Restoran, Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 22 Juni 2014


Lelaki itu baru saja bertengkar dengan istrinya. Musababnya perkara remeh: sepulang kerja lelaki itu lapar dan di meja makan tak ada makanan.
“Kau tak masak?” serunya pada istrinya yang tengah panik menimang-nimang balitanya yang terus-terusan menangis.
“Gak sempat masak, anakmu gak enak badan, seharian rewel, nggak bisa ditinggal,” jawab istrinya dengan intonasi datar.
“Apa tak ada bakso atau sate padang lewat depan rumah?” lelaki itu bertanya lagi.
“Ada, lewat, tapi nggak sempat manggil,” jawab istrinya masih dengan suara datar.
“Butuh waktu berapa lama sih untuk manggil tukang bakso, orang tinggal panggil, tunggu, bayar, selesai… Pulang kerja, lelah, laper, di rumah tidak ada makanan, begini ini yang bikin jengkel,” suara lelaki itu sedikit meninggi.
“Kau pikir tak lelah mengurusi bayi yang rewel, tak mau tidur, tak mau mimik, nangis terus, aku juga lelah, bahkan aku sendiri juga belum makan,” jawab istrinya sambil terus mendiam-diamkan bayinya yang terus merengek.
“Iya, tapi apa susahnya panggil tukang bakso. Kalau memang lelah, gak sempat, tidak masak juga tidak apa-apa, tapi apa pantas suami pulang hanya disuguhi angin begini!”
“Kau tak tahu bagaimana rasanya ngurus bayi, apalagi kalau rewel begini, bawaannya bikin emosi…”
“Kau ibunya, itu tugasmu, seharusnya kau lebih telaten pada anakmu dan tidak banyak mengeluh seperti itu.”
“Siapa yang mengeluh, aku cuma capek. Semua-mua tugasku, masak, nyuci, nyetrika, ngepel, ngurus bayi… sementara kau di kantor bisa bekerja sambil duduk-duduk bersendau gurau…”
“Kok ngomongnya begitu? Duduk-duduk sambil bersendau gurau katamu? Kau pikir suamimu ini bos? Suamimu ini cuma OB. Kau pikir tidak bersusah payah? Motoran berangkat pagi pulang sore, terjebak macet, kelaparan di jalan… belum lagi di kantor orang-orang mintanya macem-macem. Kalau ngomong itu dipikir, jangan asal ngoceh.”
“Situ jadi lelaki jangan manja, kan situ bisa keluar sebentar, ke warung kek, atau bikin mie instan sendiri kek… orang kok mintanya dilayanin terus, iya kalau yang ngelayanin sehat terus. Ngurus bayi itu butuh tenaga ekstra, kau tak pernah tahu itu, tengok sendiri, cucian sampai numpuk belum tersentuh.”
“Selalu ngurus anak jadi alasan, kau saja yang malas. Lihat saja rumah kayak kapal pecah begini.”
“Tanganku cuma dua, kalau mau semuanya beres ya cari pembantu sana, tapi gajimu sebagai OB itu mana cukup buat bayar pembantu, buat harian aja sudah ngos-ngosan… ” istrinya membalas dengan sinis.
“Mulut perempuan yang begitu itu yang bikin lelaki pada selingkuh!” tandas lelaki itu dengan wajah membara, sejurus kemudian ia menggebrak meja, menyahut kunci sepeda motornya dan beringsut keluar rumah.
Istrinya tercenung sambari menatap wajah bayinya yang mulai mengantuk. Perlahan-lahan didengarnya deruman sepeda motor pergi menjauh. Perempuan masih menatap bayi mungilnya. Air matanya luruh dan jatuh tepat ke kening bayinya. Bayi itu menggeliat.
***
Lelaki itu melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Langit mulai gelap. Ia tak tahu hendak pergi ke mana, tetapi ia ingat, tujuannya utamanya pergi dari rumah adalah untuk mengisi perutnya yang lapar. Namun, rasa lapar di perutnya telah hilang lantaran pertengkaran yang barusan itu. Lelaki itu terus melajukan sepeda motornya. Membelah gelap. Ketika dirasainya udara menjadi dingin ia pun berhenti di sebuah restoran remang-remang di sisian jalan.
Ia sering melewati jalan itu ketika berangkat dan pulang kerja, namun ia tak pernah tahu kalau di sisian jalan itu ada sebuah restoran besar. Seingatnya di daerah itu hanya ada warung-warung kecil yang menjajakan ikan mentah di pagi dan sore hari, yang lainnya hanya tambak dan gerumbul semak.
Ia tak peduli, rasanya malam itu ia tak ingin pulang, ia masih sangat jengkel kepada istrinya. Lelaki itu pun masuk dan duduk di kursi paling tepi, sebelah kanan. Seorang pelayan menghampirinya dengan buku menu dan menunggunya sejenak.
“Gurami asam manis satu, nasi putih satu, es degan satu, air mineral satu, yang botol kecil saja,” pintanya pada pelayan yang masih berdiri di sebelahnya. Si pelayan tersenyum, menyebutkan ulang menu-menu yang ia pesan dan berlalu.
Lelaki itu tercenung, memandang ke depan: orang-orang yang tengah asik makan, bercanda tawa, dan berbincang-bincang dengan suara sayup. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Sejenak baru disadarinya bahwa menu yang ia pesan belum juga datang. Ia terus menunggu dan menunngu, melamun dan melamun. Dilihatnya orang-orang berlalu lalang, datang dan pergi. Anak-anak kecil, para remaja, orang-orang dewasa, para manula. Semuanya datang dan pergi. Ia masih melihat beberapa pelayan yang sama dengan pakaian seragam yang sama dengan wajah yang telah menjadi keriput dan tua.
Kursi dan meja tempat ia duduk mendadak berdebu, usang, dan kemudian berubah warna. Ia terduduk diam di atas kursi yang terus berganti-ganti dengan sendirinya. Lelaki itu seperti berada dalam mimpi, namun ia masih tak bergerak, melamunkan entah. Ketika seorang pelayan mendekatinya dan mengantarkan beberapa menu yang ia pesan, ia sempat terlonjak, seperti terbangun dari khayalan.
“Lama sekali,” gumamnya.
Pelayan itu tersenyum dan membalas, “sepuluh tahun.”
Lelaki itu seperti mendengar sebuah gurauan yang tak lucu, ia tak ambil pusing, ia pun makan dengan lahap, membayar, dan kemudian pulang. Begitu keluar dari halaman restoran itu, ia mengernyitkan dahi. Tambak ataupun semak yang seharusnya ada di daerah itu telah hilang digantikan rumah-rumah baru yang terlihat begitu asing. Meski sedikit bingung, ia tak peduli, ia terus melajukan motornya menelusuri jalan-jalan yang masih ia ingat. Ia merasa perjalanannya barusan terlalu jauh dan melelahkan. Tiba-tiba ia ingin cepat sampai rumah dan memeluk istrinya untuk meminta maaf.
Begitu sampai di depan rumah, matahari telah bersinar dengan kilaunya, lelaki itu berjalan ragu. Ia tak yakin itu rumahnya. Hingga seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun berteriak-teriak, “Mama-mama ada orang gila di depan rumah.”
Seorang perempuan yang sangat ia kenal keluar dari balik pintu dan terdiam menatapnya, cukup lama. Tiba-tiba perempuan itu berlari memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Ia semakin bingung.
“Sepuluh tahun Mas menghilang, akhirnya pulang juga,” ujar perempuan itu terbata-bata. Sementara bocah kecil di beranda masih terus menatapnya.***
Malang, 2014

0 komentar: