Paket dari Masa Lalu, FEMINA, edisi 29: 19 - 25 Juli 2014

-->
Cinta pertama itu seperti cat warna pertama yang tersaput di atas kanvas yang masih polos. Warna itu akan terserap oleh serat-serat kanvas, mengendap, ia akan mengering, dan sulit dihilangkan. Setidaknya demikian kau mengibaratkan. Puluhan tahun silam, ketika usiamu baru saja mekar, dan tubuhmu dipenuhi dengan aroma mawar, kau mengenal seorang lelaki yang kemudian menjelma cat warna yang tersaput di kanvas hatimu untuk pertama kalinya. Bekasnya masih utuh sampai sekarang.
Sepanjang yang kau ingat, kau menyebut lelaki itu sebagai kawan, dan lelaki itu juga menyebutmu sebagai kawan. Namun, kau berkhianat, kau membiarkan lelaki itu melukis sesuatu di kedalaman hatimu. Dan lukisan itu tak selesai. Terakhir kali kau bertemu dengan lelaki itu sudah lama sekali, ketika lelaki itu berpamitan padamu hendak meneruskan sekolahnya di luar negeri. Kau tahu, lukisan itu memang tak akan selesai, hanya akan mengering menjadi sebuah noda yang akan sulit dihilangkan.
Selama tinggal di luar negeri, lelaki itu selalu menghubungimu, paling tidak tiga bulan sekali, bertanya kabar dan berbagi basa-basi. Hingga suatu hari, tepatnya delapan tahun lalu, bulan sembilan, tanggal sembilan, ia menghubungimu dan berkabar bahwa ia akan menikah dengan perempuan cantik di negeri tempatnya tinggal. Bagi seorang kawan, itu adalah kabar gembira, namun, bagi seseorang yang telah terlanjur menanam harapan, itu adalah seburuk-buruk kabar yang bisa didengar. Dan setelah itu, ia tak pernah menghubungimu lagi. Ia seperti hilang dikeremus bumi. Kau kehilangan. Paripurna.
Bertahun-tahun kau menggosok cat warna pertama yang tumpah di kanvasmu itu, dan kau hampir putus asa. Warna pertama itu benar-benar sulit dihilangkan. Berkalang waktu dan usia, orang tuamu yang selalu mencemaskanmu menjadi perawan tua itu telah menemukan lelaki yang kata mereka layak untukmu. Kau tak punya pilihan lagi, dan kau sudah terlanjur menyimpan rahasia. Kau pun menyerah dan memaksakan diri untuk menutupi warna pertama di kanvasmu itu dengan warna lain. Kau bersiap-siap dipinang lelaki lain dan berpura-pura mencintai lelaki lain. Sejatinya, hari-harimu dipenuhi keraguan. Seperti banyak sekali benda-benda halus yang penuh racun, yang masuk ke dalam otakmu perlahan-lahan. Tak sedetikpun kau mampu mengenyahkan bayangan lelaki itu, kau seperti berharap-harap lelaki itu datang dan merengkuhmu pergi ke masa lalu. Kau sering tercenung. Pasrah. Hingga beberapa hari jelang hari pernikahanmu, seseorang membunyikan bel pintu apartemenmu.
“Paket!” suara itu tak nyaring tapi kau masih bisa mendengarnya dari ruang tamu.
Seorang lelaki, pengantar paket, dengan seragam biru laut—yang raut wajahnya tiba-tiba nyaris sama dengan lelaki di masa lalu itu—tersenyum padamu, di sebelahnya sebuah kardus besar mengarca seperti memandangimu, “Ada paket untuk Anda,” ujar lelaki itu. Kau menatap wajah lelaki itu dengan saksama, kau tak yakin, kau hanya merasa bahwa dirimu mulai berhalusinasi.
“Paket? Dari siapa?” tanyamu ragu-ragu.
“Mmm… Anda tanda tangan dulu,” kata si pengantar paket tanpa menggubris pertanyaanmu.
“Paket dari siapa? Apa ini tidak salah kirim?” tanyamu lagi, sambil terus menatap lelaki pengantar paket itu.
“Di sini tertulis ‘dari masa lalu’, dan itu nama Anda kan? Coba Anda baca sendiri,” jawab lelaki itu santai, “biar saya bantu bawa masuk,” ungkapnya kemudian.
Setelah menerima secarik kertas yang kau tanda tangani, lelaki pengantar paket itu segera pergi, meninggalkanmu bersama sebuah kardus besar, berhias pita merah jambu. Kau menatap punggung lelaki pengantar paket itu kian menjauh dan hilang dibalik lorong apartemenmu. Mungkin ini kejutan dari calon suamiku, pikirmu. Dengan cutter, kau pun mulai membuka kardus besar itu, hati-hati. Ketika bagian atas dari kardus besar itu terbuka, kau segera terpana, dan kau sadar bahwa mungkin kau akan jadi gila. Seorang lelaki muncul dari dalam kardus itu dan menatapmu dengan iba. Kini kau tahu, paket itu memang paket dari masa lalu, berisi lelaki di masa lalu, lelaki itu.
Lelaki itu bangkit dan menguakkan dirinya dari dalam kardus, ia menatapmu, tersenyum padamu, “Kau masih ingat padaku?” ujarnya dengan manis.
Kau terpaku sejenak, tertawa dan tak percaya, “Apa aku harus menampar pipiku sendiri supaya aku bangun dari mimpi?” kau menelisik sosok yang berdiri di hadapanmu, “Bagaimana mungkin kau bisa berada di dalam kardus? Hei?”
“Mudah, bahkan aku bisa berada dalam hatimu, benar bukan?” lelaki itu tersenyum, “mulai sekarang aku akan tinggal di sini, menemanimu,” imbuhnya lagi.
Kau mengerjapkan mata beberapa kali dan tertawa lagi kemudian terdiam lagi, “Apa itu benar-benar kau?”
“Siapa lagi?”
Kau terkikik lagi, “Kau gila! Atau aku yang gila?”
“Semua gila, dan dunia ini juga gila,” ia balas tertawa.
“Sebaiknya kau pergi dari sini.”
“Aku tak bisa pergi dari sini, dan siapa pun tak bisa membuatku pergi dari sini.”
“Apa aku perlu mengirimmu kembali lewat paket?”
Lelaki itu hanya menatapmu, “Kau tak bisa melakukannya.”
“Beberapa pekan lagi aku akan menikah, dan sebaiknya kau tidak mengacaukannya.”
“Kau yang mungundangku ke sini, sekarang mengapa kau ingin aku pergi dari sini.”
“Aku tak mengundang siapa pun.”
“Kau mengundangku.”
“Kumohon pergilah.”
“Kalaupun aku pergi, kau tak pernah bisa menyuruhku pergi dari hatimu. Jadi apa bedanya, aku ada di sini atau tidak? Toh aku selalu bersamamu, di hatimu, bahkan menjelang hari pernikahanmu.”
“Bukahkah kau sudah menikah, apa kau ingin istrimu membunuhmu?”
“Kau tak pernah benar-benar tahu, apakah aku sudah menikah atau belum, kenyataannya di sini aku sendiri, dan aku telah sampai padamu?”
Kau terkikik sendiri, “aku pasti sedang mengalami mimpi buruk.”
“Aku tahu, aku tak pernah menjadi mimpi buruk bagimu.”
“Kalaupun istrimu tidak membunuhmu, calon suamiku yang akan membunuhmu,” ungkapmu geram, sementara detak jantungmu kian terpacu tanpa aturan. Semakin detak.
Kau mengetuk-ngetuk batok kepalamu sendiri dan tertawa lagi, “oh mimpi buruk,” lantas kau beringsut menuju kamarmu. Di kamarmu, lelaki itu tengah tersenyum dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
“Apa aku boleh tidur di sini,” ujarnya.
Kini kau menyadari, bahwa lelaki itu adalah hantu, “Aku akan memanggil satpam supaya menyeretmu pergi dari sini,” gertakmu.
Lelaki itu masih saja tersenyum dengan manisnya, dan senyuman itu seperti gelitikkan yang tak henti-henti hingga membuatmu hampir menangis.
“Aku telah menghapusmu dari masa laluku, jadi kedatanganmu yang seperti mimpi buruk ini tak akan mengubah apapun, aku akan berakhir di pelaminan dan kau akan berakhir di penjara.”
“Apa kau berani mengatakan itu sambil menatap mataku?” suara lelaki itu semakin merdu.
Kau berpaling,  dan lelaki itu berujar lagi. “Ya, kau menghapusku, tapi aku tidak hilang. Kau menumpahkan warna baru untuk menutupiku, tapi kau tak bisa membohongi dirimu, aku masih utuh, melekat di bagian terdalam dari hatimu.”
Kau beranjak keluar kamar, dengan tangan gemetar kau menghubungi satpam yang selalu berjaga di pos depan, “Pak satpam, tolong, apartemenku dimasuki orang gila, dan aku tak sanggup mengusirnya pergi,” katamu terbata-bata. Kau juga menghubungi calon suamimu, mengutarakan hal yang sama.
Ketika kau hendak beranjak menuju kamarmu, lelaki itu telah menghadangmu, dengan tawa-tawanya yang begitu sinis. Mereka akan menyeretmu pergi dari sini, pekikmu. Lelaki itu seperti tak peduli, ia terus menguntit di belakangmu. Seperti bayanganmu sendiri.
Setelah beberapa jenak, bel apartemenmu berbunyi, “Mereka datang!”
Daun pintu terbuka, dua satpam apartemen dengan perawakan sangar itu segera menghampirimu, “Di mana orang gilanya?”
“Ini! Dia terus mengikutiku,” kau menunjuk lelaki yang terus menguntit di belakangmu.
“Di mana?” dua satpam itu celingukan, tampak bingung, bagi mereka kau hanya menunjuk-nunjuk udara kosong.
Dua satpam apartemen itu berkeliling dari ruang ke ruang, “Tak ada siapa-siapa? Apa Nona yakin ada orang gila masuk ke sini.”
Kau menghela napas berat, bagaimana mungkin satpam itu tak melihatnya, sementara lelaki itu masih saja tersenyum-senyum di belakangmu. Sangat nyata. Bahkan kau bisa menyentuhnya.
“Mohon maaf, tapi di sini saya tak menemukan orang lain selain Anda, Nona?” kata satpam yang satunya.
“Benar, Anda tak perlu khawatir, jika memang ada orang gila masuk ke apartemen ini, tentu kami sudah menangkapnya di gerbang depan,” kata satpam yang satunya lagi.
Kau tertawa pendek sekaligus mengernyit, “Jadi, kalian pikir aku…”
Dua satpam apartemen itu segera beringsut sebelum kau berhasil melanjutkan kata-katamu. Lelaki di belakangmu itu kini beranjak ke hadapanmu dan menutup daun pintu, ia bersandar di pintu dan masih saja melayangkan senyum kepadamu.
“Kau lihat, mereka tak bisa mengusirku.”
“Sebentar lagi calon suamiku akan datang, ia sendiri yang akan mengusirmu.”
“Tak ada yang bisa mengusirku.”
“Calon suamiku akan mengusirmu. Aku bersumpah, dia akan mengusirmu! Dia akan mengusirmu!” kau berteriak dengan suara nyaring.
Dua satpam di balik pintu apartemenmu terpaku dan saling pandang, mereka bertanya-tanya, dengan siapakah kau sedang bicara? Mereka berdua menggeleng-gelengkan kepala dan berlalu begitu saja. Sementara suaramu kian terdengar nyaring di lorong-lorong apartemen.***
Malang, 2014

0 komentar: