Perempuan yang Menjahit Bibirnya Sendiri, KOMPAS, Minggu, 28 Desember 2014


Perempuan itu duduk dengan sangat tenang, sambil menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang jatuh. Berjuntaian.
Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
***
Semula, ia adalah perempuan yang banyak sekali bicara. Setiap orang yang ia temui, entah ia kenal entah tidak, akan ia ajak bicara. Bicara apa saja. Objeknya pun bisa siapa saja. Di mana saja dan kapan saja. Perempuan itu akan terus bicara. Sampai mulutnya berbusa-busa. Dan mengeluarkan bau yang sangat tidak sedap.
Semula, perempuan itu tidak menyadari akan bau yang sangat busuk, yang menguar dari mulutnya itu. Hingga suatu ketika, satu persatu, orang yang ia ajak bicara selalu menutup hidung, mata, dan telinga mereka. Beberapa yang lain, memilih untuk menghindar, meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ketika ia bertanya, apa yang salah dengan ucapannya, beberapa orang memilih untuk jujur, dengan mengatakan, bahwa setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, tidak hanya bau, tapi juga buas, tajam, beracun, dan bisa membunuh siapa pun.
Maka, serta merta, perempuan itu menyadari sesuatu, bahwa mungkin, semua keluarganya—bapak, ibu, dan adik perempuannya—yang tewas beberapa tahun silam itu, tak lain dan tak bukan disebabkan oleh sesuatu yang menyembul dari sebuah liang purba di anatara dua bibirnya.
Mendadak, perempuan itu teringat kata-kata bapaknya—yang seorang pemburu, “Mulutmu adalah harimau buas, jika kau tidak bisa menjadi pawang yang baik, jika kau tak bisa mengendalikannya dengan baik, kau akan diterkamnya sendiri.”
Bebarapa hari setelah mengatakan itu, pada suatu malam bapaknya dinyatakan hilang di hutan saat melakukan perburuan, hingga paginya, ketika dilakukan pencarian, bapaknya sudah ditemukan tewas terperosok ke dalam jurang, dengan tubuh penuh luka sayatan, luka yang memanjang seperti bekas cakaran binatang buas. Ketika itu, ia hanya menerka-nerka, bahwa bapaknya tewas diterkam binatang ganas sebelum akhirnya terlempar ke ceruk jurang. 
Namun, jika ditelusuri, sebenarnya ia sendiri yang membujuk bapaknya untuk berburu ke hutan malam-malam. Saat malam  hari, semua binatang yang bersembunyi akan keluar dari sarangnya, jadi bapak akan pulang dengan binatang buruan yang melimpah, begitulah ia meyakinkan bapaknya dengan kata-kata. Hingga bapaknya benar-benar berangakat ke hutan jelang malam-malam buta.
Kini, perempuan itu mulai berani menyimpulkan sesuatu, tentang harimau buas yang dituturkan bapaknya. Jika harimau itu bisa menerkam pemiliknya sendiri, bukan tidak mungkin ia akan menerkam dan melukai orang yang ada di sekitarnya. Kematian bapaknya adalah sebuah bukti nyata, demikian ia menyimpulkan.
***
Beberapa bulan setelah bapaknya meninggal dikoyak binatang buas. Ibunya, yang seorang penjual daging, juga ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan di tubuhnya. Kabar yang beredar ketika itu adalah, ibunya telah menjadi korban perampokan yang beberapa waktu terakhir kian marak. Hal tersebut dibuktikan oleh barang-barang dan perhiasan yang dibawa ibunya yang turut raib. Mendadak, ia teringat bahwa beberapa waktu sebelum ibunya ditemukan tewas, ibunya pernah bertutur padanya, “Mulutmu adalah pisau, Nak. Tajam dan bisa menghunjam apa saja. Jika kau tak menggunakannya dengan baik, kau bisa tersayat sendiri olehnya.”
Beberapa waktu, jauh sebelum kejadian itu, ia selalu berkoar pada banyak orang, bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang sangat pelit. Tak pernah sudi mengeluarkan sepeser uang pun untuk menyenangkan anaknya. Padahal ia tahu, ibunya punya banyak uang dan perhiasan yang nilainya jutaan. Ketika itu, ia juga sempat menjabarkan kebiasaan buruk ibunya, yang suka menyembunyikan aneka perhiasan dalam dompet butut yang selalu dibawanya kemana ia pergi.
Kini, barulah perempuan itu mafhum mengenai pisau yang dibicarakan ibunya.
***
Mengenai adik perempuanya yang meninggal karena menenggak racun, ia mulai meraba-raba, dan satu hal yang kemudian hinggap dalam ingatannya. Suatu ketika, adik perempuannya itu pernah berkata, “Mulutmu adalah gua beracun, jadi, lebih baik tidak terlalu sering kau membukanya. Kau tahu, racun itu sangat berbahaya, bisa dengan mudah dihirup siapa saja dan membunuh siapa saja.”
Beberapa hari setelah itu, secara tak sengaja, ia memergoki kekasih adiknya tengah berduaan dengan gadis lain. Dan baginya, perkara semacam itu adalah perkara yang wajib ia ceritakan. Maka, sesampainya di rumah, ia menceritakan perselingkuhan itu pada adiknya, dengan sedikit bumbu-bumbu supaya semakin pedas. Maka terjadilah pertengkaran hebat antara sepasang kekasih itu. Berselang waktu, lambat laun, adiknya menjadi seorang gadis yang sangat pemurung. Tak banyak kata. Suka menyendiri. Mengurung diri dalam kamar. Hingga suatu malam, ia ditemukan tewas dengan mulut penuh busa. Sebuah racun serangga tergeletak bungkam di sebelahnya.
Satu persatu, perempuan itu mulai merunut, hingga ia menemukan akar dari semua permasalahan, yakni sebuah liang yang menganga di wajahnya, sebuah mulut, mulutnya sendiri.  Mulutnya yang sangat buas seperti harimau. Mulutnya yang kelewat tajam seperti mata pisau. Dan mulutnya yang amat berbahaya seperti bisa.
Menyadari dirinya telah berubah menjadi monster yang telah mencelakakan dan dijauhi banyak orang, perempuan itu memutuskan untuk menjahit mulutnya sendiri. Menutup satu-satunya pintu paling berbahaya yang selama ini telah menyusahkan banyak orang. Bahkan membunuh orang-orang tercinta. Ya, pintu itu harus ditutup segera. Serapat-rapatnya.
***
Dengan sangat tekun, perempuan itu menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang jatuh. Berjuntaian.
Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Usai menamatkan jahitannya, perempuan itu berjalan terhuyung mendekati cermin. Dengan saksama, ia memerhatikan mulutnya sendiri yang kini telah terbekap rapat oleh sulaman benang. Dirabanya mulut itu pelan-pelan. Hati-hati. Dari kiri ke kanan. Dari kanan ke kiri. Benar-benar rapat. Ia menghela napas lega. Pintu bencana yang selama ini terbuka telah sempurna ditutupnya.
Detik itu, ia hendak tersenyum puas. Namun, ketika ia hendak tersenyum, mendadak ada yang sangat nyeri di sekitar bibirnya. Seketika itu pula ia menyadari, bahwa bibirnya tak mungkin bisa ia ajak tersenyum lagi. Karna bibirnya telah tertutup rapat oleh jahitan.***
Malang, 2014

1 komentar:

Rosyida Salsabila mengatakan...

Kereeeen cerpennya :)))