Hikayat Peri Peri Hutan Perawan, Radar Surabaya, Minggu, 9 Maret 2014

CERITA tentang hutan perawan dan peri-peri yang berketitiran di dalamnya pernah kudengar dari bibir nenek puluhan tahun silam, sewaktu beliau masih hidup. Ketika itu umurku baru tujuh tahun. Selepas waktu, cerita itu kemudian melebur dalam kepalaku tertindih cerita-cerita baru yang bertubi-tubi mengisi kepala mungilku.
Cerita itu mendengkur bertahun-tahun dalam kepalaku, hingga ibu kembali membangunkannya, beberapa jam sebelum kepulangannya. Sebelum sempurna menutup mata dan menyepikan detak jantungnya, ibu sempat berbisik, “Hutan perawan. Suatu saat kau harus ke sana. Karena kau perempuan. Kau harus melihat, betapa sulitnya merawat kesucian di zaman sekeruh ini.”
Aku tak paham, apakah itu tengah berbicara tentang kesucian gadis-gadis, ataukah ia cuma mengigau. Namun, kata-kata ibu itulah yang kemudian terus mengiang. Atau jangan-jangan itu sebuah wasiat yang wajib untuk kutunaikan? Suara ibu terus meracau di telingaku, seperti dengung nyamuk yang tak henti-henti. Setelah menenangkan diri dan menjernihkan pikiran, perlahan kubongkar kembali isi kepalaku yang begitu ruah dengan masalah dan cerita-cerita.
Aku harus menemukan cerita nenek yang berpuluh-puluh tahun mengendap itu. Aku harus segera menemukan cerita itu. Hutan itu. Peri-peri itu. Sebelum usia meremasku menjadi abu.
***
Ratusan cerita telah merestan dalam kepalaku. Tumpang tindih. Dengan sabar kupunguti satu demi satu cerita itu. Kuangkat dan kulempar jauh-jauh cerita-cerita berat yang kosong isi. Terengah-engah dan berkeringat aku mencari cerita itu, seperti mencari sebuah barang yang telah lama tertimbun dalam gudang yang tak pernah dibuka. Lama sekali kepalaku berjibaku dengan masa lalu, hingga tiba-tiba ngiang suara ibu melemah, diganti suara nenek yang serak, seperti puluhan tahun lalu…
“Apa kau suka cerita tentang peri?” Ketika nenek menanyakan itu, yang tiba-tiba muncul dalam kepalaku adalah capung-capung kecil yang memiliki tangan dan kaki seperti manusia dengan wajah gadis mungil berpita bunga-bunga. Kemudian, nenek kembali mengeluarkan suara. “Bagaimana dengan hutan? Kau suka hutan?”
 “Hutan?” Aku terperangah. Karena yang muncul dalam kepalaku adalah tempat yang sangat lembab dan gelap—yang dipenuhi binatang-binatang kecil yang melata dan bersengat.
“Iya, hutan,” nenek kembali bertutur, “tapi ini bukan sembarang hutan. Namanya hutan perawan, dan di dalamnya hidup ratusan peri, peri keperawanan.”
Tanpa kusadari nenek telah memulai ceritanya, dan aku mulai terseret ke dalamnya. “Hutan perawan tak bisa dipisahkan dari jiwa-jiwa kesucian para gadis. Dan tak sembarang orang bisa masuk ke dalam hutan itu, yang bisa menembus hutan itu hanya perempuan, tapi juga tidak sembarang perempuan. Hanya perempuan yang memiliki kesucian, yang bisa masuk ke dalam hutan itu, seperti aku dan ibumu.”
Aku melongo, memerhatikan bibir nenek yang terus bergerak, “Kau tahu, hutan itu tersimpan di dunia yang paling sunyi, di balik pagar nalarmu. Di kedalaman gua sadarmu. Dan hutan itu sangat indah. Dalam hutan itu, rumput-rumpuh menghampar seluas jangka pandang. Pohon-pohon dalam hutan itu bersinar hijau toska. Bunga-bunga liar beraneka warna bermekaran di sana sini. Dan tahukah kau? Di dalam kelopak-kelopak bunga itulah para peri tidur.”
Aku terbengong-bengong di depan nenek. Antara sadar dan tidak. Seperti tersihir. Akhirnya aku pun menanggapi cerita nenek. “Tadi, kata nenek, hutan perawan dan kesucian para gadis tak bisa dipisahkan. Lalu, apa hubungan hutan perawan dengan kesucian para gadis?”
“Ceritaku belum selesai, Sayang,” lanjut nenek, “kau ingin tahu, siapa sebenarnya peri-peri dalam hutan perawan itu?”
 Aku mengangguk. Selanjutnya, nenek memintaku untuk mendekakatkan telinga. Aku membungkuk ke arah bibir nenek. Bibir nenek pun mendekat, kedua telapak tanganya membentuk corong yang mengarah ke telingaku, sangat dekat, hingga hembusan napas nenek terdengar jelas sekali. Kemudian nenek berbisik ke telingaku, seperti menyelipkan sebuah rahasia, “sebenarnya, peri-peri itu adalah ruh keperawanan para gadis.”
Aku memicingkan mata berusaha mencerna kata-kata nenek.
“Apa itu berarti, aku juga salah seorang peri yang ada di sana?” tanyaku kemudian.
Nenek tersenyum, mengangguk dan melanjutkan, “ya, selama kau menjaga kesucianmu.” Ketika itu, tentu saja aku belum paham tentang kesucian yang dimaksudkan nenek.
“Berarti aku harus rajin mandi supaya selalu bersih?” celetukku kemudian.
Nenek berdehem, “ya, kau harus selalu memandikan dirimu dari apa-apa yang bisa membuatmu kotor. Kau harus menjaga dirimu dari apa-apa yang bisa membuat kesucianmu hilang. Kesucianmu sebagai seorang gadis.” 
“Kesucian seorang gadis?”
“Ya, setiap gadis memiliki kesucian serupa mahkota bunga yang sangat indah dan bercahaya.”
“Berarti aku juga memiliki mahkota bunga yang indah dan bercahaya?”
Nenek kembali berdehem, “maka dari itu kau harus pandai-pandai merawatnya.”
“Lalu, mahkota bunga itu, sekarang ada di mana, Nek?”
Nenek tersenyum, “bunga itu ada di salah satu bagian tubuhmu, kelak kau akan tahu, Sayang. Baiklah. Cerita nenek masih belum selesai. Kau mau mendengar lanjutannya?”
Aku mengangguk. Nenek terdiam beberapa jenak, kemudian mengangkat suara, “Seperti yang sudah nenek ceritakan, peri-peri itu adalah ruh keperawanan, kesucian para gadis. Dulu, ketika nenek masih muda, peri-peri di hutan itu masih sangat banyak.
“Oh ya, nenek lupa menceritakan bahwa sayap mereka sangat indah. Sayap mereka berkilauan dan mengeluarkan cahaya kuning kehijauan seperti batu fosfor yang tersembunyi dalam lembah gua yang purba. Mereka beterbangan mengitari bunga-bunga, bergerombol di ceruk pohon, memetik embun, dan duduk bersandar di pucuk-pucuk daun yang baru bersemi.
“Tapi itu dulu,” nenek menghempaskan napas, “sekarang, kian hari, peri-peri dalam hutan itu kian habis. Satu persatu mati.”
“Mati?” Aku tergagap, “apakah mereka mati dibunuh, atau mati karena sudah tua?” tanyaku kemudian.
“Mereka mati, karena mereka tak bisa terbang, mereka kehilangan sayap,” jawab nenek muram.
“Bagaimana mereka bisa kehilangan sayap?”
“Jadi begini, jika ada salah seorang gadis tidak dapat merawat kesuciannya, atau membiarkan kesuaciannya hilang, maka otomatis akan ada satu peri yang mati karena kehhilangan sayap. Sayap-sayap itu adalah nyawa mereka, kesucian mereka. Jika kesucian mereka tanggal, maka sayap-sayap peri itu pun akan tanggal, dan mereka pun akan mati.”
Mendengar cerita nenek, dahiku jadi berkeringat. Aku takut jika suatu saat nanti peri-ku akan mati karena aku tak mampu menjaga kesucian yang dimaksudkan nenek.
“Nenek yakin, kau pasti bisa menjaga kesucianmu hingga waktunya tiba. Yaitu ketika Tuhan mengirimkan sebuah rumah yang penuh taman untuk kau letakkan kesucianmu di sana.” Nenek menyelami kekhawatiranku. Dan detik itu, aku berjanji bahwa aku akan selalu menjaga kesucianku, sayap peri-ku, hingga ia mendapatkan rumah yang seperti dikatakan nenek.
***
Beberapa hari selepas pemakan ibu, aku bertekad untuk mencari hutan itu. Hutan perawan, hutan perawan, hutan perawan. Benarkah hutan itu ada? Lalu di mana letaknya? Bisakah aku sampai di sana? Bisa, selama kau masih menjaga kesucianmu, karena hanya permpuan-perempuan suci yang bisa menjamah hutan itu, kata-kata nenek menggeletar di telinga. Aku kembali memutar otak. Absurd. Tempat itu tak mungkin ada. Itu hanya cerita pengantar tidur. Hutan perawan dan peri-peri yang hidup di dalamnya hanya ada dalam kepala nenek. Tapi, tunggu. Bukankah ibu juga berpesan tentang hutan itu? Jadi? Entahlah.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang, seperti arca yang tumbang. Tak bergerak. Hanya mataku yang sesekali berkerling-kerling. Sesuatu dalam kepalaku terus melaju. Menderu. Seperti roda-roda mesin yang bekerja. Berputar. Berderak. Mendecit. Meraba. Mencari. Hutan perawan. Peri-peri. Kesucian. Sayap-sayap. Aku akan mencari hutan itu. Aku harus mencari hutan ityu. Aku harus menemukan hutan itu. Ruh keperawan dan kesucian itu. Peri-peri itu.
Akhirnya aku pun terjun dalam pencarian yang panjang. Menerobos pagar nalar. Menapak jalan setapak yang mencuat dalam kepalaku. Mengambah gerbang hutan yang mencekam, seperti berjalan di tengah labirin remang dengan dinding yang mulai retak. Aku yakin hutan itu pasti ada. Aku hanya butuh terpejam dan berpikir sedikit lebih lama. Aku hanya butuh percaya, dan kemudian melepas batas nalar dan mencarinya.
Lama sekali. Jauh sekali. Dalam sekali. Di palung kesadaran yang paling sunyi. Setelah keluar masuk lorong  yang penuh dengan semak kegamangan, akhirnya aku sampai di tempat itu. Hutan perawan. Persis seperti yang di ceritakan nenek. Karena sangking dalamnya, hutan itu  seperti terletak dalam sebuah gua. Namun gua itu tidak gelap. Karena pohon-pohon di dalamnya mengeluarkan sinar yang sangat cerlang. Dari kejauhan, hutan itu tampak seperti dihinggapi jutaan kunang-kunang. Jantungku berdegup keras. Aku berlari kecil menyongsong hutan itu
Namun dari kejauhan, aku terperangah. Aku melihat butiran putih, ringan, berguguran. Seperti salju. Atau memang salju? Aku mendekat. Semakin dekat. Dan yang berguguran itu, yang berguguran itu bukan salju. Bukan. Tapi seperti… sayap. Hujan sayap. Sayap-sayap peri. Benarkah? Puluhan sayap. Ratusan sayap. Ribuan sayap. Oh, benarkah ini sayap-sayap peri? Aku terus berlari, menelusup ke kedalaman hutan itu. Tiba-tiba kekhawatiran menelusup bagai rasa pahit yang diresapkan jarum suntik.
Semakin dalam. Aku pun semakin berlari. Hanya ada pohon-pohon yang tiba-tiba sinarnya mulai melemah. Juga bunga-bunga yang merunduk layu. Tak satu peri pun kujumpai. Aku terus berlari. Semakin dalam. Sayap-sayap terus berkeriap. Berguguran. Melayang-layang di udara. Jatuh terkulai di rerumputan dan repih menjadi hitam, menjadi abu. Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun, ketika mataku mulai perih, tiba-tiba seekor peri muncul di hadapanku. Peri dengan wajah muram, namun kedua sayapnya masih tampak berkilauan. Peri itu terbang berketititran mengitari kepalaku.
Peri itu terus mengikutiku dengan nguing suara seperti tangisan. Tubuhku turut lemas. Aku bersimpuh di jantung hutan perawan. Memandangi sayap-sayap yang terus berguguran bagai hujan. Tiba-tiba aku teringat tentang kesucian para gadis, kesucian para puan. Detik itu aku gemetar, memandangi satu-satunya peri yang masih tersisa di hutan itu.***
Malang, 2013


0 komentar: