum cerita yang ia ceritakan itu telak sampai endingnya.
Lelaki itu masih diam. Menoleh ke arahku, “Habis, ya, permennya?”
Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, peluit bertiup panjang, serupa jeritan. Kereta ekonomi menuju Jakarta segera datang, para penumpang harus bersiap-siap. Entah kenapa, aku enggan beranjak dari tempat dudukku. Enggan meninggalkan lelaki antik itu. Ketika kereta berhenti tepat di hadapanku, mulutku menganga, terjerat dilema: apakah aku harus pergi atau tetap tinggal?
Lelaki di sebelahku masih terdiam. Ia memerhatikan lalu-lalang orang yang keluar dari gerbong-gerbong besi itu. Mereka tampak seperti rayap yang keluar dari sarangnya. Menyebar ke mana-mana.
Peluit panjang kembali melolong, kereta akan segera di berangkatkan. Ketika kereta itu mulai berjalan perlahan, dan kemudian hilang seperti dilesatkan, aku masih utuh, duduk di tempat yang sama.
“Tenang saja, kereta malam menuju Jakarta masih ada,” lelaki itu seperti membaca pikiranku. “Kau masih mau mendengarkan kelanjutan ceritaku, kan?” imbuhnya lagi.
Aku mengangguk.
“Nah, pada suatu siang, ketika sang ibu dan dua saudaranya yang lain masih mendengkur, ia bangkit perlahan, membuka selimut, berjingkat, menggeser pelan-pelan daun pintu. Cahaya hangat pun mulai resap ke dalam ruangan, menimpa ibu dan dua saudaranya yang masih lelap. Yang tak pernah ia duga sebelumnya, tiba-tiba sang ibu berteriak, begitu juga dua saudaranya. Cahaya hangat itu menimpa mata mereka. Semenjak itu, ibu dan dua saudaranya tak bisa melihat apa-apa lagi, baik di siang hari atau di malam hari. Dalam keadaan celaka itu, sang ibu pun mengutuknya, menyerapahinya, hatta mengusirnya. Sang ibu tak sudi lagi mendengar suaranya, hingga ia memutuskan untuk menjadi bisu. Kini, ia benar-benar menyesal. Tapi ia tak benar-benar pergi dari rumah. Ia tak sampai hati meninggalkan ibu dan kedua saudaranya yang buta.
“Di dalam rumah, anak itu menjadi orang bisu yang mengurusi tiga orang buta. Untuk menghidupi ibu dan kedua saudaranya, anak itu berkeliling ke banyak tempat, ke kota-kota, ke stasiun-stasiun, dan menjadi juru dongeng. Satu dongeng yang paling sering ia ceritakan adalah dongeng tentang kehidupannya sendiri.”
Lelaki itu terdiam. Air mukanya kelam.
“Tunggu sebentar, aku akan kembali dengan cerutu dan permen. Kau tunggu sebentar,” tuturku demi mencairkan hawa kelam petang itu.
Beberapa saat kemudian, ketika aku kembali ke tempat itu, lelaki itu sudah tidak ada di sana. Barangkali ia ke kamar kecil, pikirku. Aku terus menunggunya. Satu jam hampir berlalu dan lelaki itu masih belum kembali. Kecemasanku menjadi-jadi. Petang lesap tertikam gelap. Hawa dingin kian pekat. Dan entah mengapa, aku masih menunggu lelaki menyedihkan itu datang. Malam kian larut dalam hitam. Stasiun makin sunyi. Hingga ketika peluit panjang itu kembali melolong, suaranya terasa menyakitkan di telinga.
Kereta malam menuju Jakarta sudah datang dan akan segera diberangkatkan. Cerutu dan permen di tanganku masih utuh. Dan lelaki itu belum juga kembali. ***
Malang, 2013

0 komentar: