Tamsil Ibu, Tabloid NOVA, edisi 7 - 17 April 2014


Rasanya lama sekali kau tidak melihat gadis itu. Dua tahun lalu, seusai tamat SMA, gadis itu berangkat kerja ke kota dan meninggalkan ibunya yang sendiri, di kampung. Kini pada umur dua puluh, gadis itu pulang kampung dengan perut mengembung. Ia hamil tua. Tanpa suami. Ibunya yang kurus dan sakit-sakitan itu semakin tampak kurus dan renta. Setiap kali melihatnya kau ingin menangis karena rasa iba.
Puluhan tahun lalu, kau hampir gila karena perempuan itu, dan gadis yang sekarang hamil tua itu hampir saja jadi anakmu. Namun, ibumu mengingatkanmu.
***
Perempuan itu memang memiliki garis nasib yang kurang baik. Ia hidup seperti dalam liang yang teramat pekat. Buruknya lagi, ia tak pernah pandai menyalakan cahaya, alih-alih menyalakan cahaya, kau: satu-satunya lubang cahaya yang datang hendak menyinari hidupnya yang pekat, malah ia tutup rapat-tapat. Sempurnalah ia dalam liang gulita itu.
Perempuan itu memang tak pernah mencintaimu. Bahkan ia telah hamil dengan lelaki lain, lelaki yang dicintainya, lelaki yang mungkin telah kabur ke belahan dunia lain untuk menghamili perempuan lain. Namun kau bersikeras hendak menikahi perempuan yang hamil tanpa suami itu. Kata ibumu, jika kau masih bertekad menikahinya, maka kau seperti mengorek sisa-sisa makanan di lubang sampah, sementara di meja makanmu aneka makanal lezat lagi halal telah terhidang rapi. Atau barangkali, kau terobsesi menjadi malaikat?
Perempuan itu hidup cuma bertiga, dengan ibunya yang renta dan sakit-sakitan, dengan anak perempuannya yang berusia satu tahun setengah, dan dengan dirinya sendiri. Jadilah ia perempuan perkasa, perempuan yang merawat dua perempuan lain (ibunya yang pikun dan anaknya yang balita) yang tak tak berdaya upaya. Demi itu, kau merasa iba dan ingin menikahinya. Bahkan, karena perempuan gulita itu, kau jadi berani menguntai balas kata-kata ibumu.
“Masih banyak perempuan baik-baik di dunia ini, jadi jika ibu tidak merestuimu menikahi perempuan itu, ibu pikir keputusan ibu tidak salah, toh kalaupun bapakmu masih hidup, ibu yakin bapakmu juga akan menentang keras.”
“Tapi kasihan dia, Bu, dia butuh seorang lelaki untuk mendampinginya,” balasmu.
“Iya, ibu sepakat, dia memang butuh lelaki untuk mendampinginya, tapi itu bukan kamu. Ibu yakin, lambat laun akan ada lelaki yang setara dengannya, yang akan menikahinya.”
Kau terdiam sejenak, “Bahkan Kanjeng Nabi pun menikahi janda, Bu.”
“Lancang sekali kau membawa-bawa nama Kanjeng Nabi, sama sekali bukan pada tempatnya jika kau menyamakan istri Kanjeng Nabi yang mulia itu dengan perempuanmu itu.”
“Tapi aku hanya ingin menyelamatkan hidupnya, Bu, agar hidupnya lebih baik.”
“Kau bisa menyelamatkan hidupnya tanpa harus menikahinya.”
“Tapi bayi perempuan itu kasihan, ia tak berdosa, ia tak tahu apa-apa. Mungkin akan baik jika aku menjadi ayahnya.”
“Ayahnya bukan kamu, ayahnya sudah kabur. Dan lelaki seperti itu memang pantas untuk perempuan seperti itu.”
“Kumohon, ibu jangan berkata begitu.”
“Mengapa kau melarang ibu berkata begitu, tak bisakah kau bayangkan, seperti apa kehormatan seorang perempuan yang rela disentuh begitu dalam oleh lelaki yang belum menikahinya. Dan anak itu…, anak itu tetaplah hasil dari hubungan haram.”
“Ibu!” kau membentak ibumu.
“Lihatlah, kau sudah mulai membentak ibu.”
“Tapi ibu tak pantas berkata begitu. Bagaimana pun anak itu adalah suci, ia bersih dan tak tahu apa-apa.”
“Ibu tak bilang anak itu kotor atau najis, hanya saja anak itu lahir lantaran hubungan yang tidak suci, hubungan haram, proses kejadian anak itu adalah proses yang cacat dari awalnya. Anak itu seperti benih yang ditanam di lahan yang salah, di lahan orang, lahan yang tidak hak. Tentu pohon itu akan baik-baik saja dan akan terus tumbuh, bila tiba masanya pohon itu pun akan berbunga dan berbuah, tapi tetap saja, kau menenam pohon itu di lahan yang salah, di lahan yang bukan lahanmu. Jika kelak kau memakan buah pohon itu, kau sama seperti memakan buah curian, meski kau yang menanamnya sendiri.”
Kau menatap wajah ibumu yang begitu bara. Kata-kata itu seperti ujung tombak api yang menancap ke ulu hatimu. Kau membisu.
Sesuatu, jika sudah salah dari awalnya akan melahirkan kesalahan yang semakin beranak pinak. Kesalahan yang mungkin akan sangat sulit untuk kau ralat dan kau runut. Bahkan ibu tak bisa membayangkan, apakah umur manusia yang pendek ini sanggup menebus kesalahan yang sebesar itu,” tutur ibumu lagi.
Ibumu memang sangat keras dalam hal prinsip. Kau tercenung, menunduk, menatap kedua kaki ibumu yang tampak putih. Gelembung itu mendadak mengembang di pelupuk matamu.
Setelah terdiam beberapa jenak, ibumu berujar lagi, “Jika kau bisa memulai sesuatu dengan bersih, mengapa kau harus melibatkan sesuatu yang kotor di dalamnya.”
“Mungkin perempuan itu memang kotor, tapi anak itu… ” kau coba menyela.
“Ibu tak mengatakan anak itu kotor, hanya saja… ibu tak sampai hati melihatmu mengurusi anak yang bukan anakmu, bahkan kelak, jika anak itu tumbuh besar dan menjadi seorang gadis, tetap saja, anak itu lahir dari sesuatu yang salah. Dan dari pengalaman asam garam, ibu telah banyak melihat tamsil bahwa anak-anak yang terlahir dari sesuatu yang salah, ia cenderung akan berjalan ke jalan setapak yang salah pula, dan sebaliknya seorang anak yang terlahir dari sesuatu yang hak, ia akan lebih mudah untuk diarahkan ke jalan setapak yang hak juga.”
Kau masih tercenung. Gelembung di pelupuk matamu menggenang dan luruh.
“Apa kata-kata ibu terlalu keras? Apa kata-kata ibu terdengar seperti ceramah?”
Kau menggeleng, tersenyum, dan beranjak dari dudukmu. Kau mendekati ibumu yang terduduk di hadapanmu. Kau meraih kakinya, mencium tangannya, dan membaringkan tubuhmu di pangkuannya.
“Maafkan aku, Bu. Tapi aku tak bisa melupakan perempuan itu,” kau sedikit terisak.
“Tapi perempuan itu bisa dengan mudah melupakanmu, dan perangai perempuan seperti itu dapat ditebak,” balas ibumu.
“Terkadang aku tak sampai hati melihat hidupnya yang begitu keras.”
“Perempuan itu telah belajar. Terkadang sesuatu yang manis di awal memang harus dibayar dengan sesuatu yang pahit sepanjang hidup,” tutur ibumu lagi.
Kau pun meninggalkan perempuan hamil itu, dan menikah dengan perempuan baik-baik yang dipilihkan ibumu.
***
Puluhan tahun berlalu. Kau hidup dengan seorang bidadari yang dipilihkan ibumu. Bidadari  yang begitu pandai merawat taman-tamannya.
Kini kau dianugerahi dua orang putra, yang seorang baru kelas lima SD, dan yang seorang lagi telah lulus SMA. Putramu yang besar itu, kini tengah menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di luar negeri. Ia mendapat beasiswa. Ia begitu tampan, santun, dan cerdas. Beberapa kawan yang memiliki anak gadis selalu mencandaimu, menawarkan gadis-gadis mereka untuk dinikahi putramu. Dengan seulas senyum yang diiringi candaan ringan, kau akan menjawab, “Ia masih terlalu muda, biarlah ia puas menuntut ilmu, kalau anak gadismu sanggup menunggu, tungggulah barang lima atau tujuh tahun lagi.”
Sementara kau hidup dengan bidadari dan kedua malaikatmu, di luar sana, seorang perempuan yang kurus dan tampak renta—yang pernah mengisi relung jiwamu, hidup di dalam liang yang semakin kelam dan pekat, bersama anak gadisnya yang hamil tua.***
Untuk para gadis yang suatu saat nanti akan menjadi ibu.
Madiun, 2014

0 komentar: